9/09/2011

Jogja : Sepeda dalam Kenangan Masa Kecil


Jogjakarta, sebuah kota dengan kekentalan budaya dan pelestarian tradisi merupakan sebuah cagar seni budaya yang tak lekang termakan jaman. Kota dimana warganya menganut tata nilai kemasyarakatan “Ngarso Dalem Engsun” atau mengikuti keinginan sang raja kerajaan Mataram yang kini dikenal dengan Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat hingga kini masih teguh memegang tradisi leluhur. Tradisi Sekaten, Gunungan maulidan, Gunungan Syawal, Hingga gunungan Besar menjadi agenda rutin tahunan yang selalu digelar tiap tahunnya dan menjadikannya suatu bentuk tradisi yang selalu dilestarikan.

Dari hal yang besar, seperti tradisi tersebut akan sangat timpang saat mendalami segi social kemasyarakatannya yang perpindah pada nilai-nilai urban dan global. Anak-anak kecil tidak lagi mengenal lagu-lagu jawa selain hanya melalui pendidikan formal disekolah lewat pendidikan bahasa jawa, gamelan jawa, hingga tembang-tembang jawa lainnya. Masyarakat tidak lagi menyukai bersepeda melainkan menggantikan dengan kendaraan yang lebih modern , motor. Praktis, cepat, dan mudah.

Bagaimana dengan sepeda itu sendiri? Sepeda yang sejak berpuluh-puluh tahun menjadi kendaraan khas masyarakat jawa perlahan ditinggalkan. Saya ingat, dua sebutan untuk sepeda di Jogja (saya tidak pernah mau menyebut jogja sebagai Jawa karena alasan banyak kota besar lainnya ada di Jawa) yang pertama sepeda Ontel, sepeda yang menyerupai bentuk leher angsa dengan tulang-tulang yang kokoh berdiameter 2-3 cm. sepeda ontel ini terbagi pula dalam 2 jenis, ontel lanang (laki-laki) dan ontel wedok (perempuan). Apa yang membedakannya? Pada ontel lanang, pada bagian bawah tempat duduk (bak) terdapat sebuah besi yang menghubungkan bak dengan leher pada badan sepeda dibawah setang sepeda sehingga biasanya sepeda ini sangat enak digunakan untuk berpacaran masa itu karena sang perempuan akan dapat duduk menyamping didepan si laki-laki, sedangkan pada ontel wedok tidak memiliki pembatas, pada sepeda ini akan dipasang keranjang dudukan bagi anak kecil. Jenis yang kedua adalah Sepeda jengki. Sepeda ini merupakan jenis sepeda cina. Dengan badan yang lebih ramping dan lebih ringan dibandingkan sepeda ontel.

Pikiran saya kembali kemasa kecil saya. Kakek saya pernah memiliki kedua jenis sepeda ontel tersebut, salah satunya (ontel lanang) digunakan suami kakak ayah saya. Dan ayah saya memiliki sebuah sepeda jengki berwarna hijau. Sepeda jengki tersebut sangat mengingatkan saya pada masa kecil saya hingga SMP. Begitu banyak kenangan pada sepeda itu.

Akhir tahun 80an awal 90an, satu-satunya kendaraan yang kami punya adalah sepeda. Kendaraan yang membawa kami kemanapun kami mau. Usia saya saat itu lima tahun, setiap pagi kakek saya membawa saya dan adik saya berkeliling kampong dengan sepeda ontel wedok miliknya. Kakek membawa saya dan adik saya karena ibu saya harus mencuci dan memasak. Adik saya duduk di keranjang yang dipasang di badan setang, sedang saya duduk di boncengan belakang dengan kaki terikat di leher sedel sepeda lalu kakek saya menuntun sepeda keliling kampong. Saya paling suka melihat kuda, sehingga kakek membawa saya ke kandang kuda dikampung sebelah. Saya masih ingat, namanya pemilik kandang kuda itu mbah dolah karis, dia memiliki 3 ekor kuda dan dua buah andong(dokar), kadang saya turun dan menaiki andong tanpa kuda itu. Setelah hari cukup siang kakek membawa kami kembali kerumah dan diserahkan kembali ke ibu dan itu berlangsung hingga saya mulai masuk taman kanak-kanak.

