Langit cerah digawangi kumpulan awan putih menghias kota Jogja siang
ini. Waktu menunjuk pukul 3.45 sore. Matahari masih menyorot hari dengan ceria,
panasnya masih terasa menyengat kulit, namun angin sepoi memudarkan terik
sinarnya. Dan saya berdiri tepat diatas terowongan atau gerbang masuk
area ndalem keraton atau Djeron Beteng, kini menjadi jalan
umum bagi setiap kendaraan. Dikanan kiri plengkung gading terdapat sebuah jalan
setapak menuju pojok dari tembok yang memagari lingkungan keraton yang disebut
Pojok Beteng Wetan (timur) dan Pojok Beteng Kulon (barat).
Dalam Sejarah Jogjakarta, Plengkung Gading disebut juga
sebagai Plengkung Nirbaya. Plengkung gading merupakan satu dari lima pintu
gerbang masuk lingkungan Djeron beteng istana yang masih berdiri kokoh seperti
aslinya selain dari Plengkung Wijilan atau Plengkung Tarunasura disisi
timur keraton Jogjakarta. Ketiga Plengkung yang lain yaitu Plengkung
Madyasurya (Plengkung buntet),Plengkung Jagabaya (Plengkung
Tamansari) dan Plengkung Jagasurya (terletak di sebelah barat
alun-alun utara berhadapan dengan Jalan Malioboro). Dari kelimanya menurut para abdi
dalem, Plengkung Madyasurya yang terletak disisi barat kraton
Jogjakarta satu-satunya plengkung yang telah ditutup sejak 23 Juni 1812,
alasannya adalah untuk menhindari gempuran musuh jaman itu yang kemudian
dibongkar pada masa Sultan HB VIII digantikan dengan gapura gerbang biasa.
Masih dalam sejarah yang dipernah ditulis, konon Plengkung gading
merupakan gerbang terlarang bagi Sultan untuk melewatinya, karena plengkung
Gading (Plengkung Nirbaya) yang dalam system tata letak keraton Jogjakarta
hanya digunakan untuk pintu keluar jenazah Sultan yang telah tiada untuk
dimakamkan menuju Makam raja-raja di Imogiri.
Bentuknya yang asli menjadi salah satu spot yang sangat bagus untuk
mengabadikan moment saat berada di Jogjakarta. Itu yang saya saksikan saat ini,
tidak hanya remaja dan anak-anak, melainkan orang tua saling bergantian berfoto
disamping plengkung gading ataupun di tangga menuju atas plengkung. Mata saya
tertuju lurus ke utara, menembus alun-alun yang rame dengan anak-anak bermain
bola, laying-layang, berlatih sepeda, hingga hanya berlarian saling berkejaran
dengan teman sebayanya. Pandangan saya terhenti tepat ditengah alun-alun, dua
buah pohon beringin besar dengan pagar tinggi mengelilinginya. Ada banyak
cerita menarik disana, akan saya ceritakan nanti. Kembali mata saya memadang
lurus ke utara, berakhir pada bangunan tua yang merupakan bagian belakang dari
keraton Jogjakarta disebut sasono Hinggil Dwi Abad. Lampu hijau menjadi
perwarna dalam Sasono Hinggil.
Didepan Sasono Hinggil Dwi Abad terdapat sebuah
patung berbentuk Gajah. Menurut abdi dalem kraton yang selalu ditugaskan di
Sasono Hinggil, Adanya Alun-Alun Selatan ini adalah sebagai penyeimbang dari
Alun-Alun Utara yang bersifat Ribut, dipilihnya Gajah sebagai symbol karena
gajah merupakan binatang yang tenang dan damai. Sehingga Alun-alun selatan
menjadi tempatPalereman(Istirahat) bagi para Dewa, yang diyakini kini oleh
masyarakat sebagai tempat untukNgleremake Ati (Menenangkan hati). Di sini,
sering digelar pagelaran wayang semalam suntuk, dan juga menjadi area persiapan
para prajurit keraton untuk melaksanakan gladi resik pada saat Grebek maulid.
Hari semakin senja, saya turun menapaki tangga menuju ke Utara.
Disamping kanan kiri jalan menuju alun-alun masih berdiri beberapa bangunan
lama yang masih dipertahankan bentuk aslinya walau ada beberapa yang telah
dipugar dan dibangun dengan rumah-rumah yang lebih modern. Dirumah-rumah itu
masih tergantung kandang burung perkutut yang burung itu berbunyi “kuk..geruuuukk…koook”
menambah suasana sore semakin lengkap. Saya menyusuri pinggiran jalan yang
mengitari area alun-alun, para pedagang barang-barang tua menjajakan jualannya,
ada gelas dan piring kuningan, payung, Radio tua, Harmonika, uang koin logam
berbagai jaman, hingga mainan anak-anak yang lebih modern, pistol-pistolan,
parasut, bola, hingga kelereng.
Saya berhenti diseorang penjual yang sedang menjajakan dagangannya.
Ia menjual rantai sepeda, gear sepeda, baut, handphone bekas dan
barang-barang dari kuningan atau tembaga. Menarik, saya jadi ingat dengan
salah satu kawasan di Jatinegara yang menjadi salah satu tempat menjual
barang-barang bekas.
Saya mengarahkan pandangan ke alun-alun, anak-anak masih asyik
berlarian, pertandingan sepakbola entah antar teman atau club masih berlangsung.
