Sore mulai menjelang, matahari mulai condong diufuk barat. Cahanya
kuning mulai menyirami langit Jogja. Tepat pukul 3 sore, Bersama teman-teman
saya lajukan kendaraan di 27 kilometer selatan kota Jogja. Menuju Parangtritis
tepatnya untuk menutup kebersamaan saya bersama mereka selama di Jogjakarta.
Perjalanan saya tempuh selama kurang lebih satu jam untuk sampai
ketempat tujuan. Jalan Parangtritis menjadi jalan utama untuk mencapai daerah
wisata pantai tersebut. Selama perjalanan saya berpapasan dengan beragam jenis
kendaraan dengan beragam nomor polisi yang sebagian besar merupakan kendaraan
dari luar kota. Perjalanan saya cukup terganggu dengan deretan bis pariwisata
yang dikawal oleh mobil patroli dari Kepolisian menjadi guide mereka dan
mengambil separuh badan jalan, akan dimaklumi kalau itu barisan mobil dan bus
dari pemerintah. Namun tidak, jejeran bus yang sebanyak 22 bus hanyalah dari
Ikatan dan persatuan Karyawan daerah Kedu, kebumen dan sekitarnya. Beberapa
orang pengendara bertetiak dan menghujat perilaku polisi dan bus yang berjalah
seolah jalan miliknya tersebut.
“Jangan mentang-mentang dikawal Polisi, bisa seenaknya di kota
orang” kata teman saya. Saya melanjutkan kembali perjalanan. Jalanan yang
berkelok mulus membuai saya melewati medan perjalanan yang jauh berbeda dari
saat terakhir saya berkunjung di Pantai Parangtritis setahun lalu yang masih
ada lobang, dan aspal kurang rata dan berpasir disamping jalan. Satu kilometer
sebelum area wisata saya berhenti, membayar retribusi sebesar 3.500 rupiah
perorang untuk meneruskan perjalanan saya.
Perjalanan saya hentikan disamping sebuah bukit dengan gapura kecil
bertuliskan “Makam Syekh Maulana Maghribi”. Nama Syekh Maulana Maghribi
bukanlah nama asing bagi masyarakat Jogjakarta, karena menurut sejarah kerajaan
jawa dan Demak, Syekh Maulana Maghribi adalah seorang penyebar Agama Islam dari
jazirah Arab yang mendarat di Demak untuk menyebarkan Agama Islam di Pulau Jawa
dan mengislamkan Seorang pendeta di daerah Mancingan, timur Parang
Wedang (parang= Batu; wedang= air masak), Parangtritis Kiai Selaening dan
para muridnya di Gunung Sentana.
Syekh Maulana Maghribi adalah ayah kandung dari Jaka Tarub (Kidang
Telangkas) dan suami dari Putri Blambangan, Rasa Wulan adik dari Sunan Kalijaga
(Raden Sahid). Beliau meninggal tidak di Mancingan melainkan di wilayah Gresik
dan dimakamkan di Makam gapura.
Saya jadi bertanya-tanya soal makam dan nisan yang dibangun
dipadepokan digunung Sentana. Saya memberanikan bertanya kepada salah seorang
penjaga makam, menurut sejarah makam itu dibangun untuk mengingat akan
keberadaan Syekh Maulana Maghribi dan untuk meminta doa dan berkah dari beliau
seperti layaknya berhadapan dengan Syekh Maulana Maghribi. Walaupun keinginan
Syekh Maulana Maghribi untuk tidak menjadikan Makam dan nisannya diistimewakan,
pihak keraton Jogjakarta setiap bulan Sya’ban selalu memberikan uang dan
perlengkapan dimakam tersebut dan melakukan upacara Sadranan (Nyadran) pada
tanggal 25 bulan Sya’ban. Nyadran adalah upacara berdoa bersama dari keluarga,
kerabat, saudara, atau umat bagi keluarga atau orang yang dianggap dihormati.
Setelah cukup mengetahui tentang makam yang membuat saya penasaran,
sambil menuruni anak tangga, saya melihat di selatan lereng gunung, terdapat
sebuah pemandian air panas disana. Wah…cukup tertarik saya untuk mencobanya,
namun mengingat matahari yang semakin condong kebarat dan saya kembali
melanjutkan perjalanan ke pantai yang menjadi tujuan utama saya.
Kendaraan saya parkir lima puluh meter dari area Pantai. Disekitar tempat
saya parkir berjajar banyak sekali kios yang menjajakan makanan, kaos, celana
batik, hingga penginapan yang masih ramai dengan pengunjung.
