9/07/2011

Menanti Fajar Disudut Kota


Aku teringat akan sebuah kata "Memory Kota".

Yang membawa kita pada suatu de javu akan masa silam yang pernah berlintas. beragam sudut kota yang tanpa sengaja terekam dalam memory ingatan kita, menitik beragam nuansa dan warna yang perlahan berubah mengikuti jaman. mengikuti pola kehidupan manusia yang terpola kedalam kemodernan yang perlahan mengikis sisi tradisi. Ya...tradisi, sebuah bentuk sosial kemasyarakatan yang turun temurun dijaga para leluhir hingga orang tua kita perlahan namun pasti mulai ditinggalkan atau hanya dijadikan sebagai monumentalitas. Namun, tidak sedikit masyarakat masih memegang tradisinya yang bagi mereka merupakan pegangan dalam pengejawantahan kehidupan.

Disini, di satu sisi dari sekian banyak sudut memorial terekam dalam benak saya.sudut demi sudut yang membawaku kembali ke masa kanak-kanakku kembali ku putar. mengingat letak dan kejadian. Jogjakarta. Sebuah kota yang manjadi magnet dalam kehidupanku, dimana selama 18 tahun aku mengitari dan menelisik setiap sudut kota. musik gambang kromong masih selalu terdengar disini, becak masih dengan indah menghiasi kota yang mulai diramaikan dengan trans jogja yang lebih sederhana dibandingkan dengan TransJakarta. Dengan bilik halte berukuran 4 x 2,5 meter dan bis yang berukuran sedang berwarna serba hijau. Namun becak tetap menjadi andalan, membawa para pengunjung menuju lokasi oleh-oleh terdekat.

Malam semakin larut, perlahan namun pasti kota berangsut sepi, toko-toko mulai tutup, pengunjung meninggalkan keramaian, secara cepat kehidupan berubah. Emperan toko yang biasa dipenuhi dengan penjualan kaos dan cinderamata mulai meninggalkan lapak berganti dengan para penjaja makanan malam. sepanjang Malioboro hingga Mangkubumi. Dan aku masih di Mangkubumi, duduk diantara riuh rendah pembeli dan penjual nasi angkringan dan gudeg, agaknya aku akan disini larut bersama kenangan hingga fajar tiba. menanti fajar kotaku.

Jalanan mulai sepi, hanya beberapa kendaraan berlalu lalang sesekali. Masih kendaraan luar kota yang mengisi sudut utama kota ini yang pasti becak masih sibuk perlalu mencari penumpang. Omongan politik menjadi bahan utama pembicaraan para pengunjung yang sesekali tertawa melihat polah tingkah pemerintahan di pusat sana, salah seorang hanya berkata "Halah..wong Jogja ki di pimpin Sri Sultan wae wes nurut kok, ngopo ndadak perlu presiden. lawong Sri Sultan ki nak yo Presidenne wong Jogja" (halah orang jogja itu dipimpin Sri Sultan saja sudah nurut, kenapa perlu di pimpin presiden, kan Sri Sultan itu presidennya orang jogja). Suasana malam semakin riuh. semakin ramai suasana malam diangringan tengah malam. Aku ingin kembali mengulang masa lalu ku. Aku berjalan bersama 3 orang teman ku masa SMA yang sama-sama meninggalkan Jogjakarta usai SMA dan kembali setahun sekali di kota dimana kami semua dilahirkan mencoba mengingat apa yang pernah terekam dalam ingatan kami semasa sekolah dulu dari Tugu Jogja hingga Perempatan Kantor pos dan Kraton Jogjakarta.

Kaki ini melangkah ke Utara, tepatnya berdiri di depan tugu Jogja. AKu hanya tersenyum. Yang kulihat para pendatang entah dari mana tertawa dan bergaya bak model didekat tugu, ada yang memeluknya, ada yang berhormat, ada yang mengacungkan jempol yah ragam cara mereka mengabadikan moment itu. polisi disampingku hanya tersenyum sambil meminum kopi pahit.

Aku teringat masa SMPku, tepatnya kelas 3. Saat teman sebayaku sibuk dengan les tambahan pelajaran, aku selalu melewati jalan mangkubumi ini disore hari seusai sekolahku untuk menghindari masuk les tambahan. Dengan sepeda Federal aku selalu melewati jalan ini, dan selalu berhenti di salah satu warung rokok diujung jalan tepat berhadapan dengan stasiun tugu, menghitung berapa banyak kereta yang silih berganti lewat area ini bercerita dengan penjualnya. Hingga malam menjelang aku kembali pulang.

