Jogjakarta, sebuah kota dengan kekentalan budaya dan
pelestarian tradisi merupakan sebuah cagar seni budaya yang tak lekang termakan
jaman. Kota dimana warganya menganut tata nilai kemasyarakatan “Ngarso
Dalem Engsun” atau mengikuti keinginan sang raja kerajaan Mataram yang
kini dikenal dengan Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat hingga kini masih teguh
memegang tradisi leluhur. Tradisi Sekaten, Gunungan maulidan, Gunungan Syawal,
Hingga gunungan Besar menjadi agenda rutin tahunan yang selalu digelar tiap
tahunnya dan menjadikannya suatu bentuk tradisi yang selalu dilestarikan.
Dari hal yang besar, seperti tradisi tersebut akan
sangat timpang saat mendalami segi social kemasyarakatannya yang perpindah pada
nilai-nilai urban dan global. Anak-anak kecil tidak lagi mengenal lagu-lagu
jawa selain hanya melalui pendidikan formal disekolah lewat pendidikan bahasa
jawa, gamelan jawa, hingga tembang-tembang jawa lainnya. Masyarakat tidak lagi
menyukai bersepeda melainkan menggantikan dengan kendaraan yang lebih modern ,
motor. Praktis, cepat, dan mudah.
Bagaimana dengan sepeda itu sendiri? Sepeda yang
sejak berpuluh-puluh tahun menjadi kendaraan khas masyarakat jawa perlahan
ditinggalkan. Saya ingat, dua sebutan untuk sepeda di Jogja (saya tidak pernah
mau menyebut jogja sebagai Jawa karena alasan banyak kota besar lainnya ada di
Jawa) yang pertama sepeda Ontel, sepeda yang menyerupai bentuk leher angsa
dengan tulang-tulang yang kokoh berdiameter 2-3 cm. sepeda ontel ini
terbagi pula dalam 2 jenis, ontel lanang (laki-laki) dan ontel
wedok (perempuan). Apa yang membedakannya? Pada ontel lanang, pada bagian
bawah tempat duduk (bak) terdapat sebuah besi yang menghubungkan bak dengan
leher pada badan sepeda dibawah setang sepeda sehingga biasanya sepeda ini
sangat enak digunakan untuk berpacaran masa itu karena sang perempuan akan
dapat duduk menyamping didepan si laki-laki, sedangkan pada ontel wedok tidak
memiliki pembatas, pada sepeda ini akan dipasang keranjang dudukan bagi anak
kecil. Jenis yang kedua adalah Sepeda jengki. Sepeda ini merupakan jenis
sepeda cina. Dengan badan yang lebih ramping dan lebih ringan dibandingkan
sepeda ontel.
Pikiran saya kembali kemasa kecil saya. Kakek saya
pernah memiliki kedua jenis sepeda ontel tersebut, salah satunya
(ontel lanang) digunakan suami kakak ayah saya. Dan ayah saya memiliki sebuah
sepeda jengki berwarna hijau. Sepeda jengki tersebut sangat
mengingatkan saya pada masa kecil saya hingga SMP. Begitu banyak kenangan pada
sepeda itu.
Akhir tahun 80an awal 90an, satu-satunya kendaraan
yang kami punya adalah sepeda. Kendaraan yang membawa kami kemanapun kami mau.
Usia saya saat itu lima tahun, setiap pagi kakek saya membawa saya dan adik
saya berkeliling kampong dengan sepeda ontel wedok miliknya. Kakek membawa saya
dan adik saya karena ibu saya harus mencuci dan memasak. Adik saya duduk di
keranjang yang dipasang di badan setang, sedang saya duduk di boncengan
belakang dengan kaki terikat di leher sedel sepeda lalu kakek saya menuntun
sepeda keliling kampong. Saya paling suka melihat kuda, sehingga kakek membawa
saya ke kandang kuda dikampung sebelah. Saya masih ingat, namanya pemilik
kandang kuda itu mbah dolah karis, dia memiliki 3 ekor kuda dan dua buah andong(dokar),
kadang saya turun dan menaiki andong tanpa kuda itu. Setelah hari cukup siang
kakek membawa kami kembali kerumah dan diserahkan kembali ke ibu dan itu
berlangsung hingga saya mulai masuk taman kanak-kanak.
