9/12/2011

Menapak Senja Di Alun-Alun Selatan


Langit cerah digawangi kumpulan awan putih menghias kota Jogja siang ini. Waktu menunjuk pukul 3.45 sore. Matahari masih menyorot hari dengan ceria, panasnya masih terasa menyengat kulit, namun angin sepoi memudarkan terik sinarnya.  Dan saya berdiri tepat diatas terowongan atau gerbang masuk area ndalem keraton atau Djeron Beteng, kini menjadi jalan umum bagi setiap kendaraan. Dikanan kiri plengkung gading terdapat sebuah jalan setapak menuju pojok dari tembok yang memagari lingkungan keraton yang disebut Pojok Beteng Wetan (timur) dan Pojok Beteng Kulon (barat).

Dalam Sejarah Jogjakarta,  Plengkung Gading disebut juga sebagai Plengkung Nirbaya. Plengkung gading merupakan satu dari lima pintu gerbang masuk lingkungan Djeron beteng istana yang masih berdiri kokoh seperti aslinya selain dari Plengkung Wijilan atau Plengkung Tarunasura disisi timur keraton Jogjakarta. Ketiga Plengkung yang lain yaitu Plengkung Madyasurya (Plengkung buntet),Plengkung Jagabaya (Plengkung Tamansari) dan Plengkung Jagasurya (terletak di sebelah barat alun-alun utara berhadapan dengan Jalan Malioboro). Dari kelimanya menurut para abdi dalem, Plengkung Madyasurya  yang terletak disisi barat kraton Jogjakarta satu-satunya plengkung yang telah ditutup sejak 23 Juni 1812, alasannya adalah untuk menhindari gempuran musuh jaman itu yang kemudian dibongkar pada masa Sultan HB VIII digantikan dengan gapura gerbang biasa.

Masih dalam sejarah yang dipernah ditulis, konon Plengkung gading merupakan gerbang terlarang bagi Sultan untuk melewatinya, karena plengkung Gading (Plengkung Nirbaya) yang dalam system tata letak keraton Jogjakarta hanya digunakan untuk pintu keluar jenazah Sultan yang telah tiada untuk dimakamkan menuju Makam raja-raja di Imogiri.

Bentuknya yang asli menjadi salah satu spot yang sangat bagus untuk mengabadikan moment saat berada di Jogjakarta. Itu yang saya saksikan saat ini, tidak hanya remaja dan anak-anak, melainkan orang tua saling bergantian berfoto disamping plengkung gading ataupun di tangga menuju atas plengkung. Mata saya tertuju lurus ke utara, menembus alun-alun yang rame dengan anak-anak bermain bola, laying-layang, berlatih sepeda, hingga hanya berlarian saling berkejaran dengan teman sebayanya. Pandangan saya terhenti tepat ditengah alun-alun, dua buah pohon beringin besar dengan pagar tinggi mengelilinginya. Ada banyak cerita menarik disana, akan saya ceritakan nanti. Kembali mata saya memadang lurus ke utara, berakhir pada bangunan tua yang merupakan bagian belakang dari keraton Jogjakarta disebut sasono Hinggil Dwi Abad. Lampu hijau menjadi perwarna dalam Sasono Hinggil.

Didepan Sasono Hinggil  Dwi Abad terdapat sebuah patung berbentuk Gajah. Menurut abdi dalem kraton yang selalu ditugaskan di Sasono Hinggil, Adanya Alun-Alun Selatan ini adalah sebagai penyeimbang dari Alun-Alun Utara yang bersifat Ribut, dipilihnya Gajah sebagai symbol karena gajah merupakan binatang yang tenang dan damai. Sehingga Alun-alun selatan menjadi tempatPalereman(Istirahat) bagi para Dewa, yang diyakini kini oleh masyarakat sebagai tempat untukNgleremake Ati (Menenangkan hati). Di sini, sering digelar pagelaran wayang semalam suntuk, dan juga menjadi area persiapan para prajurit keraton untuk melaksanakan gladi resik pada saat Grebek maulid.

Hari semakin senja, saya turun menapaki tangga menuju ke Utara. Disamping kanan kiri jalan menuju alun-alun masih berdiri beberapa bangunan lama yang masih dipertahankan bentuk aslinya walau ada beberapa yang telah dipugar dan dibangun dengan rumah-rumah yang lebih modern. Dirumah-rumah itu masih tergantung kandang burung perkutut yang burung itu berbunyi “kuk..geruuuukk…koook” menambah suasana sore semakin lengkap. Saya menyusuri pinggiran jalan yang mengitari area alun-alun, para pedagang barang-barang tua menjajakan jualannya, ada gelas dan piring kuningan, payung, Radio tua, Harmonika, uang koin logam berbagai jaman, hingga mainan anak-anak yang lebih modern, pistol-pistolan, parasut, bola, hingga kelereng.

Saya berhenti diseorang penjual yang sedang menjajakan dagangannya.  Ia menjual rantai sepeda, gear sepeda, baut, handphone bekas dan barang-barang dari kuningan atau tembaga.  Menarik, saya jadi ingat dengan salah satu kawasan di Jatinegara yang menjadi salah satu tempat menjual barang-barang bekas.

Saya mengarahkan pandangan ke alun-alun, anak-anak masih asyik berlarian, pertandingan sepakbola  entah antar teman atau club masih berlangsung.  Saat hari makin sore, Alun-alun selatan akan selalu ramai dengan beragam aktivitas menghibur diri. Bersepeda dan berlari sore menjadi salah satu pilihan bergaya hidup sehat. Saya jadi berpikir, sudahkah saya bergaya hidup sehat?, hmm…saya hanya tersenyum menahan geli. Saya tertawa geli bukan karena memikirkan gaya hidup sehat, melainkan melihat seorang gadis kecil sedang diajarkan mengayuh sepeda oleh ayahnya, beberapa kali itu terjatuh namun ia masih sangat gigih mencobanya.