Saya disambut dengan dataran pasir putih dan hitam bersama angin
sore yang cukup keras menyapu sore ini. Barisan batok kelapa membentuk jalanan
seolah mengucap selamat datang. Seorang teman nyeletuk berkata “Ini boleh
diinjakkan?” menunjuk pada barisan batok kelapa yang berjejer rapi. “Boleh”
Jawab teman saya yang lain.
Angin menyisir setiap helai rambut saya, pasti masih terasa hangat,
bersama bau asin dan amis air laut yang terbawa angina. Bocah-bocah kecil asyik
dengan layang-layang mereka, para muda-mudi asik bermain ATV atau berkuda dan
naik andong. Saya terduduk diatas pasir yang masih hangat, memandang indahnya
sinar senja yang perlahan mulai tunduk oleh malam. Bias warna kontras antara
biru laut selatan dan orange kekuningan langit menambah kekagumanku akan
karunia Ilahi dan keindahan pantai ini.
Tidak sedikit para pasangan muda menghabiskan sore dibibir pantai
yang terkenal dengan ragam mistis dan ombak yang besar ini. Penjual jagung
bakar membuka jualannya di sini, hanya saling berjarak 20 meter mereka
menjajakan jagung bakar, yang bersebelahan dengan sepeda penjual siomay yang
sibuk dengan pembeli. Penjaga pantai sibuk berkeliling menjaga pantai rawan
dengan memberikan peringatan untuk tidak terlalu dekat dengan pantai. Namun
namanya anak-anak sulit untuk diberitahu. Saya hanya bisa tersenyum melihat
keriaan sore ini.
Sejenak saya teringat akan sejarah asal mula disebutnya pantai ini
dengan sebutan Parangtritis. Nama parangtritis diberikan oleh seorang pelarian
dari Kerajaan Majapahit, Dipokusumo, yang melakukan semedi di kawasan ini. Saat
ia melakukan semedi Dipokusumo melihat tetesan air (tumaritis) dari celah-celah
batu karang (Parang) yang akhirnya menyebutnya Parangtritis.
Sungguh mudahnya memberikan nama sebuah tempat pikirku, hanya
berdasarkan apa yang dilihat dan didengar jadilah sebuah nama. Disini juga
disebut-sebut sebagai tempat bertemunya Pangeran Panembahan Senopati dengan
Sunan Kalijaga seusai Pangeran Panembahan Senopati melakukan semedi atau cerita
tentang penguasa pantai Laut Selatan yang Misterius dan mistis.
Secara geografis, satu hal yang menarik perhatian saya, arah tegak
lurus dari Utara ke Selatan. Sebuah kesatuan Trimurti, yaitu Gunung Merapi
(Utara) – Keraton Jogjakarta (Tengah) dan Pantai Laut Selatan (Selatan). Jika
ditarik ketiganya menjadi sebuah garis yang seperti saya ungkapkan tegak lurus.
Hmm…sebuah keseimbangan nampaknya.
Hari semakin senja, suasana minggu sore saya nampaknya akan semakin
lama disini, diatas pasir hitam yang memutih karena kering dan tersapu oleh
angina yang semakin besar. Pandangan saya tertuju pada bukit-bukit di utara
pantai, terdapat banyak warung yang mulai memendarkan lampu penerangan membuat
suasana seperti di Yunani atau Brazil. Rumah-rumah dibukit dengan cahaya lampu
menerangi bukit membentuk seperti gugusan bintang kala malam mulai larut.
pikiran saya kembali ke masa kecil saya tentang sebuah kejadian
misterius yang dialami oleh tante saya, tepatnya anak dari kakak ayah saya saat
berlibur di pantai ini bersama teman sekampung. asik perfoto-foto mengabadikan
moment keriaan mereka dengan kamera pocket yang masih dengan pita negatif dan
saat itu mengambil gambar laut selatan, salah satu hasil foto setelah dicetak
tergambar sesosok perempuan dengan baju serba hijau termasuk selendang yang
dikenakannya, ditambah mahkota keemasan tergambar jelas didepan ombak yang
dipotretnya, untuk menjaga hal yang tidak diinginkan hasil foto itu ditaruh
bunga dan dupa beberapa hari dan dibakar kemudian. Mistisme Laut selatan
memanglah menebarkan sisi misteri tersendiri. Termasuk cerita tentang tumbal
Nyi Roro Kidul dengan menarik pengunjung yang berenang dipantai. percaya tidak
percaya itu yang dianut oleh sebagian besar warga masyarakat Jogja.
