12/12/2012

SUDAHKAH KAMU MEMELUK DIRIMU PAGI INI?




Pagi menggeliat, udara dingin masih menggerayangi setiap pori-pori. Menggigil. Tanah basah…begitu juga aspal akibat hujan sesorean kemarin. Mata masih saja enggan untuk membuka menerawang langit-langit putih 3 meter diatas ku. Perlahan sang penguasa siang menampakkan keangkuhannya menggiring kelembaban menjauhi sisi cerah pagi.

Alarm meraung-raung meminta pemiliknya bangun lalu membunuhnya. Membuatnya diam. Tanpa membuat pemiliknya kembali terlelap. Beruntung alarmku sangat keras, sehingga aku susah untuk kembali terlelap, walau rasa kantuk masih saja hinggap.

“Selamat pagi…” gumamku dalam hati. “Sudahkah kamu memeluk dirimu pagi ini?” sebuah kicauan mengisi lembar timeline pada account twitterku, dari seorang penulis, penyair favoritku. Aku jadi berpikir bagaimana memeluk diriku sendiri. Yahh, mungkin saja memeluk diri sendiri dengan semangat pagi. Vitamin pagi. Jus atau semacamnya. Ahh belum…mungkin nanti.

Sebatang rokok terapit diantara jari tengah dan telunjuk, mengepulkan asap putih usai menenggak setengah liter air bening sembari menunggu semangat beranjak keruangan sempit penuh air. Beruntung air panas tersedia. Setidaknya membuat badan hangat dan menghindarkan diri dari kebekuan. Walau alhasil sama saja, usai mandi lalu bertabrakan dengan transformasi udara akan berasa sama. Tetap dingin.

Matahari masih saja malu menunjukkan keperkasaannya, mengalah terdiam menunggu mendung usai menghiasi pagi dengan redup tanpa usai. Sama halnya dijalanan, mobil menunggu sang penguasa jalan berlarian mengambil separuh badan jalan atau satu lajur penuh jalan. Memang, sang penguasa jalan ini semakin bertambah 100 perharinya separuh dari si roda empat berbadan besi.

Umumlah intinya, pagi dan sore Jakarta. Sesak, sempit, dan berhimpit. Setara dengan jumlah manusianya, mungkin saja lebih. Ah sudah lah Aku bukan pejabat atau pekerja kependudukan yang harus tahu detail semuanya. Intinya, serumit Jakarta mulai tenggelam bukan saja oleh banjir tapi juga manusia dan raungan kepulan asap kendaraan.

Aku kembali teringat dengan kalimat “sudahkah kamu memeluk dirimu pagi ini”, kini aku bisa menjawab, ya tentu sudah, pagi ini aku memeluk diriku dengan asap polusi, timbal, dan karbon pagi. Hmmm bagaimana dengan kamu? “SUDAHKAH KAMU MEMELUK DIRIMU PAGI INI?”