Saya baru menyadari akan perubahan disekitar saya,  bukan perubahan fisik bangunan melainkan suasana yang berubah, tidak lagi sama dengan dua jam lalu, kini satu persatu gerobak-gerobak berdatangan menempati area masing-masing, membuka terpal penutup, spanduk di sekelilingnya, membuka tikar untuk para tamu duduk lesehan, dan bersiap menerima para pembeli dan pengunjung. Alun-alun Selatan akan sangat ramai dan penuh dengan pengunjung saat malam minggu. akan lebih banyak pedagang dan pengunjung menghabiskan malam minggu mereka dengan pacar, teman, sahabat ataupun dengan keluarga. di area ini juga disediakan sepeda keluarga, ataupun sepeda hias dengan lampu warna-warni. biaya sewa sepeda keluarga sekitar 15 ribuan atau sepeda lampu hias hanya dengan membayar 20ribuan pengunjung dapat berkeliling alun-alun.

Aroma masakan menyeruak dan menusuk indera penciuman saya, hmm…sangat lezat nampaknya. Layaknya pasar malam, para penjaja saling menunggu pengunjung yang datang. Saya sangat tertarik dengan aroma jahe disalah satu sudut alun-alun, sebuah gerobak kecil berwarna hijau kecoklatan menjadi tujuan wisata kuliner saya. Hmmm…aromanya sangat menyegarkan. Saya memesan satu mangkuk wedang ronde, dengan harga yang sangat murah hanya 2500 rupiah. Rasa hangat langsung terasa saat saya meneguk sesekali air Jahenya, seperti mengusir hawa dingin yang mulai turun menyisir hangat sore.

Rasanya, satu mangkuk wedang ronde belum cukup, saya berpindah tidak jauh dari penjual wedang ronde di timur alun-alun ini, saya berhenti di salah satu kedai penjual wedang Bajigur. Bajigur merupakan minuman yang khas di Jogjakarta, dulu waktu kecil saya sering membeli wedang bajigur di warung penjual ubi dan singkong goring tidak jauh dari rumah. Isinya air jahe dan air kelapa, ditambah potongan kecil roti tawar, kolang kaling dan potongan dadu kecil kepala.  Perut saya kembali terasa hangat, bagus untuk mencegah masuk angin.

Tak lengkap rasanya berkeliling Alun-alun tanpa memanjakan lidah dengan mencicipi makanan lesehan. Kisaran harga yang sangat murah menjadi alasan saya memuaskan lidah saya akan makanan disini. Saya tertarik dengan sebuah kedai makan yang sangat ramai di bagian barat daya alun-alun. Kedai yang menjual telur semur, sambel krecek, opor ayam kampong dan sambel rawit Nampak sangat menggugah selera. Memang benar rasa opor ayam yang sangat lezat, bumbu yang meresap sempurna hingga ke tulang-tulangnya membuat saya terpuaskan, ditambah kuahnya yang kental serta aroma bumbu rempahnya membuat saya terbuai. Ditemani segelas teh tawar menjadikannya semakin lengkap. Merogoh kocek 10-15 ribu rupiah sangat cukup memuaskan rasa lapar saya.

Perut telah terisi, udara juga telah semakin dingin. Satu hal yang sangat ingin saya lakukan sebelum mengakhirinya. Saya akan melakukan atraksi Masangin, yaitu melewati dua buah pohon beringin dengan mata tertutup kain hitam. Kain hitam dapat disewa dengan membayar 3000 rupiah. Konon kayanya, jika ada yang dapat dengan lurus melewati kedua beringin ini, si pelaku Masangin akan mendapatkan berkah tak terhingga, tetapi jangan salah, jangan pernah mencoba untuk melirik, karena akan dapat membawa kita kedunia lain dan menemukan keadaan alun-alun yang sangat sepi dan kita akan susah kembali kedunia nyata.

Saya telah dalam posisi tegak lurus tepat segaris dengan jalan antara kedua beringin tersebut berdiri. Tepatnya menghadap keselatan. Satu demi satu langkah saya jalan. Menurut saya saya berjalan sangat lambat dan lurus kedepan kearah plengkung gading, namun setelah beberapa menit saya berjalan, yang menyewakan kain itu berbicara kepada saya untuk membukanya. Saya pun langsung membukanya, dengan harapan saya telah melewati kedua beringin tersebut, namun tidak, saya melenceng jauh ke barat, jangankan sampai, melewati atau berada diantara kedua beringin itupun tidak. Sesuatu yang tidak dapat dipercaya. Terkadang perasaan dan kenyataan memang tidak selalu sama pikir saya saat itu.

Sudah lengkap, senja sudah berganti malam, lampu-lampu mercuri telah menyala menyinari alun-alun, cahaya memendarkan warna orange diarea alun-alun. Dan saya telah terpuaskan. Saatnya saya meninggalkan arena, tempat dimana saya selalu berlari pagi dihari minggu bersama ayah dan adik saya dulu. Tidak ada yang berubah, semua masih sama, tradisi masih terjaga, dan masyarakat masih menghabiskan senja mereka disini, ditempat yang menurut warga Jogja menjadi tempat Ngleremake Ati.


Jogjakarta, September 2011

Satu Sisi Kota 

9/11/2011

Bersama Senja Parangtritis: Menutup rindu dan hangatnya Kota


Sore mulai menjelang, matahari mulai condong diufuk barat. Cahanya kuning mulai menyirami langit Jogja. Tepat pukul 3 sore, Bersama teman-teman saya lajukan kendaraan di 27 kilometer selatan kota Jogja. Menuju Parangtritis tepatnya untuk menutup kebersamaan saya bersama mereka selama di Jogjakarta.

Perjalanan saya tempuh selama kurang lebih satu jam untuk sampai ketempat tujuan. Jalan Parangtritis menjadi jalan utama untuk mencapai daerah wisata pantai tersebut. Selama perjalanan saya berpapasan dengan beragam jenis kendaraan dengan beragam nomor polisi yang sebagian besar merupakan kendaraan dari luar kota. Perjalanan saya cukup terganggu dengan deretan bis pariwisata yang dikawal oleh mobil patroli dari Kepolisian menjadi guide mereka dan mengambil separuh badan jalan, akan dimaklumi kalau itu barisan mobil dan bus dari pemerintah. Namun tidak, jejeran bus yang sebanyak 22 bus hanyalah dari Ikatan dan persatuan Karyawan daerah Kedu, kebumen dan sekitarnya. Beberapa orang pengendara bertetiak dan menghujat perilaku polisi dan bus yang berjalah seolah jalan miliknya tersebut.