Sepeda jengki dirumah menjadi kenangan tersendiri
bagi saya, karena sepeda itu menjadi satu-satunya kendaraan kami sekeluarga
untuk ke kota ataupun kerumah kerabat. Masih melekat erat dalam ingatan saya
tentang sepeda jengki, sepeda yang membawa saya, ayah, dan adik saya
mengunjungi ibu yang sakit pada payudaranya. Sepeda itu pula yang membawa saya
dan keluarga kekota melihat iring-iringan kereta kuda pemakaman Sultan HB IX
yang melewati jalan brigjen katamso menuju jalan imogiri yang berakhir di
pemakaman raja-raja Imogiri. Dengan sepeda jengki itu saya dan keluarga selepas
magrib bersama –sama ke studio foto untuk berfoto bersama. Ayah saya mengayuh
sepeda, adik saya yang pertama duduk dikeranjang depan, saya berdiri pada
boncengan belakang memeluk erat ayah saya, dan ibu duduk menyamping menggendong
adik yang baru berusia beberapa bulan. Dengan sepeda itu pula saya dan keluarga
berduyun kekebun binatang hingga mengunjungi sanak keluarga.
Tahun 1990 - 1996, motor mulai ramai menjadi
kendaraan pengganti sepeda, namun keluarga saya masih menggunakan sepeda dalam
keseharian kami, karena hanya itu yang kami punya. Dan sepeda jengki itu pula
yang membawa saya setiap pagi sejak 1996-1998 kesekolah menengah pertama hingga
tahun ke dua, karena ditahun ketiga saya mendapatkan sepeda federal bekas pakai
yang dibeli ayah dari seorang teman. Warnanya masih sama hijau tua, hanya
berbeda metalik. Tahun itu pula, ayah mendapatkan sepeda motor lungsuran atau
tangan kedua dari seorang anak kos yang menawarkan ke ayah.
Setiap pagi saat saya mengayuh sepeda jengki menuju
sekolah, saya selalu berbarengan dengan ibu-ibu dengan caping petani sebagai
penahan panas matahari dari desa yang jauh dari kampong saya bersepeda ontel
dengan berkelompok berisi 15-20 orang yang secara bersama-sama mengayuh sepeda
mereka kekota sambil bercerita dan sesekali tertawa. Diboncengan belakang
mereka selalu terpasang dua buah kotak sayuran atau biasa disebut tenggok dikanan
kiri sisi sepeda dengan selendang jarit atau selendang batik sebagai pengikat
dan penopangnya yang akan dibuka setelah sampai dipasar kota seperti pasar
prawirotaman, pasar mergangsan hingga pasar beringharjo untuk dijual. Seperti
kejuaraan sepeda rally secara teratur ibu-ibu itu berjajar lurus kebelakang
dengan tempo irama kayuh yang hampir bersamaan tidak ada saling mendahului
hanya menjaga ritme mereka, hingga nanti berpisah dilokasi pasar biasa mereka
menjajakan hasil buminya. Hal yang sama akan terjadi saat senja mulai turun,
ibu-ibu itu kembali ke desanya berbarengan bertemu dan berpisah dijalan menuju
rumah masing-masing.
Itulah, apa yang masih lekat menjadi kenangan dalam
benak saya tentang sepeda yang secara perlahan mulai tersisihkan oleh motor
sebagai kendaraan yang jauh lebih cepat efisien. Namun, saya masih merasakan
kebanggaan karena disaat menjamurnya sepeda motor di Jogja, masih ada sebagian
ibu-ibu menggunakan sepeda jawa dan jengki sebagai sarana transportasi.
Jogjakarta
8 September 2011
WebRepOverall rating
No comments:
Post a Comment