Tak pernah terbayangkan olehku diantara tubuh
mungilmu tersimpan kekuatan luar biasa. Diantara ceriamu tersimpan perjuangan
maha dasyat. Itulah engkau ibu. Bolehku panggil kau Bunda. Dalam 9 bulan masa
penantianmu, dalam 36 minggu beban berat menyinggahi, dan 270 hari detik demi
detik kau lalui membawaku kemana kau pergi.
Namun bagiku, cukuplah 7 bulan, 24 minggu, dan 210
hari aku berada dalam rahimmu, dan sebuah perjuangan membawaku menghirup aroma
dunia. Bayi mungil 26 ons, masih segar, dan masih enggan membuka mata, hanya
sekedar untuk menyapamu. Bukan ku tak ingin, tapi aku belum mampu untuk melihat
keindahanmu, air matamu, dan kesukacitaanmu. Namun aku merasakan itu. Kau dekap
aku erat, tersenyum dan membisikkan syahadat ditelingaku. Dan disampingmu, papa
tersenyum diantara air mata kebahagiaannya. Dan suara adzan ashar menjadi
penanda kehadiranku.
Hari, jam, detik kau habiskan masamu bersamaku.
Menggendongku, menidurkanku, menggantikan baju dan membenarkan letak bantal
pengalas kepalaku yang masih rapuh. Engkau begitu sabar, diantara keruwetan
yang menghampirimu, sesekali kau tersenyum melihat polah tingkahku yang
membuang segala hal didekatku. Atau mengompol dipangkuanmu, sehingga kau tidak
bisa sembahyang. Tapi itulah engkau bunda, senyum dan kasihmu tak pernah habis
untuk membuatku nyaman bersamamu. Bahkan saat engkau tak lagi bisa memberikanku
air susu dan harus digantikan dengan air susu pabrik. "maaf, nak. Bunda
tidak lagi bisa memberikanmu ASI".
Walau tanpa ASI darimu namun kasih sayang dan
kebahagiaanmu tak pernah pupus untukku. Bhkan saat engkau harus dirumah sakit,
senyum bahagiamu melihatku masihlah nampak jelas terlihat dan terasa olehku.
Engkau sungguh luar biasa bunda.
Saat usiaku beranjak, saat aku telah merangkak,
mengenal benda dan bisa meminta, sedapat mungkin kau memberikannya untukku.
Sebuah mainan berbentuk bulat beroda, yang entah apa aku menyebutnya, kau
selalu dudukkan aku disana. Dan kau melakukan aktivitasmu. Tapi, engkau selalu
berlari kearahku saat terdengar tangisanku terjatuh dari bulatan beroda itu,
atau bahkan saat ku jatuh dari tempat tidur yang tingginya lebih dari tinggiku.
Diantara tangisku yang menjadi,engkau elus kepalaku, menelisik setiap inci
tubuhku memastikan tak ada luka padaku. Dan aku memelukmu erat. Aku ketakutan.
Usiaku semakin bertambah, menginjak 2 tahun engkau
memberiku seorang adik laki-laki. Seorang bayi kecil yang beratnya belih dariku
saat lahir. Dan dia memang lebih gemuk dariku. Namun, tak ada yang membuatmu
membedakan kami. Segalanya sama. Baju tidur, baju pergi, kaos, segalanya sama.
Bahkan papa selalu menjahitkan aku dan adikku kemeja yang selalu sama. Rasanya
seperti kembar. Namun berbeda. Aku bermata belok dan adikku bermata sipit. Apa
yang dimiliki adikku, apu pun pasti memilikinya. Segala hal yang sama itu
selalu kami (aku dan adikku) dapatkan hingga menginjak sekolah dasar. Bahkan
hingga setelah adik keduaku lahir saat aku berusia 8 tahun dan adikku 6 tahun.
Bunda, aku ingat sebuah kejadian dimana entah berapa
usiaku, aku melihatmu dikejauhan, engkau berada disebuah rumah sakit paru-paru
sering memeriksakan sakit yang kau derita entah sejak kapan. engkau enggan kami
berada didekatmu, kau pun berkata "kalian disana saja sama papa" kau
menunjuk jauh diseberang jalan tepat dimana papa terduduk diatas sedel
sepedanya dibawah pohon yang cukup rindang, memayungi papa dari terik. Kamipun
disana bersama papa menunggumu hingga usai pemeriksaan.