“Jangan mentang-mentang dikawal Polisi, bisa seenaknya di kota orang” kata teman saya. Saya melanjutkan kembali perjalanan. Jalanan yang berkelok mulus membuai saya melewati medan perjalanan yang jauh berbeda dari saat terakhir saya berkunjung di Pantai Parangtritis setahun lalu yang masih ada lobang, dan aspal kurang rata dan berpasir disamping jalan. Satu kilometer sebelum area wisata saya berhenti, membayar retribusi sebesar 3.500 rupiah perorang untuk meneruskan perjalanan saya.

Perjalanan saya hentikan disamping sebuah bukit dengan gapura kecil bertuliskan “Makam Syekh Maulana Maghribi”. Nama Syekh Maulana Maghribi bukanlah nama asing bagi masyarakat Jogjakarta, karena menurut sejarah kerajaan jawa dan Demak, Syekh Maulana Maghribi adalah seorang penyebar Agama Islam dari jazirah Arab yang mendarat di Demak untuk menyebarkan Agama Islam di Pulau Jawa dan mengislamkan Seorang pendeta di daerah Mancingan,  timur Parang Wedang (parang= Batu; wedang= air masak), Parangtritis Kiai Selaening dan para muridnya di Gunung Sentana.

Syekh Maulana Maghribi adalah ayah kandung dari Jaka Tarub (Kidang Telangkas) dan suami dari Putri Blambangan, Rasa Wulan adik dari Sunan Kalijaga (Raden Sahid). Beliau meninggal tidak di Mancingan melainkan di wilayah Gresik dan dimakamkan di Makam gapura.

Saya jadi bertanya-tanya soal makam dan nisan yang dibangun dipadepokan digunung Sentana. Saya memberanikan bertanya kepada salah seorang penjaga makam, menurut sejarah makam itu dibangun untuk mengingat akan keberadaan Syekh Maulana Maghribi dan untuk meminta doa dan berkah dari beliau seperti layaknya berhadapan dengan Syekh Maulana Maghribi. Walaupun keinginan Syekh Maulana Maghribi untuk tidak menjadikan Makam dan nisannya diistimewakan, pihak keraton Jogjakarta setiap bulan Sya’ban selalu memberikan uang dan perlengkapan dimakam tersebut dan melakukan upacara Sadranan (Nyadran) pada tanggal 25 bulan Sya’ban. Nyadran adalah upacara berdoa bersama dari keluarga, kerabat, saudara, atau umat bagi keluarga atau orang yang dianggap dihormati.
Setelah cukup mengetahui tentang makam yang membuat saya penasaran, sambil menuruni anak tangga, saya melihat di selatan lereng gunung, terdapat sebuah pemandian air panas disana. Wah…cukup tertarik saya untuk mencobanya, namun mengingat matahari yang semakin condong kebarat dan saya kembali melanjutkan perjalanan ke pantai yang menjadi tujuan utama saya.

Kendaraan saya parkir lima puluh meter dari area Pantai. Disekitar tempat saya parkir berjajar banyak sekali kios yang menjajakan makanan, kaos, celana batik, hingga penginapan yang masih ramai dengan pengunjung.

Saya disambut dengan dataran pasir putih dan hitam bersama angin sore yang cukup keras menyapu sore ini. Barisan batok kelapa membentuk jalanan seolah mengucap selamat datang. Seorang teman nyeletuk berkata “Ini boleh diinjakkan?” menunjuk pada barisan batok kelapa yang berjejer rapi. “Boleh” Jawab teman saya yang lain.

Angin menyisir setiap helai rambut saya, pasti masih terasa hangat, bersama bau asin dan amis air laut yang terbawa angina. Bocah-bocah kecil asyik dengan layang-layang mereka, para muda-mudi asik bermain ATV atau berkuda dan naik andong. Saya terduduk diatas pasir yang masih hangat, memandang indahnya sinar senja yang perlahan mulai tunduk oleh malam. Bias warna kontras antara biru laut selatan dan orange kekuningan langit menambah kekagumanku akan karunia Ilahi dan keindahan pantai ini.

Tidak sedikit para pasangan muda menghabiskan sore dibibir pantai yang terkenal dengan ragam mistis dan ombak yang besar ini. Penjual jagung bakar membuka jualannya di sini, hanya saling berjarak 20 meter mereka menjajakan jagung bakar, yang bersebelahan dengan sepeda penjual siomay yang sibuk dengan pembeli. Penjaga pantai sibuk berkeliling menjaga pantai rawan dengan memberikan peringatan untuk tidak terlalu dekat dengan pantai. Namun namanya anak-anak sulit untuk diberitahu. Saya hanya bisa tersenyum melihat keriaan sore ini.

Sejenak saya teringat akan sejarah asal mula disebutnya pantai ini dengan sebutan Parangtritis. Nama parangtritis diberikan oleh seorang pelarian dari Kerajaan Majapahit, Dipokusumo, yang melakukan semedi di kawasan ini. Saat ia melakukan semedi Dipokusumo melihat tetesan air (tumaritis) dari celah-celah batu karang (Parang) yang akhirnya menyebutnya Parangtritis.
Sungguh mudahnya memberikan nama sebuah tempat pikirku, hanya berdasarkan apa yang dilihat dan didengar jadilah sebuah nama. Disini juga disebut-sebut sebagai tempat bertemunya Pangeran Panembahan Senopati dengan Sunan Kalijaga seusai Pangeran Panembahan Senopati melakukan semedi atau cerita tentang penguasa pantai Laut Selatan yang Misterius dan mistis.

