Aku teringat akan sebuah kata "Memory Kota".
Yang membawa kita pada suatu de javu akan masa silam yang pernah
berlintas. beragam sudut kota yang tanpa sengaja terekam dalam memory ingatan
kita, menitik beragam nuansa dan warna yang perlahan berubah mengikuti jaman.
mengikuti pola kehidupan manusia yang terpola kedalam kemodernan yang perlahan
mengikis sisi tradisi. Ya...tradisi, sebuah bentuk sosial kemasyarakatan yang
turun temurun dijaga para leluhir hingga orang tua kita perlahan namun pasti
mulai ditinggalkan atau hanya dijadikan sebagai monumentalitas. Namun, tidak
sedikit masyarakat masih memegang tradisinya yang bagi mereka merupakan
pegangan dalam pengejawantahan kehidupan.
Disini, di satu sisi dari sekian banyak sudut memorial terekam dalam
benak saya.sudut demi sudut yang membawaku kembali ke masa kanak-kanakku
kembali ku putar. mengingat letak dan kejadian. Jogjakarta. Sebuah kota yang
manjadi magnet dalam kehidupanku, dimana selama 18 tahun aku mengitari dan
menelisik setiap sudut kota. musik gambang kromong masih selalu terdengar
disini, becak masih dengan indah menghiasi kota yang mulai diramaikan dengan
trans jogja yang lebih sederhana dibandingkan dengan TransJakarta. Dengan bilik
halte berukuran 4 x 2,5 meter dan bis yang berukuran sedang berwarna serba
hijau. Namun becak tetap menjadi andalan, membawa para pengunjung menuju lokasi
oleh-oleh terdekat.
Malam semakin larut, perlahan namun pasti kota berangsut sepi,
toko-toko mulai tutup, pengunjung meninggalkan keramaian, secara cepat
kehidupan berubah. Emperan toko yang biasa dipenuhi dengan penjualan kaos dan
cinderamata mulai meninggalkan lapak berganti dengan para penjaja makanan
malam. sepanjang Malioboro hingga Mangkubumi. Dan aku masih di Mangkubumi,
duduk diantara riuh rendah pembeli dan penjual nasi angkringan dan gudeg, agaknya
aku akan disini larut bersama kenangan hingga fajar tiba. menanti fajar kotaku.
Jalanan mulai sepi, hanya beberapa kendaraan berlalu lalang
sesekali. Masih kendaraan luar kota yang mengisi sudut utama kota ini yang
pasti becak masih sibuk perlalu mencari penumpang. Omongan politik menjadi
bahan utama pembicaraan para pengunjung yang sesekali tertawa melihat polah
tingkah pemerintahan di pusat sana, salah seorang hanya berkata
"Halah..wong Jogja ki di pimpin Sri Sultan wae wes nurut kok, ngopo ndadak
perlu presiden. lawong Sri Sultan ki nak yo Presidenne wong Jogja" (halah
orang jogja itu dipimpin Sri Sultan saja sudah nurut, kenapa perlu di pimpin
presiden, kan Sri Sultan itu presidennya orang jogja). Suasana malam semakin
riuh. semakin ramai suasana malam diangringan tengah malam. Aku ingin kembali
mengulang masa lalu ku. Aku berjalan bersama 3 orang teman ku masa SMA yang
sama-sama meninggalkan Jogjakarta usai SMA dan kembali setahun sekali di kota
dimana kami semua dilahirkan mencoba mengingat apa yang pernah terekam dalam
ingatan kami semasa sekolah dulu dari Tugu Jogja hingga Perempatan Kantor pos
dan Kraton Jogjakarta.
Kaki ini melangkah ke Utara, tepatnya berdiri di depan tugu Jogja.
AKu hanya tersenyum. Yang kulihat para pendatang entah dari mana tertawa dan
bergaya bak model didekat tugu, ada yang memeluknya, ada yang berhormat, ada
yang mengacungkan jempol yah ragam cara mereka mengabadikan moment itu. polisi
disampingku hanya tersenyum sambil meminum kopi pahit.
Aku teringat masa SMPku, tepatnya kelas 3. Saat teman sebayaku sibuk
dengan les tambahan pelajaran, aku selalu melewati jalan mangkubumi ini disore
hari seusai sekolahku untuk menghindari masuk les tambahan. Dengan sepeda
Federal aku selalu melewati jalan ini, dan selalu berhenti di salah satu warung
rokok diujung jalan tepat berhadapan dengan stasiun tugu, menghitung berapa
banyak kereta yang silih berganti lewat area ini bercerita dengan penjualnya.
Hingga malam menjelang aku kembali pulang.
