12/12/2012

SUDAHKAH KAMU MEMELUK DIRIMU PAGI INI?




Pagi menggeliat, udara dingin masih menggerayangi setiap pori-pori. Menggigil. Tanah basah…begitu juga aspal akibat hujan sesorean kemarin. Mata masih saja enggan untuk membuka menerawang langit-langit putih 3 meter diatas ku. Perlahan sang penguasa siang menampakkan keangkuhannya menggiring kelembaban menjauhi sisi cerah pagi.

Alarm meraung-raung meminta pemiliknya bangun lalu membunuhnya. Membuatnya diam. Tanpa membuat pemiliknya kembali terlelap. Beruntung alarmku sangat keras, sehingga aku susah untuk kembali terlelap, walau rasa kantuk masih saja hinggap.

“Selamat pagi…” gumamku dalam hati. “Sudahkah kamu memeluk dirimu pagi ini?” sebuah kicauan mengisi lembar timeline pada account twitterku, dari seorang penulis, penyair favoritku. Aku jadi berpikir bagaimana memeluk diriku sendiri. Yahh, mungkin saja memeluk diri sendiri dengan semangat pagi. Vitamin pagi. Jus atau semacamnya. Ahh belum…mungkin nanti.

Sebatang rokok terapit diantara jari tengah dan telunjuk, mengepulkan asap putih usai menenggak setengah liter air bening sembari menunggu semangat beranjak keruangan sempit penuh air. Beruntung air panas tersedia. Setidaknya membuat badan hangat dan menghindarkan diri dari kebekuan. Walau alhasil sama saja, usai mandi lalu bertabrakan dengan transformasi udara akan berasa sama. Tetap dingin.

Matahari masih saja malu menunjukkan keperkasaannya, mengalah terdiam menunggu mendung usai menghiasi pagi dengan redup tanpa usai. Sama halnya dijalanan, mobil menunggu sang penguasa jalan berlarian mengambil separuh badan jalan atau satu lajur penuh jalan. Memang, sang penguasa jalan ini semakin bertambah 100 perharinya separuh dari si roda empat berbadan besi.

Umumlah intinya, pagi dan sore Jakarta. Sesak, sempit, dan berhimpit. Setara dengan jumlah manusianya, mungkin saja lebih. Ah sudah lah Aku bukan pejabat atau pekerja kependudukan yang harus tahu detail semuanya. Intinya, serumit Jakarta mulai tenggelam bukan saja oleh banjir tapi juga manusia dan raungan kepulan asap kendaraan.

Aku kembali teringat dengan kalimat “sudahkah kamu memeluk dirimu pagi ini”, kini aku bisa menjawab, ya tentu sudah, pagi ini aku memeluk diriku dengan asap polusi, timbal, dan karbon pagi. Hmmm bagaimana dengan kamu? “SUDAHKAH KAMU MEMELUK DIRIMU PAGI INI?”

11/22/2012

Memo Kecil Untuk Tuhan


Malam menggelayut sepi tanpa bintang, tanpa bulan. Hanya beriring hembusan angin nan dingin yang perlahan menusuk setiap inci pori-pori tubuh ini. Tak ada suara-suara penjaga malam yang bernyayi menyayikan kidung-kidung malam seperti biasa. Dan aku, bersimpuh berdoa, memanjatkan ayat-ayat suciMu terbata-bata mengingat kembali lafalznya.

Dalam kesendirian, ku bangun kembali imanku yang telah roboh oleh ke-egoan dan perbuatan akibat perubahan masa yang membuaiku hingga perlahan melupakanMu. Dalam kekhusukan, ku tabur benih doa dalam kesungguhan. Dalam kesendirianku, menutup setiap lembar potret buram masa laluku dalam dosa dan lakuku. Ruku' dan bersujud mengharap ampun dan ridho Mu.

Engkaulah sang Maha Pengampun, Engkaulah sang Maha Pemaaf, bagi hambanya yang bertaubat, kembali menapakkan jalan di JalanMu. Disini hambamu bersujud, bermunajat, mengharapkan maaf dan ampunanMu, meminta petunjuk dan kelapangan jalan serta jiwa. Mensucikan diri dari dosa untuk membuka lembaran baru dalam kehidupan mendatang.