Secara geografis, satu hal yang menarik perhatian saya, arah tegak lurus dari Utara ke Selatan. Sebuah kesatuan Trimurti, yaitu Gunung Merapi (Utara) – Keraton Jogjakarta (Tengah) dan Pantai Laut Selatan (Selatan). Jika ditarik ketiganya menjadi sebuah garis yang seperti saya ungkapkan tegak lurus. Hmm…sebuah keseimbangan nampaknya.

Hari semakin senja, suasana minggu sore saya nampaknya akan semakin lama disini, diatas pasir hitam yang memutih karena kering dan tersapu oleh angina yang semakin besar. Pandangan saya tertuju pada bukit-bukit di utara pantai, terdapat banyak warung yang mulai memendarkan lampu penerangan membuat suasana seperti di Yunani atau Brazil. Rumah-rumah dibukit dengan cahaya lampu menerangi bukit membentuk seperti gugusan bintang kala malam mulai larut.

pikiran saya kembali ke masa kecil saya tentang sebuah kejadian misterius yang dialami oleh tante saya, tepatnya anak dari kakak ayah saya saat berlibur di pantai ini bersama teman sekampung. asik perfoto-foto mengabadikan moment keriaan mereka dengan kamera pocket yang masih dengan pita negatif dan saat itu mengambil gambar laut selatan, salah satu hasil foto setelah dicetak tergambar sesosok perempuan dengan baju serba hijau termasuk selendang yang dikenakannya, ditambah mahkota keemasan tergambar jelas didepan ombak yang dipotretnya, untuk menjaga hal yang tidak diinginkan hasil foto itu ditaruh bunga dan dupa beberapa hari dan dibakar kemudian. Mistisme Laut selatan memanglah menebarkan sisi misteri tersendiri. Termasuk cerita tentang tumbal Nyi Roro Kidul dengan menarik pengunjung yang berenang dipantai. percaya tidak percaya itu yang dianut oleh sebagian besar warga masyarakat Jogja.

Sebuah para layang terbang 100 meter dari jarak pandang saya membuyarkan lamunan saya, olahraga para layang dilakukan di Parangndog yang berarti telur karang. Disana memang sangat ramai dengan olahraga tersebut, namun sungguh sulit untuk mencapai puncak dari bukit Parangndog, tetapi jangan salah jika telah sampai disana segala usaha anda akan terbayarkan dengan keindahan alam, dan laut yang sangat indah. Saya agak takut akan ketinggian, jadi saya mengurungkan niat saya mengajak teman-teman kesana.

Malam mulai menjelang, keramaian tidak juga surut, deretan lampu-lampu petromaks ibu-ibu penjual jagung bakar mulai menyala, memberi nuansa berbeda diantara angin yang membawa terbang pasir halus pantai dan deburan ombak yang mula semakin kerasi memecah malam. Saya jadi tertarik untuk menikmati jagung bakar. Satu bonggol jagung dihargai 5000 rupiah, cukup murah untuk sebuah tempat wisata yang selalu ramai dikunjungi wisatawan.

tawa riuh anak-anak bermain ATV, dentuman mercon dan kembang api menambah meriah suasana pantai yang mulai beranjak malam. seperti pesta yang tak akan pernah usai, selalu ada hal yang dilakukan untuk membuat betah duduk disini bersama indah alunan angin yang bersiulan dari bukit Parangndog ditimur pantai ke arah barat, ditambah deburan ombah yang seolah bernyanyi menyibak kelam malam dalam temaram petromaks.

suasana pantai memang menyuguhkan romantisme-romantisme tersendiri bagi penikmatnya, tidak hanya dengan pasangannya saja melainkan dengan teman dan sahabat. nuansa romatisme alunan gitar, bersama angin yang berhembus kencang, ditambah deburan ombak pemecah sunyi diantara taburan bintang dan bulan yang semakin sempurna membentuk lingkaran penuh purnama pada tanggal 15 nanti. Akan lebih lengkap dengan jagung Bakar dan Wedang Ronde, "mantap" mungkin kalimat itu tepat menggambarkan riuh romantisme pantai yang tak dapat tergantikan oleh suasana lainnya.

Aroma asin dan amis air laut semakin tebal tercium, sesekali aroma jagung bakar memberi jeda untuk angin laut kembali menebar kegaraman lautnya. Namun tak menurunkan niat saya untuk beranjak dari sini. Saya masih ingin berlama disini menghabiskan malam terakhir saya di Jogja bersama teman-teman sebelum kembali ke Jakarta esok malam, dan akan kembali nanti lebaran. Saya berharap akan dapat kembali sebelum lebaran…hehehe.

Malam semakin larut, air pasang laut mulai mendekat tempat saya duduk, area pantai semakin sepi, gaung peringatan dari penjaga pantai telah mulai diperdengarkan penanda pengunjung untuk segera berpindah hal tersebut menjadi pertanda pula bagi saya untuk segera meninggalkan arena. Saya dan teman pun beranjak menuju tempat kami memarkirkan kendaraan. Kios-kios masih buka sebagian, terutama yang menyediakan penginapan.

Waktu menunjuk pukul 7.30 malam. Udara terasa semakin dingin. Saya dan teman bersiap kembali. Jalanan kearah kota nampaknya lebih ramai dari arah sebaliknya. Saya ingat belum melakukan sholat Isya’ dan Maghrib. Saya pun menghentikan kendaraan disalah satu masjid yang cukup ramai dengan mobil dan kendaraan lain terparkir untuk melakukan sholat. Masjid Syekh Maulana Maghribi.

Perjalanan saya lanjutkan, untuk segera pulang dan mengepak barang bawaan saya esok. Namun, melihat indah Jogja dari setiap perjalanan yang saya lalui selama di Jogja serta kesan yang saya dapatkan akan menyisakan rindu yang besar terhadap kota yang membesarkan saya ini. Bertemu kembali dengan teman dan sahabat-sahabat masa sekolah saya, keluarga besar, keponakan-keponakan yang nakal dan lucu. Termasuk kerinduan saya akan Pasar Malam dan Sekatenan yang belum sempat kembali saya nikmati. Mungkin nanti.

