9/11/2011

Bersama Senja Parangtritis: Menutup rindu dan hangatnya Kota


Sore mulai menjelang, matahari mulai condong diufuk barat. Cahanya kuning mulai menyirami langit Jogja. Tepat pukul 3 sore, Bersama teman-teman saya lajukan kendaraan di 27 kilometer selatan kota Jogja. Menuju Parangtritis tepatnya untuk menutup kebersamaan saya bersama mereka selama di Jogjakarta.

Perjalanan saya tempuh selama kurang lebih satu jam untuk sampai ketempat tujuan. Jalan Parangtritis menjadi jalan utama untuk mencapai daerah wisata pantai tersebut. Selama perjalanan saya berpapasan dengan beragam jenis kendaraan dengan beragam nomor polisi yang sebagian besar merupakan kendaraan dari luar kota. Perjalanan saya cukup terganggu dengan deretan bis pariwisata yang dikawal oleh mobil patroli dari Kepolisian menjadi guide mereka dan mengambil separuh badan jalan, akan dimaklumi kalau itu barisan mobil dan bus dari pemerintah. Namun tidak, jejeran bus yang sebanyak 22 bus hanyalah dari Ikatan dan persatuan Karyawan daerah Kedu, kebumen dan sekitarnya. Beberapa orang pengendara bertetiak dan menghujat perilaku polisi dan bus yang berjalah seolah jalan miliknya tersebut.

“Jangan mentang-mentang dikawal Polisi, bisa seenaknya di kota orang” kata teman saya. Saya melanjutkan kembali perjalanan. Jalanan yang berkelok mulus membuai saya melewati medan perjalanan yang jauh berbeda dari saat terakhir saya berkunjung di Pantai Parangtritis setahun lalu yang masih ada lobang, dan aspal kurang rata dan berpasir disamping jalan. Satu kilometer sebelum area wisata saya berhenti, membayar retribusi sebesar 3.500 rupiah perorang untuk meneruskan perjalanan saya.

Perjalanan saya hentikan disamping sebuah bukit dengan gapura kecil bertuliskan “Makam Syekh Maulana Maghribi”. Nama Syekh Maulana Maghribi bukanlah nama asing bagi masyarakat Jogjakarta, karena menurut sejarah kerajaan jawa dan Demak, Syekh Maulana Maghribi adalah seorang penyebar Agama Islam dari jazirah Arab yang mendarat di Demak untuk menyebarkan Agama Islam di Pulau Jawa dan mengislamkan Seorang pendeta di daerah Mancingan,  timur Parang Wedang (parang= Batu; wedang= air masak), Parangtritis Kiai Selaening dan para muridnya di Gunung Sentana.

Syekh Maulana Maghribi adalah ayah kandung dari Jaka Tarub (Kidang Telangkas) dan suami dari Putri Blambangan, Rasa Wulan adik dari Sunan Kalijaga (Raden Sahid). Beliau meninggal tidak di Mancingan melainkan di wilayah Gresik dan dimakamkan di Makam gapura.

Saya jadi bertanya-tanya soal makam dan nisan yang dibangun dipadepokan digunung Sentana. Saya memberanikan bertanya kepada salah seorang penjaga makam, menurut sejarah makam itu dibangun untuk mengingat akan keberadaan Syekh Maulana Maghribi dan untuk meminta doa dan berkah dari beliau seperti layaknya berhadapan dengan Syekh Maulana Maghribi. Walaupun keinginan Syekh Maulana Maghribi untuk tidak menjadikan Makam dan nisannya diistimewakan, pihak keraton Jogjakarta setiap bulan Sya’ban selalu memberikan uang dan perlengkapan dimakam tersebut dan melakukan upacara Sadranan (Nyadran) pada tanggal 25 bulan Sya’ban. Nyadran adalah upacara berdoa bersama dari keluarga, kerabat, saudara, atau umat bagi keluarga atau orang yang dianggap dihormati.
Setelah cukup mengetahui tentang makam yang membuat saya penasaran, sambil menuruni anak tangga, saya melihat di selatan lereng gunung, terdapat sebuah pemandian air panas disana. Wah…cukup tertarik saya untuk mencobanya, namun mengingat matahari yang semakin condong kebarat dan saya kembali melanjutkan perjalanan ke pantai yang menjadi tujuan utama saya.