Sepeda jengki dirumah menjadi kenangan tersendiri bagi saya, karena sepeda itu menjadi satu-satunya kendaraan kami sekeluarga untuk ke kota ataupun kerumah kerabat. Masih melekat erat dalam ingatan saya tentang sepeda jengki, sepeda yang membawa saya, ayah, dan adik saya mengunjungi ibu yang sakit pada payudaranya. Sepeda itu pula yang membawa saya dan keluarga kekota melihat iring-iringan kereta kuda pemakaman Sultan HB IX yang melewati jalan brigjen katamso menuju jalan imogiri yang berakhir di pemakaman raja-raja Imogiri. Dengan sepeda jengki itu saya dan keluarga selepas magrib bersama –sama ke studio foto untuk berfoto bersama. Ayah saya mengayuh sepeda, adik saya yang pertama duduk dikeranjang depan, saya berdiri pada boncengan belakang memeluk erat ayah saya, dan ibu duduk menyamping menggendong adik yang baru berusia beberapa bulan. Dengan sepeda itu pula saya dan keluarga berduyun kekebun binatang hingga mengunjungi sanak keluarga.

Tahun 1990 - 1996, motor mulai ramai menjadi kendaraan pengganti sepeda, namun keluarga saya masih menggunakan sepeda dalam keseharian kami, karena hanya itu yang kami punya. Dan sepeda jengki itu pula yang membawa saya setiap pagi sejak 1996-1998 kesekolah menengah pertama hingga tahun ke dua, karena ditahun ketiga saya mendapatkan sepeda federal bekas pakai yang dibeli ayah dari seorang teman. Warnanya masih sama hijau tua, hanya berbeda metalik. Tahun itu pula, ayah mendapatkan sepeda motor lungsuran atau tangan kedua dari seorang anak kos yang menawarkan ke ayah.

Setiap pagi saat saya mengayuh sepeda jengki menuju sekolah, saya selalu berbarengan dengan ibu-ibu dengan caping petani sebagai penahan panas matahari dari desa yang jauh dari kampong saya bersepeda ontel dengan berkelompok berisi 15-20 orang yang secara bersama-sama mengayuh sepeda mereka kekota sambil bercerita dan sesekali tertawa. Diboncengan belakang mereka selalu terpasang dua buah kotak sayuran atau biasa disebut tenggok dikanan kiri sisi sepeda dengan selendang jarit atau selendang batik sebagai pengikat dan penopangnya yang akan dibuka setelah sampai dipasar kota seperti pasar prawirotaman, pasar mergangsan hingga pasar beringharjo untuk dijual. Seperti kejuaraan sepeda rally secara teratur ibu-ibu itu berjajar lurus kebelakang dengan tempo irama kayuh yang hampir bersamaan tidak ada saling mendahului hanya menjaga ritme mereka, hingga nanti berpisah dilokasi pasar biasa mereka menjajakan hasil buminya. Hal yang sama akan terjadi saat senja mulai turun, ibu-ibu itu kembali ke desanya berbarengan bertemu dan berpisah dijalan menuju rumah masing-masing.

Itulah, apa yang masih lekat menjadi kenangan dalam benak saya tentang sepeda yang secara perlahan mulai tersisihkan oleh motor sebagai kendaraan yang jauh lebih cepat efisien. Namun, saya masih merasakan kebanggaan karena disaat menjamurnya sepeda motor di Jogja, masih ada sebagian ibu-ibu menggunakan sepeda jawa dan jengki sebagai sarana transportasi.


Jogjakarta
8 September 2011
WebRepOverall rating

No comments:

Post a Comment