Jogjakarta, 11 September 2011

Suatu Senja

9/09/2011

Jogja : Sepeda dalam Kenangan Masa Kecil


Jogjakarta, sebuah kota dengan kekentalan budaya dan pelestarian tradisi merupakan sebuah cagar seni budaya yang tak lekang termakan jaman. Kota dimana warganya menganut tata nilai kemasyarakatan “Ngarso Dalem Engsun” atau mengikuti keinginan sang raja kerajaan Mataram yang kini dikenal dengan Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat hingga kini masih teguh memegang tradisi leluhur. Tradisi Sekaten, Gunungan maulidan, Gunungan Syawal, Hingga gunungan Besar menjadi agenda rutin tahunan yang selalu digelar tiap tahunnya dan menjadikannya suatu bentuk tradisi yang selalu dilestarikan.

Dari hal yang besar, seperti tradisi tersebut akan sangat timpang saat mendalami segi social kemasyarakatannya yang perpindah pada nilai-nilai urban dan global. Anak-anak kecil tidak lagi mengenal lagu-lagu jawa selain hanya melalui pendidikan formal disekolah lewat pendidikan bahasa jawa, gamelan jawa, hingga tembang-tembang jawa lainnya. Masyarakat tidak lagi menyukai bersepeda melainkan menggantikan dengan kendaraan yang lebih modern , motor. Praktis, cepat, dan mudah.

Bagaimana dengan sepeda itu sendiri? Sepeda yang sejak berpuluh-puluh tahun menjadi kendaraan khas masyarakat jawa perlahan ditinggalkan. Saya ingat, dua sebutan untuk sepeda di Jogja (saya tidak pernah mau menyebut jogja sebagai Jawa karena alasan banyak kota besar lainnya ada di Jawa) yang pertama sepeda Ontel, sepeda yang menyerupai bentuk leher angsa dengan tulang-tulang yang kokoh berdiameter 2-3 cm. sepeda ontel ini terbagi pula dalam 2 jenis, ontel lanang (laki-laki) dan ontel wedok (perempuan). Apa yang membedakannya? Pada ontel lanang, pada bagian bawah tempat duduk (bak) terdapat sebuah besi yang menghubungkan bak dengan leher pada badan sepeda dibawah setang sepeda sehingga biasanya sepeda ini sangat enak digunakan untuk berpacaran masa itu karena sang perempuan akan dapat duduk menyamping didepan si laki-laki, sedangkan pada ontel wedok tidak memiliki pembatas, pada sepeda ini akan dipasang keranjang dudukan bagi anak kecil. Jenis yang kedua adalah Sepeda jengki. Sepeda ini merupakan jenis sepeda cina. Dengan badan yang lebih ramping dan lebih ringan dibandingkan sepeda ontel.

Pikiran saya kembali kemasa kecil saya. Kakek saya pernah memiliki kedua jenis sepeda ontel tersebut, salah satunya (ontel lanang) digunakan suami kakak ayah saya. Dan ayah saya memiliki sebuah sepeda jengki berwarna hijau. Sepeda jengki tersebut sangat mengingatkan saya pada masa kecil saya hingga SMP. Begitu banyak kenangan pada sepeda itu.

Akhir tahun 80an awal 90an, satu-satunya kendaraan yang kami punya adalah sepeda. Kendaraan yang membawa kami kemanapun kami mau. Usia saya saat itu lima tahun, setiap pagi kakek saya membawa saya dan adik saya berkeliling kampong dengan sepeda ontel wedok miliknya. Kakek membawa saya dan adik saya karena ibu saya harus mencuci dan memasak. Adik saya duduk di keranjang yang dipasang di badan setang, sedang saya duduk di boncengan belakang dengan kaki terikat di leher sedel sepeda lalu kakek saya menuntun sepeda keliling kampong. Saya paling suka melihat kuda, sehingga kakek membawa saya ke kandang kuda dikampung sebelah. Saya masih ingat, namanya pemilik kandang kuda itu mbah dolah karis, dia memiliki 3 ekor kuda dan dua buah andong(dokar), kadang saya turun dan menaiki andong tanpa kuda itu. Setelah hari cukup siang kakek membawa kami kembali kerumah dan diserahkan kembali ke ibu dan itu berlangsung hingga saya mulai masuk taman kanak-kanak.

Sepeda jengki dirumah menjadi kenangan tersendiri bagi saya, karena sepeda itu menjadi satu-satunya kendaraan kami sekeluarga untuk ke kota ataupun kerumah kerabat. Masih melekat erat dalam ingatan saya tentang sepeda jengki, sepeda yang membawa saya, ayah, dan adik saya mengunjungi ibu yang sakit pada payudaranya. Sepeda itu pula yang membawa saya dan keluarga kekota melihat iring-iringan kereta kuda pemakaman Sultan HB IX yang melewati jalan brigjen katamso menuju jalan imogiri yang berakhir di pemakaman raja-raja Imogiri. Dengan sepeda jengki itu saya dan keluarga selepas magrib bersama –sama ke studio foto untuk berfoto bersama. Ayah saya mengayuh sepeda, adik saya yang pertama duduk dikeranjang depan, saya berdiri pada boncengan belakang memeluk erat ayah saya, dan ibu duduk menyamping menggendong adik yang baru berusia beberapa bulan. Dengan sepeda itu pula saya dan keluarga berduyun kekebun binatang hingga mengunjungi sanak keluarga.

Tahun 1990 - 1996, motor mulai ramai menjadi kendaraan pengganti sepeda, namun keluarga saya masih menggunakan sepeda dalam keseharian kami, karena hanya itu yang kami punya. Dan sepeda jengki itu pula yang membawa saya setiap pagi sejak 1996-1998 kesekolah menengah pertama hingga tahun ke dua, karena ditahun ketiga saya mendapatkan sepeda federal bekas pakai yang dibeli ayah dari seorang teman. Warnanya masih sama hijau tua, hanya berbeda metalik. Tahun itu pula, ayah mendapatkan sepeda motor lungsuran atau tangan kedua dari seorang anak kos yang menawarkan ke ayah.