Kendaraan saya parkir lima puluh meter dari area Pantai. Disekitar tempat saya parkir berjajar banyak sekali kios yang menjajakan makanan, kaos, celana batik, hingga penginapan yang masih ramai dengan pengunjung.

Saya disambut dengan dataran pasir putih dan hitam bersama angin sore yang cukup keras menyapu sore ini. Barisan batok kelapa membentuk jalanan seolah mengucap selamat datang. Seorang teman nyeletuk berkata “Ini boleh diinjakkan?” menunjuk pada barisan batok kelapa yang berjejer rapi. “Boleh” Jawab teman saya yang lain.

Angin menyisir setiap helai rambut saya, pasti masih terasa hangat, bersama bau asin dan amis air laut yang terbawa angina. Bocah-bocah kecil asyik dengan layang-layang mereka, para muda-mudi asik bermain ATV atau berkuda dan naik andong. Saya terduduk diatas pasir yang masih hangat, memandang indahnya sinar senja yang perlahan mulai tunduk oleh malam. Bias warna kontras antara biru laut selatan dan orange kekuningan langit menambah kekagumanku akan karunia Ilahi dan keindahan pantai ini.

Tidak sedikit para pasangan muda menghabiskan sore dibibir pantai yang terkenal dengan ragam mistis dan ombak yang besar ini. Penjual jagung bakar membuka jualannya di sini, hanya saling berjarak 20 meter mereka menjajakan jagung bakar, yang bersebelahan dengan sepeda penjual siomay yang sibuk dengan pembeli. Penjaga pantai sibuk berkeliling menjaga pantai rawan dengan memberikan peringatan untuk tidak terlalu dekat dengan pantai. Namun namanya anak-anak sulit untuk diberitahu. Saya hanya bisa tersenyum melihat keriaan sore ini.

Sejenak saya teringat akan sejarah asal mula disebutnya pantai ini dengan sebutan Parangtritis. Nama parangtritis diberikan oleh seorang pelarian dari Kerajaan Majapahit, Dipokusumo, yang melakukan semedi di kawasan ini. Saat ia melakukan semedi Dipokusumo melihat tetesan air (tumaritis) dari celah-celah batu karang (Parang) yang akhirnya menyebutnya Parangtritis.
Sungguh mudahnya memberikan nama sebuah tempat pikirku, hanya berdasarkan apa yang dilihat dan didengar jadilah sebuah nama. Disini juga disebut-sebut sebagai tempat bertemunya Pangeran Panembahan Senopati dengan Sunan Kalijaga seusai Pangeran Panembahan Senopati melakukan semedi atau cerita tentang penguasa pantai Laut Selatan yang Misterius dan mistis.

Secara geografis, satu hal yang menarik perhatian saya, arah tegak lurus dari Utara ke Selatan. Sebuah kesatuan Trimurti, yaitu Gunung Merapi (Utara) – Keraton Jogjakarta (Tengah) dan Pantai Laut Selatan (Selatan). Jika ditarik ketiganya menjadi sebuah garis yang seperti saya ungkapkan tegak lurus. Hmm…sebuah keseimbangan nampaknya.

Hari semakin senja, suasana minggu sore saya nampaknya akan semakin lama disini, diatas pasir hitam yang memutih karena kering dan tersapu oleh angina yang semakin besar. Pandangan saya tertuju pada bukit-bukit di utara pantai, terdapat banyak warung yang mulai memendarkan lampu penerangan membuat suasana seperti di Yunani atau Brazil. Rumah-rumah dibukit dengan cahaya lampu menerangi bukit membentuk seperti gugusan bintang kala malam mulai larut.

pikiran saya kembali ke masa kecil saya tentang sebuah kejadian misterius yang dialami oleh tante saya, tepatnya anak dari kakak ayah saya saat berlibur di pantai ini bersama teman sekampung. asik perfoto-foto mengabadikan moment keriaan mereka dengan kamera pocket yang masih dengan pita negatif dan saat itu mengambil gambar laut selatan, salah satu hasil foto setelah dicetak tergambar sesosok perempuan dengan baju serba hijau termasuk selendang yang dikenakannya, ditambah mahkota keemasan tergambar jelas didepan ombak yang dipotretnya, untuk menjaga hal yang tidak diinginkan hasil foto itu ditaruh bunga dan dupa beberapa hari dan dibakar kemudian. Mistisme Laut selatan memanglah menebarkan sisi misteri tersendiri. Termasuk cerita tentang tumbal Nyi Roro Kidul dengan menarik pengunjung yang berenang dipantai. percaya tidak percaya itu yang dianut oleh sebagian besar warga masyarakat Jogja.