Aku ingat tentang sepeda, sebuah sepeda phoenix
berwarna hijau, dengan keranjang berwarna merah tergantung distang, dan
boncengan besi dibelakang membawa ku sekeluarga kemanapun. Adikku yang petama
duduk di keranjang, aku berdiri dibelakang papa yang siap mengayuh dengan
kakiku terikat di leher sedel, dan mamaku dibelakangku menggendong adikku yang
baru beusia beberapa bulan. Papa membawa kami ke sebuah studio foto. Mengabadikan
kebersamaan kami, masa kanak-kanak kami yang suatu saat nanti dapat menjadi
album kenangan kalian. dan sepeda itulah yang membawaku kemanapun pergi hingga
aku menginjak SMP kelas 1.
Bunda, sesekali aku melihat tabir lelah dan kerutan
diwajahmu, kesusahanmu. Namun engkau selalu mengusap dan tersenyum, menandakan
akan banyak harapan didepan untuk kita semua. Sholat malam yang tak henti kau
kerjakan. Berjamaah dengan papa, dan menanamkan kesederhanaan dalam diri kami.
Adalah hal yang selalu ku ingat. Menyadari diri kita siapa, menerima segala
keadaan, tetap berusaha mencukupi segalanya.
Kadang kau pun tersiksa saat kami meminta sesuatu
yang belum dapat engkau berikan, atau bahkan engkau merelakan benda berharga
milikmu untuk kau jual demi mencukupi kami semua. Siang-malam engkau temani dan
bantu papa bekerja lembur menyelesaikan jahitan yang ramai saat musim tahun
ajaran baru. Namun kadang aku tak tahu keletihanmu, ku pinta ini dan itu hingga
kaupun naik pitam, dan aku menangis.
Selalu segar diingatanku betapa besar kasih sayang
yang telah engkau curahkan dalam keadaan apapun. Teringat olehku sebuah
kejadian saat aku beranjak remaja. Sebuah perbuatan yang sangat dibenci oleh
papa, diketahuinya. Pukulan penggaris kayu bertubi-tubi bersarang dipunggungku,
tendangan keras berakhir di kedua kakiku, hingga membuatku lunglai, susah
berjalan, ditambah tamparan dan pukulan tangan mengoyak wajahku, dan akhirnya
papa menyuruhku pergi dari rumah. Di kemasinya bajuku dan disuruhnya ku pergi.
Aku hanya diam, terduduk dikursi kayu, memeluk sarung berisikan bajuku, dan
menangis menahan sakit. Namun bunda berlari menghampiriku, memelukku erat
sangat erat, ia menangis sambil diusapnya bahu dan kepalaku. "Sudah, ayo
masuk, dan janji jangan diulangi lagi perbuatan itu". "jangan suruh
masuk anak kurang ajar itu" teriak papa. "pa, sudah. Dia sudah
kapok" kata bunda.
Bunda membawaku ke kamar, dibukanya bajuku, dioleskan
minyak gosok untuk mengurangi nyeri ditubuhku. Saat seperti ini, saat aku dalam
sebuah kesalahan, bunda masih dengan tulus menyayangiku, menghilangkan rasa
sakitku, mengusap lembut rambutku dan meminumkan air hangat. Bunda, begitu
mudahnya kau memaafkan kesalahanku dan menggantikannya dengan sayang yang
berlipat. Itu yang selalu kau lakukan saat papa naik pitam dan menghadapi
kejadian yang sama. Pelukanmu dan kesabaranmu yang menjadi obat dari segala
sakit yang kurasa.
Hingga akhirnya pun ku putuskan untuk menjalani
hidupku sendiri. usai SMA aku meminta ijin dan restu bunda, "bunda, aku
tidak mau kuliah. Aku mau kerja dan dijakarta saja aku mau mencoba menjadi
model". Itulah keputusanku. "tak banyak bekalmu nak, cuma ini yang
baru bisa bunda dan papamu berikan". Bunda memelukku erat, meneteskan air
mata rasanya tak ingin melepas anaknya pergi seorang diri. Namun, ini
keputusanku, restu bunda dan papa lah tumpuanku. Tak banyak kata malam itu.