Setiap pagi saat saya mengayuh sepeda jengki menuju sekolah, saya selalu berbarengan dengan ibu-ibu dengan caping petani sebagai penahan panas matahari dari desa yang jauh dari kampong saya bersepeda ontel dengan berkelompok berisi 15-20 orang yang secara bersama-sama mengayuh sepeda mereka kekota sambil bercerita dan sesekali tertawa. Diboncengan belakang mereka selalu terpasang dua buah kotak sayuran atau biasa disebut tenggok dikanan kiri sisi sepeda dengan selendang jarit atau selendang batik sebagai pengikat dan penopangnya yang akan dibuka setelah sampai dipasar kota seperti pasar prawirotaman, pasar mergangsan hingga pasar beringharjo untuk dijual. Seperti kejuaraan sepeda rally secara teratur ibu-ibu itu berjajar lurus kebelakang dengan tempo irama kayuh yang hampir bersamaan tidak ada saling mendahului hanya menjaga ritme mereka, hingga nanti berpisah dilokasi pasar biasa mereka menjajakan hasil buminya. Hal yang sama akan terjadi saat senja mulai turun, ibu-ibu itu kembali ke desanya berbarengan bertemu dan berpisah dijalan menuju rumah masing-masing.

Itulah, apa yang masih lekat menjadi kenangan dalam benak saya tentang sepeda yang secara perlahan mulai tersisihkan oleh motor sebagai kendaraan yang jauh lebih cepat efisien. Namun, saya masih merasakan kebanggaan karena disaat menjamurnya sepeda motor di Jogja, masih ada sebagian ibu-ibu menggunakan sepeda jawa dan jengki sebagai sarana transportasi.


Jogjakarta
8 September 2011
WebRepOverall rating

9/07/2011

Menanti Fajar Disudut Kota


Aku teringat akan sebuah kata "Memory Kota".

Yang membawa kita pada suatu de javu akan masa silam yang pernah berlintas. beragam sudut kota yang tanpa sengaja terekam dalam memory ingatan kita, menitik beragam nuansa dan warna yang perlahan berubah mengikuti jaman. mengikuti pola kehidupan manusia yang terpola kedalam kemodernan yang perlahan mengikis sisi tradisi. Ya...tradisi, sebuah bentuk sosial kemasyarakatan yang turun temurun dijaga para leluhir hingga orang tua kita perlahan namun pasti mulai ditinggalkan atau hanya dijadikan sebagai monumentalitas. Namun, tidak sedikit masyarakat masih memegang tradisinya yang bagi mereka merupakan pegangan dalam pengejawantahan kehidupan.

Disini, di satu sisi dari sekian banyak sudut memorial terekam dalam benak saya.sudut demi sudut yang membawaku kembali ke masa kanak-kanakku kembali ku putar. mengingat letak dan kejadian. Jogjakarta. Sebuah kota yang manjadi magnet dalam kehidupanku, dimana selama 18 tahun aku mengitari dan menelisik setiap sudut kota. musik gambang kromong masih selalu terdengar disini, becak masih dengan indah menghiasi kota yang mulai diramaikan dengan trans jogja yang lebih sederhana dibandingkan dengan TransJakarta. Dengan bilik halte berukuran 4 x 2,5 meter dan bis yang berukuran sedang berwarna serba hijau. Namun becak tetap menjadi andalan, membawa para pengunjung menuju lokasi oleh-oleh terdekat.

Malam semakin larut, perlahan namun pasti kota berangsut sepi, toko-toko mulai tutup, pengunjung meninggalkan keramaian, secara cepat kehidupan berubah. Emperan toko yang biasa dipenuhi dengan penjualan kaos dan cinderamata mulai meninggalkan lapak berganti dengan para penjaja makanan malam. sepanjang Malioboro hingga Mangkubumi. Dan aku masih di Mangkubumi, duduk diantara riuh rendah pembeli dan penjual nasi angkringan dan gudeg, agaknya aku akan disini larut bersama kenangan hingga fajar tiba. menanti fajar kotaku.

Jalanan mulai sepi, hanya beberapa kendaraan berlalu lalang sesekali. Masih kendaraan luar kota yang mengisi sudut utama kota ini yang pasti becak masih sibuk perlalu mencari penumpang. Omongan politik menjadi bahan utama pembicaraan para pengunjung yang sesekali tertawa melihat polah tingkah pemerintahan di pusat sana, salah seorang hanya berkata "Halah..wong Jogja ki di pimpin Sri Sultan wae wes nurut kok, ngopo ndadak perlu presiden. lawong Sri Sultan ki nak yo Presidenne wong Jogja" (halah orang jogja itu dipimpin Sri Sultan saja sudah nurut, kenapa perlu di pimpin presiden, kan Sri Sultan itu presidennya orang jogja). Suasana malam semakin riuh. semakin ramai suasana malam diangringan tengah malam. Aku ingin kembali mengulang masa lalu ku. Aku berjalan bersama 3 orang teman ku masa SMA yang sama-sama meninggalkan Jogjakarta usai SMA dan kembali setahun sekali di kota dimana kami semua dilahirkan mencoba mengingat apa yang pernah terekam dalam ingatan kami semasa sekolah dulu dari Tugu Jogja hingga Perempatan Kantor pos dan Kraton Jogjakarta.

Kaki ini melangkah ke Utara, tepatnya berdiri di depan tugu Jogja. AKu hanya tersenyum. Yang kulihat para pendatang entah dari mana tertawa dan bergaya bak model didekat tugu, ada yang memeluknya, ada yang berhormat, ada yang mengacungkan jempol yah ragam cara mereka mengabadikan moment itu. polisi disampingku hanya tersenyum sambil meminum kopi pahit.