Sebuah para layang terbang 100 meter dari jarak pandang saya membuyarkan lamunan saya, olahraga para layang dilakukan di Parangndog yang berarti telur karang. Disana memang sangat ramai dengan olahraga tersebut, namun sungguh sulit untuk mencapai puncak dari bukit Parangndog, tetapi jangan salah jika telah sampai disana segala usaha anda akan terbayarkan dengan keindahan alam, dan laut yang sangat indah. Saya agak takut akan ketinggian, jadi saya mengurungkan niat saya mengajak teman-teman kesana.

Malam mulai menjelang, keramaian tidak juga surut, deretan lampu-lampu petromaks ibu-ibu penjual jagung bakar mulai menyala, memberi nuansa berbeda diantara angin yang membawa terbang pasir halus pantai dan deburan ombak yang mula semakin kerasi memecah malam. Saya jadi tertarik untuk menikmati jagung bakar. Satu bonggol jagung dihargai 5000 rupiah, cukup murah untuk sebuah tempat wisata yang selalu ramai dikunjungi wisatawan.

tawa riuh anak-anak bermain ATV, dentuman mercon dan kembang api menambah meriah suasana pantai yang mulai beranjak malam. seperti pesta yang tak akan pernah usai, selalu ada hal yang dilakukan untuk membuat betah duduk disini bersama indah alunan angin yang bersiulan dari bukit Parangndog ditimur pantai ke arah barat, ditambah deburan ombah yang seolah bernyanyi menyibak kelam malam dalam temaram petromaks.

suasana pantai memang menyuguhkan romantisme-romantisme tersendiri bagi penikmatnya, tidak hanya dengan pasangannya saja melainkan dengan teman dan sahabat. nuansa romatisme alunan gitar, bersama angin yang berhembus kencang, ditambah deburan ombak pemecah sunyi diantara taburan bintang dan bulan yang semakin sempurna membentuk lingkaran penuh purnama pada tanggal 15 nanti. Akan lebih lengkap dengan jagung Bakar dan Wedang Ronde, "mantap" mungkin kalimat itu tepat menggambarkan riuh romantisme pantai yang tak dapat tergantikan oleh suasana lainnya.

Aroma asin dan amis air laut semakin tebal tercium, sesekali aroma jagung bakar memberi jeda untuk angin laut kembali menebar kegaraman lautnya. Namun tak menurunkan niat saya untuk beranjak dari sini. Saya masih ingin berlama disini menghabiskan malam terakhir saya di Jogja bersama teman-teman sebelum kembali ke Jakarta esok malam, dan akan kembali nanti lebaran. Saya berharap akan dapat kembali sebelum lebaran…hehehe.

Malam semakin larut, air pasang laut mulai mendekat tempat saya duduk, area pantai semakin sepi, gaung peringatan dari penjaga pantai telah mulai diperdengarkan penanda pengunjung untuk segera berpindah hal tersebut menjadi pertanda pula bagi saya untuk segera meninggalkan arena. Saya dan teman pun beranjak menuju tempat kami memarkirkan kendaraan. Kios-kios masih buka sebagian, terutama yang menyediakan penginapan.

Waktu menunjuk pukul 7.30 malam. Udara terasa semakin dingin. Saya dan teman bersiap kembali. Jalanan kearah kota nampaknya lebih ramai dari arah sebaliknya. Saya ingat belum melakukan sholat Isya’ dan Maghrib. Saya pun menghentikan kendaraan disalah satu masjid yang cukup ramai dengan mobil dan kendaraan lain terparkir untuk melakukan sholat. Masjid Syekh Maulana Maghribi.

Perjalanan saya lanjutkan, untuk segera pulang dan mengepak barang bawaan saya esok. Namun, melihat indah Jogja dari setiap perjalanan yang saya lalui selama di Jogja serta kesan yang saya dapatkan akan menyisakan rindu yang besar terhadap kota yang membesarkan saya ini. Bertemu kembali dengan teman dan sahabat-sahabat masa sekolah saya, keluarga besar, keponakan-keponakan yang nakal dan lucu. Termasuk kerinduan saya akan Pasar Malam dan Sekatenan yang belum sempat kembali saya nikmati. Mungkin nanti.

Jogjakarta, 11 September 2011

Suatu Senja

No comments:

Post a Comment