9/12/2011

Menapak Senja Di Alun-Alun Selatan


Langit cerah digawangi kumpulan awan putih menghias kota Jogja siang ini. Waktu menunjuk pukul 3.45 sore. Matahari masih menyorot hari dengan ceria, panasnya masih terasa menyengat kulit, namun angin sepoi memudarkan terik sinarnya.  Dan saya berdiri tepat diatas terowongan atau gerbang masuk area ndalem keraton atau Djeron Beteng, kini menjadi jalan umum bagi setiap kendaraan. Dikanan kiri plengkung gading terdapat sebuah jalan setapak menuju pojok dari tembok yang memagari lingkungan keraton yang disebut Pojok Beteng Wetan (timur) dan Pojok Beteng Kulon (barat).

Dalam Sejarah Jogjakarta,  Plengkung Gading disebut juga sebagai Plengkung Nirbaya. Plengkung gading merupakan satu dari lima pintu gerbang masuk lingkungan Djeron beteng istana yang masih berdiri kokoh seperti aslinya selain dari Plengkung Wijilan atau Plengkung Tarunasura disisi timur keraton Jogjakarta. Ketiga Plengkung yang lain yaitu Plengkung Madyasurya (Plengkung buntet),Plengkung Jagabaya (Plengkung Tamansari) dan Plengkung Jagasurya (terletak di sebelah barat alun-alun utara berhadapan dengan Jalan Malioboro). Dari kelimanya menurut para abdi dalem, Plengkung Madyasurya  yang terletak disisi barat kraton Jogjakarta satu-satunya plengkung yang telah ditutup sejak 23 Juni 1812, alasannya adalah untuk menhindari gempuran musuh jaman itu yang kemudian dibongkar pada masa Sultan HB VIII digantikan dengan gapura gerbang biasa.

Masih dalam sejarah yang dipernah ditulis, konon Plengkung gading merupakan gerbang terlarang bagi Sultan untuk melewatinya, karena plengkung Gading (Plengkung Nirbaya) yang dalam system tata letak keraton Jogjakarta hanya digunakan untuk pintu keluar jenazah Sultan yang telah tiada untuk dimakamkan menuju Makam raja-raja di Imogiri.

Bentuknya yang asli menjadi salah satu spot yang sangat bagus untuk mengabadikan moment saat berada di Jogjakarta. Itu yang saya saksikan saat ini, tidak hanya remaja dan anak-anak, melainkan orang tua saling bergantian berfoto disamping plengkung gading ataupun di tangga menuju atas plengkung. Mata saya tertuju lurus ke utara, menembus alun-alun yang rame dengan anak-anak bermain bola, laying-layang, berlatih sepeda, hingga hanya berlarian saling berkejaran dengan teman sebayanya. Pandangan saya terhenti tepat ditengah alun-alun, dua buah pohon beringin besar dengan pagar tinggi mengelilinginya. Ada banyak cerita menarik disana, akan saya ceritakan nanti. Kembali mata saya memadang lurus ke utara, berakhir pada bangunan tua yang merupakan bagian belakang dari keraton Jogjakarta disebut sasono Hinggil Dwi Abad. Lampu hijau menjadi perwarna dalam Sasono Hinggil.

Didepan Sasono Hinggil  Dwi Abad terdapat sebuah patung berbentuk Gajah. Menurut abdi dalem kraton yang selalu ditugaskan di Sasono Hinggil, Adanya Alun-Alun Selatan ini adalah sebagai penyeimbang dari Alun-Alun Utara yang bersifat Ribut, dipilihnya Gajah sebagai symbol karena gajah merupakan binatang yang tenang dan damai. Sehingga Alun-alun selatan menjadi tempatPalereman(Istirahat) bagi para Dewa, yang diyakini kini oleh masyarakat sebagai tempat untukNgleremake Ati (Menenangkan hati). Di sini, sering digelar pagelaran wayang semalam suntuk, dan juga menjadi area persiapan para prajurit keraton untuk melaksanakan gladi resik pada saat Grebek maulid.

Hari semakin senja, saya turun menapaki tangga menuju ke Utara. Disamping kanan kiri jalan menuju alun-alun masih berdiri beberapa bangunan lama yang masih dipertahankan bentuk aslinya walau ada beberapa yang telah dipugar dan dibangun dengan rumah-rumah yang lebih modern. Dirumah-rumah itu masih tergantung kandang burung perkutut yang burung itu berbunyi “kuk..geruuuukk…koook” menambah suasana sore semakin lengkap. Saya menyusuri pinggiran jalan yang mengitari area alun-alun, para pedagang barang-barang tua menjajakan jualannya, ada gelas dan piring kuningan, payung, Radio tua, Harmonika, uang koin logam berbagai jaman, hingga mainan anak-anak yang lebih modern, pistol-pistolan, parasut, bola, hingga kelereng.

Saya berhenti diseorang penjual yang sedang menjajakan dagangannya.  Ia menjual rantai sepeda, gear sepeda, baut, handphone bekas dan barang-barang dari kuningan atau tembaga.  Menarik, saya jadi ingat dengan salah satu kawasan di Jatinegara yang menjadi salah satu tempat menjual barang-barang bekas.

Saya mengarahkan pandangan ke alun-alun, anak-anak masih asyik berlarian, pertandingan sepakbola  entah antar teman atau club masih berlangsung.  Saat hari makin sore, Alun-alun selatan akan selalu ramai dengan beragam aktivitas menghibur diri. Bersepeda dan berlari sore menjadi salah satu pilihan bergaya hidup sehat. Saya jadi berpikir, sudahkah saya bergaya hidup sehat?, hmm…saya hanya tersenyum menahan geli. Saya tertawa geli bukan karena memikirkan gaya hidup sehat, melainkan melihat seorang gadis kecil sedang diajarkan mengayuh sepeda oleh ayahnya, beberapa kali itu terjatuh namun ia masih sangat gigih mencobanya.