Sebuah para layang terbang 100 meter dari jarak pandang saya
membuyarkan lamunan saya, olahraga para layang dilakukan di Parangndog yang
berarti telur karang. Disana memang sangat ramai dengan olahraga tersebut,
namun sungguh sulit untuk mencapai puncak dari bukit Parangndog, tetapi jangan
salah jika telah sampai disana segala usaha anda akan terbayarkan dengan
keindahan alam, dan laut yang sangat indah. Saya agak takut akan ketinggian,
jadi saya mengurungkan niat saya mengajak teman-teman kesana.
Malam mulai menjelang, keramaian tidak juga surut, deretan
lampu-lampu petromaks ibu-ibu penjual jagung bakar mulai menyala, memberi nuansa
berbeda diantara angin yang membawa terbang pasir halus pantai dan deburan
ombak yang mula semakin kerasi memecah malam. Saya jadi tertarik untuk
menikmati jagung bakar. Satu bonggol jagung dihargai 5000 rupiah, cukup murah
untuk sebuah tempat wisata yang selalu ramai dikunjungi wisatawan.
tawa riuh anak-anak bermain ATV, dentuman mercon dan kembang api
menambah meriah suasana pantai yang mulai beranjak malam. seperti pesta yang
tak akan pernah usai, selalu ada hal yang dilakukan untuk membuat betah duduk
disini bersama indah alunan angin yang bersiulan dari bukit Parangndog ditimur
pantai ke arah barat, ditambah deburan ombah yang seolah bernyanyi menyibak
kelam malam dalam temaram petromaks.
suasana pantai memang menyuguhkan romantisme-romantisme tersendiri
bagi penikmatnya, tidak hanya dengan pasangannya saja melainkan dengan teman
dan sahabat. nuansa romatisme alunan gitar, bersama angin yang berhembus
kencang, ditambah deburan ombak pemecah sunyi diantara taburan bintang dan
bulan yang semakin sempurna membentuk lingkaran penuh purnama pada tanggal 15
nanti. Akan lebih lengkap dengan jagung Bakar dan Wedang Ronde,
"mantap" mungkin kalimat itu tepat menggambarkan riuh romantisme
pantai yang tak dapat tergantikan oleh suasana lainnya.
Aroma asin dan amis air laut semakin tebal tercium, sesekali aroma
jagung bakar memberi jeda untuk angin laut kembali menebar kegaraman lautnya.
Namun tak menurunkan niat saya untuk beranjak dari sini. Saya masih ingin
berlama disini menghabiskan malam terakhir saya di Jogja bersama teman-teman
sebelum kembali ke Jakarta esok malam, dan akan kembali nanti lebaran. Saya
berharap akan dapat kembali sebelum lebaran…hehehe.
Malam semakin larut, air pasang laut mulai mendekat tempat saya
duduk, area pantai semakin sepi, gaung peringatan dari penjaga pantai telah
mulai diperdengarkan penanda pengunjung untuk segera berpindah hal tersebut
menjadi pertanda pula bagi saya untuk segera meninggalkan arena. Saya dan teman
pun beranjak menuju tempat kami memarkirkan kendaraan. Kios-kios masih buka
sebagian, terutama yang menyediakan penginapan.
Waktu menunjuk pukul 7.30 malam. Udara terasa semakin dingin. Saya
dan teman bersiap kembali. Jalanan kearah kota nampaknya lebih ramai dari arah
sebaliknya. Saya ingat belum melakukan sholat Isya’ dan Maghrib. Saya pun
menghentikan kendaraan disalah satu masjid yang cukup ramai dengan mobil dan
kendaraan lain terparkir untuk melakukan sholat. Masjid Syekh Maulana Maghribi.
Perjalanan saya lanjutkan, untuk segera pulang dan mengepak barang
bawaan saya esok. Namun, melihat indah Jogja dari setiap perjalanan yang saya
lalui selama di Jogja serta kesan yang saya dapatkan akan menyisakan rindu yang
besar terhadap kota yang membesarkan saya ini. Bertemu kembali dengan teman dan
sahabat-sahabat masa sekolah saya, keluarga besar, keponakan-keponakan yang
nakal dan lucu. Termasuk kerinduan saya akan Pasar Malam dan Sekatenan yang
belum sempat kembali saya nikmati. Mungkin nanti.
Jogjakarta, 11 September 2011
Suatu Senja
No comments:
Post a Comment