Aku menapaki jalan Malioboro, jalan yang setiap hari selalu penuh
dengan pengunjung dari berbagai kota dalam maupun luar negeri kini, yang penuh
dengan motor, bis kota dan mobil-mobil pribadi menjadi jalan yang sepi
pengunjung. Hanya para penjaja makanan malam membuka dagangannya disisi-sisi
depan toko yang sudah tertutup rapat. Dari musik dangdut sampai gambang
kromong, dari lagu pop sampai campur sari menjadi pengiring dijalanan ini
selain para pengamen muda yang silih berganti menjajakan suaranya di depan para
pengunjung warung. Ada Gudeg, Sambel krecek, angringan, Wedang Jahe, Wedang
Ronde, hingga roti bakar dan Jagung bakar semua ada kecuali Pasta dan Pizza.
Perubahan drastis terjadi disini, aku menitik setiap toko yang
pernah kukunjungi kala itu, banyak yang berubah dan berganti. dulu ada toko
murah khusus mainan anak-anak berganti menjadi toko baju muslim, toko mainan
yang saat SD menjadi tempatku membeli mainan bersama teman sebayaku dikampung.
Dengan ongkos 500 perak aku dan 6 kawanku menaiki bis kota atau bis Damri dan
turun di Jalan Mataram sisi timur malioboro. Dulu ada pula tempat mainan game
(Ding Dong) berganti menjadi toko Jam tangan tempat bermain ku bersama teman
SMPku yang memang tinggal diarea malioboro. dengan menukarkan uang 1000 perak
menjadi pecahan seratusan koin tipis besar jaman itu kami dapat memainkan
permainan itu hingga puas, namun kini ding dong sudah susah ditemui, anak-anak
lebih memilih memainkan mainan game yang lebih modern seperti Dino maupun
Timezone. Dan masih banyak lagi perubahan diantara hal-hal yang tidak berubah.
Mall-mall yang dulu menjadi pusat perbelanjaan masih ada, pasar bringharjo pun
masih ada, sampai bioskop tua itu juga masih ada.
Wajah malam Jogja tidak lagi seperti yang dulu, keramaian lampu hias
warna warni menjadi pemeriah cahaya malam jogja menggantikan lampu jalan khas
jogja. Tiang lampu setinggi 4 meter dengan piringan gelas 6-8 sudut khas
keraton sejumlah 3 membentuk trusula tidak lagi menyala hanya sebagian yang
menyala entah karena memang sudah mati lampunya atau tidak diganti. Namun wajah
perempatan kantor pos merupakan perubahan paling besar. Aku duduk disebuah
kursi beton tepat didepan monumen 11 Maret yang berhadapan dengan Gedung Istana
Negara yang pernah ditinggali Bung Karno pada saat memindahkan Pusat
Pemerintahan dari Jakarta ke Jogjakarta. Dulu diarea ini lebih banyak dijumpai
lapak-lapak penjual kaos dan cinderamata, kegiatan seni dan pertunjukan seperti
yang selalu dilakukan di Benteng Van Denberg samping monumen 11 Maret. Kini,
dibangun taman-taman dan kursi duduk dari beton dan lampu besar menyorot setiap
sudut menambah elok malam di Jogja merupakan perubahan luar biasa dalam
memanjakan para pengunjung untuk dapat beristirahat sejenak seusai berjalan
kaki mengelilingi Malioboro. dan tulisan dalam huruf Jawa dari alumunium menjadi
salah satu tempat menarik untuk berfoto mengabadikan moment perjalanan di
Jogja. para remaja berbagai usia disana menghabiskan setiap detiknya bersama
keluarga, pacar, sahabat dan teman-temannya, seolah esok akan
meninggalkan kota penuh tradisi ini.
Malam mulai berigsut pagi. Memory kota akan tradisi masa silam
kembali kubuka. Menjadikan kenangan tersendiri bagiku. Memberiku beragam hal
membahagiakan dan membanggakan akan kota tradisi ini.
Dan perjalannku berakhir disini. didepan sebuah gerbang nan megah,
dengan lampu minyak disisi kanan kiri gerbang dekat dengan patung penjaga,
Kraton Jogjakarta. Membalikkan badanku menghadap utara, lurus menembus dua
pohon besar di tengah alun-alun utara, hingga perempatan kantor pos tegak lurus
ke utara hingga batas mata memandang. Tugu Jogjakarta. Aku menghela nafas
Panjang, begitu Indahnya Malam ini menikmati kembali suasana Jogja seperti
dalam lagu Kla "Yogjakarta" yang akan selalu memberikan kenangan
tersendiri bagi siapapun.
Pagi menjelang...kembali pada kehidupan kota yang ramai oleh
penjual, pembeli dan pengunjung. akupun beranjak pulang.
Jogjakarta, 6 dan 7 September 2011
22.00 - pagi
No comments:
Post a Comment