Saat hari makin sore, Alun-alun selatan akan selalu ramai dengan beragam
aktivitas menghibur diri. Bersepeda dan berlari sore menjadi salah satu pilihan
bergaya hidup sehat. Saya jadi berpikir, sudahkah saya bergaya hidup sehat?,
hmm…saya hanya tersenyum menahan geli. Saya tertawa geli bukan karena
memikirkan gaya hidup sehat, melainkan melihat seorang gadis kecil sedang
diajarkan mengayuh sepeda oleh ayahnya, beberapa kali itu terjatuh namun ia
masih sangat gigih mencobanya.
Saya baru menyadari akan perubahan disekitar saya, bukan
perubahan fisik bangunan melainkan suasana yang berubah, tidak lagi sama dengan
dua jam lalu, kini satu persatu gerobak-gerobak berdatangan menempati area
masing-masing, membuka terpal penutup, spanduk di sekelilingnya, membuka tikar
untuk para tamu duduk lesehan, dan bersiap menerima para pembeli dan
pengunjung. Alun-alun Selatan akan sangat ramai dan penuh dengan pengunjung
saat malam minggu. akan lebih banyak pedagang dan pengunjung menghabiskan malam
minggu mereka dengan pacar, teman, sahabat ataupun dengan keluarga. di area ini
juga disediakan sepeda keluarga, ataupun sepeda hias dengan lampu warna-warni.
biaya sewa sepeda keluarga sekitar 15 ribuan atau sepeda lampu hias hanya
dengan membayar 20ribuan pengunjung dapat berkeliling alun-alun.
Aroma masakan menyeruak dan menusuk indera penciuman saya,
hmm…sangat lezat nampaknya. Layaknya pasar malam, para penjaja saling menunggu
pengunjung yang datang. Saya sangat tertarik dengan aroma jahe disalah satu
sudut alun-alun, sebuah gerobak kecil berwarna hijau kecoklatan menjadi tujuan
wisata kuliner saya. Hmmm…aromanya sangat menyegarkan. Saya memesan satu
mangkuk wedang ronde, dengan harga yang sangat murah hanya 2500 rupiah. Rasa
hangat langsung terasa saat saya meneguk sesekali air Jahenya, seperti mengusir
hawa dingin yang mulai turun menyisir hangat sore.
Rasanya, satu mangkuk wedang ronde belum cukup, saya
berpindah tidak jauh dari penjual wedang ronde di timur alun-alun ini, saya
berhenti di salah satu kedai penjual wedang Bajigur. Bajigur merupakan
minuman yang khas di Jogjakarta, dulu waktu kecil saya sering membeli wedang
bajigur di warung penjual ubi dan singkong goring tidak jauh dari rumah. Isinya
air jahe dan air kelapa, ditambah potongan kecil roti tawar, kolang kaling dan
potongan dadu kecil kepala. Perut saya kembali terasa hangat, bagus untuk
mencegah masuk angin.
Tak lengkap rasanya berkeliling Alun-alun tanpa memanjakan lidah
dengan mencicipi makanan lesehan. Kisaran harga yang sangat murah menjadi
alasan saya memuaskan lidah saya akan makanan disini. Saya tertarik dengan
sebuah kedai makan yang sangat ramai di bagian barat daya alun-alun. Kedai yang
menjual telur semur, sambel krecek, opor ayam kampong dan sambel rawit Nampak
sangat menggugah selera. Memang benar rasa opor ayam yang sangat lezat, bumbu
yang meresap sempurna hingga ke tulang-tulangnya membuat saya terpuaskan,
ditambah kuahnya yang kental serta aroma bumbu rempahnya membuat saya terbuai.
Ditemani segelas teh tawar menjadikannya semakin lengkap. Merogoh kocek 10-15
ribu rupiah sangat cukup memuaskan rasa lapar saya.
Perut telah terisi, udara juga telah semakin dingin. Satu hal yang
sangat ingin saya lakukan sebelum mengakhirinya. Saya akan melakukan atraksi Masangin,
yaitu melewati dua buah pohon beringin dengan mata tertutup kain hitam. Kain
hitam dapat disewa dengan membayar 3000 rupiah. Konon kayanya, jika ada yang
dapat dengan lurus melewati kedua beringin ini, si pelaku Masangin akan
mendapatkan berkah tak terhingga, tetapi jangan salah, jangan pernah mencoba
untuk melirik, karena akan dapat membawa kita kedunia lain dan menemukan
keadaan alun-alun yang sangat sepi dan kita akan susah kembali kedunia nyata.
Saya telah dalam posisi tegak lurus tepat segaris dengan jalan
antara kedua beringin tersebut berdiri. Tepatnya menghadap keselatan. Satu demi
satu langkah saya jalan. Menurut saya saya berjalan sangat lambat dan lurus
kedepan kearah plengkung gading, namun setelah beberapa menit saya berjalan,
yang menyewakan kain itu berbicara kepada saya untuk membukanya. Saya pun
langsung membukanya, dengan harapan saya telah melewati kedua beringin tersebut,
namun tidak, saya melenceng jauh ke barat, jangankan sampai, melewati atau
berada diantara kedua beringin itupun tidak. Sesuatu yang tidak dapat
dipercaya. Terkadang perasaan dan kenyataan memang tidak selalu sama pikir saya
saat itu.
Sudah lengkap, senja sudah berganti malam, lampu-lampu mercuri telah
menyala menyinari alun-alun, cahaya memendarkan warna orange diarea alun-alun.
Dan saya telah terpuaskan. Saatnya saya meninggalkan arena, tempat dimana saya
selalu berlari pagi dihari minggu bersama ayah dan adik saya dulu. Tidak ada
yang berubah, semua masih sama, tradisi masih terjaga, dan masyarakat masih
menghabiskan senja mereka disini, ditempat yang menurut warga Jogja menjadi
tempat Ngleremake Ati.
Jogjakarta, September 2011
Satu Sisi Kota
No comments:
Post a Comment