Aku menyadari, sudah terlalu lama jauh dari Engkau, sudah terlalu jauh meninggalkanMu. Namun Engkau berfirman, bahwa tak ada kata terlambat bagi UmatKu yang mau bertobat dan kembali kejalanKu. Dan disini, aku menyiapkan diri, jiwa dan raga, ketulusan dan kesungguhan untuk kembali menuju jalanMu.

Ya Allah, satu langkah perubahan telah ku lalui hari ini. Sebuah perubahan besar telah ku lewati tanpa ada keraguan di hatiku. Aku bersyukur untuk itu. Namun, apakah orang-orang yang aku sayangi, aku kagumi, dan banggakan akan berubah kepada ku? Menghindariku, menjauhiku, ataukah akan tetap didekatku?.

Apakah seorang sahabat yang selalu bercerita dan membagi segala hal dalam hidupnya akan menjauh dan tidak lagi membagi dan bercerita kepadaku seperti dulu kala, karena perubahan masing-masing dari kami?. Apakah seorang ayah yang selalu memberikan waktu, kasih sayang, suka citanya akan berubah kepadaku?.

Dia adalah seorang sahabat terbaik dalam hidupku. Seorang sahabat yang tak lama ku kenal, seorang sahabat yang tanpa kenal lelah mengingatkanku untuk selalu ingat kepadaMu, mengingatkanku sholat, berdoa, dan bermunajat kepadaMu. Seorang sahabat yang selalu membagi segala keluh kesah, permasalahan, pergumulannya, tawa, sedih dan kebahagiaannya kepadaku?.

Seorang ayah yang selalu berkisah, berbagi duka lara, perjuangannya untukku, kebahagiaannya padaku, kebanggaannya akan diriku. Kasih sayang berlimpah untukku yang terkadang tak ku hiraukan ketulusan kasihnya karena keegoisanku?.

Ya Allah, aku tak ingin itu semua pergi, hilang dan terhapus. Aku ingin itu tetap sama, tak ada yang berubah. Walau mungkin sahabat dan ayahku berkata "Tak akan ada yang berubah, semua akan sama saja, akan tetap disini dan tak akan pergi", namun aku sangat takut untuk kehilangan itu semua karena aku sadar pasti ada yang akan berubah. Merekalah kekuatanku, merekalah sandaranku, selain selalu bersandar padaMu yang Maha Sempurna.

Ya Allah, dalam derai air mata dan tangis penyesalanku, mohon berikan ampun padaku, pada hamba yang lemah dan tak berdaya ini. Mohon lindungi mereka yang selalu hamba sayangi dan kasihi, ibu, bapak, adik, saudara, sahabat, dan ayahku. Berikan kelapangan jalan dalam setiap jengkal usahanya, kemudahannya meraih segalanya. Dan biarkanku disini, bersimpuh dan memanjatkan doa penyesalan dan pertaubatanku. Merekalah yang terbaik untukku, merekalah yang berjasa bagiku. Dan karena merekalah aku disini, menghadapMu, mensucikan diri, untuk kembali padaMu Yang Maha Suci.


---Teruntuk sahabat dan ayahku, orangtua, dan saudaraku tercinta-----
Aku mencintai dan menyayangimu hingga batas akhir nafas dan hidupku.

11/06/2012

Premier Atambua 36'C : Cerita Dari Perbatasan


Malam mulai menggelayuti senja awal minggu, usai hujan membanjiri hampir seluruh kawasan Jakarta. Suasana meriah Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (PPHUI) mengudara beriring nyanyian klakson sepanjang jalan Rasuna Said malam ini (5/11). Perhelatan sederhana siap digelar, tamu undangan berdatangan, disambut penerima tamu dengan kostum serba hitam ditambah kain tenun asli Timor menghias leher. Pin bertuliskan judul perhelatan dibagikan sebagai tanda masuk dalam perhelatan yang disebut sebagai Premier (penayangan perdana) film karya sutradara Riri Riza dan Produser Mira Lesmana, setelah sebelumnya untuk pertama kalinya di tayangkan dalam 25th Tokyo International Film Festival, pada 20-28 Oktober 2012 lalu.