Saya baru menyadari akan perubahan disekitar saya,  bukan perubahan fisik bangunan melainkan suasana yang berubah, tidak lagi sama dengan dua jam lalu, kini satu persatu gerobak-gerobak berdatangan menempati area masing-masing, membuka terpal penutup, spanduk di sekelilingnya, membuka tikar untuk para tamu duduk lesehan, dan bersiap menerima para pembeli dan pengunjung. Alun-alun Selatan akan sangat ramai dan penuh dengan pengunjung saat malam minggu. akan lebih banyak pedagang dan pengunjung menghabiskan malam minggu mereka dengan pacar, teman, sahabat ataupun dengan keluarga. di area ini juga disediakan sepeda keluarga, ataupun sepeda hias dengan lampu warna-warni. biaya sewa sepeda keluarga sekitar 15 ribuan atau sepeda lampu hias hanya dengan membayar 20ribuan pengunjung dapat berkeliling alun-alun.

Aroma masakan menyeruak dan menusuk indera penciuman saya, hmm…sangat lezat nampaknya. Layaknya pasar malam, para penjaja saling menunggu pengunjung yang datang. Saya sangat tertarik dengan aroma jahe disalah satu sudut alun-alun, sebuah gerobak kecil berwarna hijau kecoklatan menjadi tujuan wisata kuliner saya. Hmmm…aromanya sangat menyegarkan. Saya memesan satu mangkuk wedang ronde, dengan harga yang sangat murah hanya 2500 rupiah. Rasa hangat langsung terasa saat saya meneguk sesekali air Jahenya, seperti mengusir hawa dingin yang mulai turun menyisir hangat sore.

Rasanya, satu mangkuk wedang ronde belum cukup, saya berpindah tidak jauh dari penjual wedang ronde di timur alun-alun ini, saya berhenti di salah satu kedai penjual wedang Bajigur. Bajigur merupakan minuman yang khas di Jogjakarta, dulu waktu kecil saya sering membeli wedang bajigur di warung penjual ubi dan singkong goring tidak jauh dari rumah. Isinya air jahe dan air kelapa, ditambah potongan kecil roti tawar, kolang kaling dan potongan dadu kecil kepala.  Perut saya kembali terasa hangat, bagus untuk mencegah masuk angin.

Tak lengkap rasanya berkeliling Alun-alun tanpa memanjakan lidah dengan mencicipi makanan lesehan. Kisaran harga yang sangat murah menjadi alasan saya memuaskan lidah saya akan makanan disini. Saya tertarik dengan sebuah kedai makan yang sangat ramai di bagian barat daya alun-alun. Kedai yang menjual telur semur, sambel krecek, opor ayam kampong dan sambel rawit Nampak sangat menggugah selera. Memang benar rasa opor ayam yang sangat lezat, bumbu yang meresap sempurna hingga ke tulang-tulangnya membuat saya terpuaskan, ditambah kuahnya yang kental serta aroma bumbu rempahnya membuat saya terbuai. Ditemani segelas teh tawar menjadikannya semakin lengkap. Merogoh kocek 10-15 ribu rupiah sangat cukup memuaskan rasa lapar saya.

Perut telah terisi, udara juga telah semakin dingin. Satu hal yang sangat ingin saya lakukan sebelum mengakhirinya. Saya akan melakukan atraksi Masangin, yaitu melewati dua buah pohon beringin dengan mata tertutup kain hitam. Kain hitam dapat disewa dengan membayar 3000 rupiah. Konon kayanya, jika ada yang dapat dengan lurus melewati kedua beringin ini, si pelaku Masangin akan mendapatkan berkah tak terhingga, tetapi jangan salah, jangan pernah mencoba untuk melirik, karena akan dapat membawa kita kedunia lain dan menemukan keadaan alun-alun yang sangat sepi dan kita akan susah kembali kedunia nyata.

Saya telah dalam posisi tegak lurus tepat segaris dengan jalan antara kedua beringin tersebut berdiri. Tepatnya menghadap keselatan. Satu demi satu langkah saya jalan. Menurut saya saya berjalan sangat lambat dan lurus kedepan kearah plengkung gading, namun setelah beberapa menit saya berjalan, yang menyewakan kain itu berbicara kepada saya untuk membukanya. Saya pun langsung membukanya, dengan harapan saya telah melewati kedua beringin tersebut, namun tidak, saya melenceng jauh ke barat, jangankan sampai, melewati atau berada diantara kedua beringin itupun tidak. Sesuatu yang tidak dapat dipercaya. Terkadang perasaan dan kenyataan memang tidak selalu sama pikir saya saat itu.

Sudah lengkap, senja sudah berganti malam, lampu-lampu mercuri telah menyala menyinari alun-alun, cahaya memendarkan warna orange diarea alun-alun. Dan saya telah terpuaskan. Saatnya saya meninggalkan arena, tempat dimana saya selalu berlari pagi dihari minggu bersama ayah dan adik saya dulu. Tidak ada yang berubah, semua masih sama, tradisi masih terjaga, dan masyarakat masih menghabiskan senja mereka disini, ditempat yang menurut warga Jogja menjadi tempat Ngleremake Ati.


Jogjakarta, September 2011

Satu Sisi Kota 

No comments:

Post a Comment