Aku teringat masa SMPku, tepatnya kelas 3. Saat teman sebayaku sibuk dengan les tambahan pelajaran, aku selalu melewati jalan mangkubumi ini disore hari seusai sekolahku untuk menghindari masuk les tambahan. Dengan sepeda Federal aku selalu melewati jalan ini, dan selalu berhenti di salah satu warung rokok diujung jalan tepat berhadapan dengan stasiun tugu, menghitung berapa banyak kereta yang silih berganti lewat area ini bercerita dengan penjualnya. Hingga malam menjelang aku kembali pulang.

Aku menapaki jalan Malioboro, jalan yang setiap hari selalu penuh dengan pengunjung dari berbagai kota dalam maupun luar negeri kini, yang penuh dengan motor, bis kota dan mobil-mobil pribadi menjadi jalan yang sepi pengunjung. Hanya para penjaja makanan malam membuka dagangannya disisi-sisi depan toko yang sudah tertutup rapat. Dari musik dangdut sampai gambang kromong, dari lagu pop sampai campur sari menjadi pengiring dijalanan ini selain para pengamen muda yang silih berganti menjajakan suaranya di depan para pengunjung warung. Ada Gudeg, Sambel krecek, angringan, Wedang Jahe, Wedang Ronde, hingga roti bakar dan Jagung bakar semua ada kecuali Pasta dan Pizza.

Perubahan drastis terjadi disini, aku menitik setiap toko yang pernah kukunjungi kala itu, banyak yang berubah dan berganti. dulu ada toko murah khusus mainan anak-anak berganti menjadi toko baju muslim, toko mainan yang saat SD menjadi tempatku membeli mainan bersama teman sebayaku dikampung. Dengan ongkos 500 perak aku dan 6 kawanku menaiki bis kota atau bis Damri dan turun di Jalan Mataram sisi timur malioboro. Dulu ada pula tempat mainan game (Ding Dong) berganti menjadi toko Jam tangan tempat bermain ku bersama teman SMPku yang memang tinggal diarea malioboro. dengan menukarkan uang 1000 perak menjadi pecahan seratusan koin tipis besar jaman itu kami dapat memainkan permainan itu hingga puas, namun kini ding dong sudah susah ditemui, anak-anak lebih memilih memainkan mainan game yang lebih modern seperti Dino maupun Timezone. Dan masih banyak lagi perubahan diantara hal-hal yang tidak berubah. Mall-mall yang dulu menjadi pusat perbelanjaan masih ada, pasar bringharjo pun masih ada, sampai bioskop tua itu juga masih ada.

Wajah malam Jogja tidak lagi seperti yang dulu, keramaian lampu hias warna warni menjadi pemeriah cahaya malam jogja menggantikan lampu jalan khas jogja. Tiang lampu setinggi 4 meter dengan piringan gelas 6-8 sudut khas keraton sejumlah 3 membentuk trusula tidak lagi menyala hanya sebagian yang menyala entah karena memang sudah mati lampunya atau tidak diganti. Namun wajah perempatan kantor pos merupakan perubahan paling besar. Aku duduk disebuah kursi beton tepat didepan monumen 11 Maret yang berhadapan dengan Gedung Istana Negara yang pernah ditinggali Bung Karno pada saat memindahkan Pusat Pemerintahan dari Jakarta ke Jogjakarta. Dulu diarea ini lebih banyak dijumpai lapak-lapak penjual kaos dan cinderamata, kegiatan seni dan pertunjukan seperti yang selalu dilakukan di Benteng Van Denberg samping monumen 11 Maret. Kini, dibangun taman-taman dan kursi duduk dari beton dan lampu besar menyorot setiap sudut menambah elok malam di Jogja merupakan perubahan luar biasa dalam memanjakan para pengunjung untuk dapat beristirahat sejenak seusai berjalan kaki mengelilingi Malioboro. dan tulisan dalam huruf Jawa dari alumunium menjadi salah satu tempat menarik untuk berfoto mengabadikan moment perjalanan di Jogja. para remaja berbagai usia disana menghabiskan setiap detiknya bersama keluarga, pacar, sahabat dan  teman-temannya, seolah esok akan meninggalkan kota penuh tradisi ini.

Malam mulai berigsut pagi. Memory kota akan tradisi masa silam kembali kubuka. Menjadikan kenangan tersendiri bagiku. Memberiku beragam hal membahagiakan dan membanggakan akan kota tradisi ini.
Dan perjalannku berakhir disini. didepan sebuah gerbang nan megah, dengan lampu minyak disisi kanan kiri gerbang dekat dengan patung penjaga, Kraton Jogjakarta. Membalikkan badanku menghadap utara, lurus menembus dua pohon besar di tengah alun-alun utara, hingga perempatan kantor pos tegak lurus ke utara hingga batas mata memandang. Tugu Jogjakarta. Aku menghela nafas  Panjang, begitu Indahnya Malam ini menikmati kembali suasana Jogja seperti dalam lagu Kla "Yogjakarta" yang akan selalu memberikan kenangan tersendiri bagi siapapun.

Pagi menjelang...kembali pada kehidupan kota yang ramai oleh penjual, pembeli dan pengunjung. akupun beranjak pulang.

Jogjakarta, 6 dan 7 September 2011
22.00 - pagi

9/06/2011

Surat Kecil Untuk Bunda


Peluh itu masih belum kering didahimu, diantara riuh bocah-bocah menunggumu menyajikan minuman dingin disamping warung kecil milikmu. Semangatmu memberikan mereka kesukacitaan yang akan selalu kembali padamu memintamu membuatkan minuman dingin untuk mereka. Senyumanmu memberikan kehangatan diantara lelah yang kau rasa tiada usai. Kau begitu bersemangat untuk mereka terlebih untuk kami anak-anakmu.

Kau begitu sabar, memeluk kami saat kami menangis, dan dalam masalah. Kau selalu mengusap kepala kami dengan lembut dan berucap "sabar, semua ada jalannya" atau "ayo, ceritakan masalahmu, mungkin bunda bisa membantumu", namun kami hanya menggeleng dan tak menghiraukanmu membiarkan kami tenggelam dalam masalah kami sendiri tanpa harus menambah beban dibahumu. Namun Kau selalu tersenyum disana diantara sejuta pertanyaanmu dan sesekali kau mengajakku bercanda dimana aku hanya diam tak menghiraukanmu.