Perhelatan kali ini terasa berbeda dibandingkan dengan kebanyakan acara premier film-film lainnya, yang membedakan adalah sebagian besar tamu undangan yang hadir adalah masyarakat film, yang ikut memberikan kontribusi berupa sumbangan dana produksi dan pasca produksi film yang dikelola oleh wujudkan.com yang mencapai angka 300 juta rupiah, selain dari media dan publik figur.

Atambua 390 Celsius, merupakan film ke sembilan karya Riri Riza yang kali ini merangkap sebagai penulis skenario. Atambua 390 Celsius mengambil objek kehidupan masyarakat Atambua, sebuah kota perbatasan Indonesia dengan Timor Leste, 13 tahun setelah penandatanganan referendum pisahnya Timor Timur (Timor Leste) dari pangkuan Ibu Pertiwi.

Atambua 390 Celsius menyuguhkan nuansa berbeda dari film-film indonesia lainnya, yaitu penggunaan bahasa Tetum dan Porto yang merupakan bahasa asli masyarakat Timor. Selain itu, aktor yang memerankan tokoh-tokoh dari film ini pun masyarakat asli Timor, Gudino Soares, Petrus Beyleto, Putri Moruk.

“Cinta” menjadi tema dari film berdurasi 80 menit ini. Namun, Cinta yang bukan hanya cinta sebatas pada pasangan kekasih, melainkan disajikan lebih kompleks, keluarga dan Tanah Air.

Lampu dipadamkan, penonton terdiam, aba-aba mundur 3-2-1 terdengar dari kabin kontrol dibarisan paling belakang. Pita seluliot berputar. Pemandangan sore dilaut, langit berwarna oranye, kelelawar satu persatu hingga ribuan berterbangan menghiasi senja, pulau-pulau kecil terlihat mulai menghitam, penanda malam. Penanda film tengah mulai.

Kerusuhan di Timor-Timor hingga jajak pendapat yang berakhir pada penandatanganan referendum lepasnya Timor dari Indonesia tahun 1999, menyisakan kondisi yang cukup memprihatinkan,  perpisahan keluarga, Ibu kehilangan Anak, Anak kehilangan keluarga, adalah potret yang ingin diangkat dari film produksi Miles Film kali ini. Hal itu yang dirasakan Joao (Gudino Soares) yang harus berpisah dengan Ibu dan 2 sodara perempuannya yang lebih memilih hidup di Timor Leste, sejak usia tujuh tahun. Ia kemudian tinggal bersama sang Ayah, Ronaldo (Petrus Beyleto) bekerja sebagai buruh supir, yang setiap pulang selalu mabuk dan Muntah. Sedangkan Joao hanya sebagai buruh ojek menggunakan motor sahabatnya.

Sebagai pengobat kerinduannya akan Ibunya, Joao hanya selalu mendengarkan suara rekaman Ibunya yang selalu mengajak Joao untuk pergi ke Timor Leste dan meminggalkan Ayahnya tetap di Indonesia. Hingga muncullah Nikia (Putri Moruk), seorang gadis yang pernah meninggalkan kamp pengungsian dan tinggal di kesusteran di Kupang. Kembalinya Nikia ke Atambua, adalah untuk melihat dan mengurus makam kakeknya yang telah meninggal.

Cinta dan konflik muncul pada Nikia dan Joao, begitu pula dengan Ronaldo, yang masing-masing memiliki kisah pahit. Nikia dengan masa lalunya yang pernah diperkosa, dan Ronaldo dengan ketetapan mencintai Indonesia sebagai tanah airnya.

“Happy Ending Story” menjadi klimaks dari film garapan Riri Riza ini. Nikia menetap di Kupang, Joao dan Ronaldo pergi ke Timor Leste bertemu keluarganya. Sebuah inti menarik diungkapkan Ronaldo diakhir cerita, “bahwa asal usul tetaplah timor, walaupun telah menjadi negera lain, ini adalah tetap tanah Timor, dan tetap menjadi orang Timor”. Kurang lebih demikian.