Aku menapaki jalan Malioboro, jalan yang setiap hari selalu penuh dengan pengunjung dari berbagai kota dalam maupun luar negeri kini, yang penuh dengan motor, bis kota dan mobil-mobil pribadi menjadi jalan yang sepi pengunjung. Hanya para penjaja makanan malam membuka dagangannya disisi-sisi depan toko yang sudah tertutup rapat. Dari musik dangdut sampai gambang kromong, dari lagu pop sampai campur sari menjadi pengiring dijalanan ini selain para pengamen muda yang silih berganti menjajakan suaranya di depan para pengunjung warung. Ada Gudeg, Sambel krecek, angringan, Wedang Jahe, Wedang Ronde, hingga roti bakar dan Jagung bakar semua ada kecuali Pasta dan Pizza.

Perubahan drastis terjadi disini, aku menitik setiap toko yang pernah kukunjungi kala itu, banyak yang berubah dan berganti. dulu ada toko murah khusus mainan anak-anak berganti menjadi toko baju muslim, toko mainan yang saat SD menjadi tempatku membeli mainan bersama teman sebayaku dikampung. Dengan ongkos 500 perak aku dan 6 kawanku menaiki bis kota atau bis Damri dan turun di Jalan Mataram sisi timur malioboro. Dulu ada pula tempat mainan game (Ding Dong) berganti menjadi toko Jam tangan tempat bermain ku bersama teman SMPku yang memang tinggal diarea malioboro. dengan menukarkan uang 1000 perak menjadi pecahan seratusan koin tipis besar jaman itu kami dapat memainkan permainan itu hingga puas, namun kini ding dong sudah susah ditemui, anak-anak lebih memilih memainkan mainan game yang lebih modern seperti Dino maupun Timezone. Dan masih banyak lagi perubahan diantara hal-hal yang tidak berubah. Mall-mall yang dulu menjadi pusat perbelanjaan masih ada, pasar bringharjo pun masih ada, sampai bioskop tua itu juga masih ada.

Wajah malam Jogja tidak lagi seperti yang dulu, keramaian lampu hias warna warni menjadi pemeriah cahaya malam jogja menggantikan lampu jalan khas jogja. Tiang lampu setinggi 4 meter dengan piringan gelas 6-8 sudut khas keraton sejumlah 3 membentuk trusula tidak lagi menyala hanya sebagian yang menyala entah karena memang sudah mati lampunya atau tidak diganti. Namun wajah perempatan kantor pos merupakan perubahan paling besar. Aku duduk disebuah kursi beton tepat didepan monumen 11 Maret yang berhadapan dengan Gedung Istana Negara yang pernah ditinggali Bung Karno pada saat memindahkan Pusat Pemerintahan dari Jakarta ke Jogjakarta. Dulu diarea ini lebih banyak dijumpai lapak-lapak penjual kaos dan cinderamata, kegiatan seni dan pertunjukan seperti yang selalu dilakukan di Benteng Van Denberg samping monumen 11 Maret. Kini, dibangun taman-taman dan kursi duduk dari beton dan lampu besar menyorot setiap sudut menambah elok malam di Jogja merupakan perubahan luar biasa dalam memanjakan para pengunjung untuk dapat beristirahat sejenak seusai berjalan kaki mengelilingi Malioboro. dan tulisan dalam huruf Jawa dari alumunium menjadi salah satu tempat menarik untuk berfoto mengabadikan moment perjalanan di Jogja. para remaja berbagai usia disana menghabiskan setiap detiknya bersama keluarga, pacar, sahabat dan  teman-temannya, seolah esok akan meninggalkan kota penuh tradisi ini.

Malam mulai berigsut pagi. Memory kota akan tradisi masa silam kembali kubuka. Menjadikan kenangan tersendiri bagiku. Memberiku beragam hal membahagiakan dan membanggakan akan kota tradisi ini.
Dan perjalannku berakhir disini. didepan sebuah gerbang nan megah, dengan lampu minyak disisi kanan kiri gerbang dekat dengan patung penjaga, Kraton Jogjakarta. Membalikkan badanku menghadap utara, lurus menembus dua pohon besar di tengah alun-alun utara, hingga perempatan kantor pos tegak lurus ke utara hingga batas mata memandang. Tugu Jogjakarta. Aku menghela nafas  Panjang, begitu Indahnya Malam ini menikmati kembali suasana Jogja seperti dalam lagu Kla "Yogjakarta" yang akan selalu memberikan kenangan tersendiri bagi siapapun.

Pagi menjelang...kembali pada kehidupan kota yang ramai oleh penjual, pembeli dan pengunjung. akupun beranjak pulang.

Jogjakarta, 6 dan 7 September 2011
22.00 - pagi

No comments:

Post a Comment