Selain air mata, doa dan harapan. Lalu bundapun melambaikan tangannya. Sebuah
kereta membawaku meninggalkan kota yang selama 18 tahun saksi perjalanan
hidupku, membawaku kepada lembaran hidup yang baru.
Akupun dijakarta. Tak banyak masa kebersamaan ku
habiskan untuk berkirim kabar. Hanya sesekali SMS dan 5 menit pembicaraan yang
akhirnya terputus karena pulsa yang telah habis. Saat itu, biaya komunikasi
sangatlah mahal. Aku disibukkan dengan beragam kegiatan yang sering membuatku
lupa segalanya, sholat, makan, dan berkabar ke bunda. Hingga lebaran pertama
tiba, aku kembali untuk waktu yang sangat cepat. 3 hari saja, dan kemudian aku
kembali kejakarta.
Tahun demi tahun ku habiskan waktuku dijakarta. Bunda
selalu berkirim kabar untukku. Sesekali ia menangis, rindu katanya, sepi
dirumah tanpa adanya aku yang hiper aktif. Aku hanya bosa menjanjikan
"nanti" aku pulang. Dan bundapun hanya mengiyakan. Itu yang selalu
terjadi, setahun sekali dan singkat. Namun bunda selalu berusahan untuk
mengerti keadaanku.
Hingga suatu malam, sebuah pembicaraan terpanjang
selama kami berjauhan. Bunda menceritakan yang yang terjadi sebenarnya keadaan
dijogja kepadaku. Bunda menceritakan karena aku memaksa. Perselisihan antara
bunda dan saudara-saudara perempuannya, dan permasalahan papa dengan
saudara-saudaranya. Aku hanya bisa marah, menangis dan menahan emosiku. Saat
aku jauh begitu banyak hal telah ku lewatkan, begitu banyak persoalan telah ku
sisihkan. Kini mereka seperti mendapatkan musuh dalam selimut, dan aku disini
sendiri merasakan getir tanpa mampu melakukan apapun. Namun, bunda selalu
berkata "Kamu fokus saja dengan yang ingin kau raih, kami baik-baik saja.
Jangan terlalu dipikirkan. Insyaallah ada jalan". Itu menjadi satu-satunya
penghibur bagi bunda dan diriku. Hingga saat ini.
Saat aku jatuh, sakit, dan tak berdaya bunda selalu
ingin ada disisiku, merawatku. Namun bagiku doa bunda adalah obat dan penguat
masa kritisku, itu lebih dari cukup bagiku tanpa harus membuatmu tergopoh dan
kelelalah disini. Seperti saat ini, saat aku selalu berjuang dengan keadaanku,
kesehatanku, pertarungan antara kesadaran dan menahan sakit, doa bunda yang
selalu dipanjatkan adalah pintu kekuatanku untuk bangkit dan kuat berdiri lagi.
Senyum dan tawa bunda yang selalu membuatku bertahan dalam segala kondisi yang
menimpaku.
Bunda, tiada terukur kasih sayang yang kau berikan
kepadaku. Tiada tertampung banyaknya doa dan harapan yang kau panjatkan
untukku. tapi begitu sedikit yang mampu kuberikan padamu. Hanya potret dan
kenangan bersamamu menjadi kekuatan ku untuk bangkit. Senyummu yang membuatku
sadar akan luasnya harapan yang dapat kuraih. Keikhlasanmu yang menjadikan
lapang jalanku.
Bunda, aku ingin disana, bersamamu, mendekapmu lebih
lama, lebih erat, sehinggaku tak lagi takut melewati setiap detik dalam
hidupku. Bunda, keluasan kasih sayangmu, ketulusan cintamu, keikhlasan doamu,
ingin kuraih semua. Ingin ku bisa membahagiakanmu, memberikan apa keinginanmu,
apapun itu, memberikan kebanggaan-kebanggan padamu.
Bunda, Doakan aku, dan teruslah bimbing aku. Aku
sangat menyayangi dan merindukanmu.