Bunda, dari mana kau dapatkan semangat dan kekuatan itu? Dari mana kau bisa begitu hebat memikul sejuta rasa berat yang menimpamu berpuluh tahun untuk kami. Bagaimana tangan itu masih begitu kuat memeluk kami dan mengangkat segala bebanmu dan kami. Andai aku mampu sepertimu bunda, ingin aku bisa menggantikan posisimu dan membiarkanmu duduk menikmati setiap harimu tanpa pernah memikirkan beban yang kau pikul.

Bunda, bukannya aku tak ingin membagi keluh kesah dan masalahku padamu. Namun, aku hanya ingin kau berbahagia tanpa kau memikirkan apa rasa dan pikiranku kini dan nanti. Aku hanya ingin selalu melihatmu tersenyum, senyuman yang selalu tulus menghiasi bibir merah tipismu yang tak bergincu itu. Dan memelukmu erat tanpa ingin ku melepaskan sedetik saja.

Bunda, maafkan bocah kecil yang selalu menjadi anak kecilmu ini disaat usia kami telah dewasa, untuk semua sedih dan airmata yang kami sebabkan. Untuk semua ketidakmampuan kami membahagiakanmu.

Begitu luas samudera kasih sayang yang kau berikan, begitu tinggi kebanggaan yang kau kibarkan bagi kami, begitu dalam ketulusan kasih yang kau eratkan. Hingga kami tak mampu memberikannya kembali padamu.

Bunda, terimakasih untuk detik, menit, jam, hari, bulan dan tahun yang tiada henti kau berikan, ketulusan doa, keikhlasan, dan lambaian tangan saat melepas kami dan berharap untuk kami segera kembali. Cinta yang tak pernah usai, pupus, dan termakan waktu. Dan kau selalu disana, disatu sudut, berdiri, membuka tanganku untuk dapat kembali memelukku dan berucap "selamat datang anakku, bunda sangat merindukanmu", dan kau mengecup lembut kening kami lalu memelukku erat.

Bunda, sejuta cinta untukmu, dulu, kini, dan nanti, selamanya.

9/02/2011

Lebaran itu 0-0


Kata Lebaran adalah sebuah kata perayaan yang selalu ditunggu oleh masyarakat dunia yang menjalankan ibadah puasa dalam memperoleh satu hari kemenangan. Semua orang bersuka ria menyambut hari kemenangan tersebut. Bagaimana tidak? Merayakan kemenangan setelah satu bulan menahan lapar dahaga disiang hari dan menahan hawa nafsu sepanjang hari mampu dilalui. Tapi apakah menahan hawa nafsu itu hanya satu bulan ini saja?. Sebuah pertanyaan yang harus kita renungkan bersama-sama.
Disamping itu, ditengah kesuka citaan warga bangsa menghadapi hari kemenangan, harus dinodai dengan ketidak samaan penentuan hari raya idul fitri. Namun perlu di ingat mengapa ketidak samaan persepsi dan penentuan hari raya selalu terjadi hanya pada saat perayaan Idul Fitri saja? Perayaan Idul Adha akan selalu sama pelaksanaan perayaannya begitu juga dengan hari perayaan lainnya?. Mengapa begitu?. Yang mana akhirnya akan mampu menodai niat ikhlas puasa itu sendiri, bisa dilihat di media-media televisi saat itu, kemarahan dan amukan warga terjadi dimana-mana akibat dari politisasi perayaan yang menimbulkan kerugian bagi masyarakat yang akan merayakan hari kemenangan esok harinya. Hingga terjadinya perusakan, kerusuhan, di daerah-daerah seperti di madura, pekanbaru, jawa timur, dan masih banyak lagi daerah di Indonesia yang mengalami kekecewaan akibat dari keputusan pemerintah mengundurkan hari raya ditengah masyarakat telah siap untuk melakukan takbiran. Sungguh sangat disayangkan.

Namun, tidaklah perlu kita berkutat pada keputusan kontroversi yang akan selalu terjadi pada saat Idul Fitri yang akan selalu terjadi ditahun-tahun yang akan datang itu.
Sebuah memory kecil selalu mengingatkan pada hal-hal yang biasa terjadi diperkampungan masyarakat ketika anak-anak kecil saling bertemu pada saat hari raya dan saling berjabat tangan "eh...met lebaran ya. 0-0 sekarang yaa". Itulah yang selalu terucap pada bocah-bocah kecil didaerah dimana saya merayakan lebaran tiap tahunnya. Yang akhirnya mereka tersenyum dan kembali berlarian menemui teman-teman mereka yang lain untuk mengucapkan hal yang sama dan berulang, bahkan jika pada saat itu terjadi perkelahian kecil mereka akan kembali bersalaman dan mengucapkan kata yang sama "0-0 ya".
Kemeriahan yang akan selalu bertambah meriah dengan hadirnya bocah-bocah yang berlarian dan bersalaman disekitar masjid tempat dilaksanakannya halal bil halal warga sekitar masjid dan bocah-bocah menikmati makanan yang dijajakan para penjual yang selalu memadati area masjid untuk mendapatkan rejeki tambahan. Saya sempat bertanya pada beberapa bocah ini, kok dapat uang banyak dari mana?. Mereka dengan cekat menjawab "nggolek zakat mas wingi" (mencari zakat mas kemarin). Itu yang selalu dilakukan bocah-bocah dalam mendapatkan uang lebarannya selain dapat dari orangtua dan pengajian tempat mereka melakukan sholat tarawih.

Moment lebaran memang menjadi salah satu moment yang tidak pernah tersia-siakan untuk dapat berkumpul dan berbagi kebahagian dengan keluarga dan sanak saudara serta saling berucap 0-0 yaa sekarang atau kesalahan lo- kesalahan gw - END.

Jadi, sekarang kita sama-sama telah saling memaafkan dan termaafkan dihari yang fitri ini. Oleh karenanya kita sekarang sudah 0-0 yaa.