Sebuah catatan kecil, pengambilan gambar wide, dengan nuansa sore, pagi, siang, malam, disajikan indah dalam film ini. Saat cahaya menyusup diatara dedaunan dan kabut, gemericik air, cakrawala yang kuning keemasan, semarak siang-malam jalanan, pasar, raungan anjing, adalah nilai lebih dari film Atambua 390 Celsius. Alunan tata musik tradisional sebagai pemakna adegan yang belum pernah digunakan dalam film Indonesia lainnya menjadi nilai tambah dari film yang akan ditayangkan serentak di 20 bioskop di Indonesia, yaitu Jakarta, Jogjakarta, Bandung, Solo, Surabaya, dan Makassar pada 8 November 2012 ini wajib untuk ditonton.

Dalam acara malam ini, digelar pula pameran foto hasil jepretan designer yang tengah mendalami dunia fotografi, Edward Hutabarat. The Documents: Atambua 390 Celsius menjadi judul utama dalam pamerannya kali ini. Foto-foto yang dipamerkan merupakan potret kehidupan masyarakat asli Atambua serta beberapa kegiatan kru Miles Film selama proses produksi di Atambua. Pameran ini rencananya akan diteruskan di Anomali Cafe, Kemang – Jakarta Selatan.

10/10/2012

Peluncuran Kumpulan Cerpen: Ayahmu Bulan, Engkau Matahari


Metafor Penulis Muda Indonesia

“Saya memang menginginkan pembaca yang serius”. Penggalan kalimat inilah yang disampaikan oleh Lily Yulianti Farid, penulis kumpulan cerpen “Ayahmu Bulan, Engkau Matahari” sebagai sebuah harapan dalam peluncuran dan diskusi bedah bukunya di Birdcage Cafe, dikawasan Jakarta Selatan semalam (9/10).
Suasana keakraban dan kekeluargaan begitu terasa malam ini. Riuh rendah percakapan, tawa lirih mengisi hampir semua sudut lantai dua area cafe. Semua undangan,sahabat-sahabat, teman tertuju pada perempuan dengan busana serba hijau bergaya vintage malam ini, dibalut kerudung berlapis hijau, dengan gaun hijau pupus, dipadu rok coklat batik, kalung silver etnik bali dan sebuah sepatu sandal dengan mata-mata dari batu mulia berwarna merah. Sangat high fashion.

Acara peluncuran dan diskusi bedah buku ini yang diorganisir oleh Penerbit Gramedia ini dihadiri oleh Penulis dan penyair, Sapardi Joko Damono sebagai salah satu palenis dalam bedah buku; Penulis buku “Sepatu Dahlan”, Khrisna Pabichara; Moch Hasymi Ibrahim, Sutradara Teater dan Penulis, Fadly “Padi”, Arbaim Rambe, John McGlynn (Yayasan Lontar), Oka dan masih banyak tamu undangan lainnya yang sebagian besar adalah sahabat-sahabat Lily dan wartawan.

Dalam bedah bukunya, Sapardi mengomentari beberapa point dari Buku ABEM tersebut, yang disebutnya sebagai sebuah bentuk penulisan yang luar biasa, berciri khas, lugas, kuat dan “kasar”.
“Coba Anda Bayangkan dari penggalan yang saya bacakan ini, ‘Ketika engkau lahir, malam seperti meledak’ malam kok meledak, apa ini maksudnya?”.

“Atau ini, ‘Ia jatuh cinta pada suaraku sejak pertama kali mendengarnya. Cintanya itu lalu menjadi cahaya yang menyulitkan keberanian mengikuti kemanapun. Keberanian yang menggelora seperti api unggun yang menjulang tinggi mengirim percik bunga api ke langit malam, meliuk memompa semangat menaklukanku’, ini adalah sebuah bentuk penulisan metafor yang bagi saya (Sapardi-red) yang telah bergelut dengan dunia sastra dan puisi selama lebih dari 50 tahun tidak mampu berimajinasi seperti itu”, ungkapnya dalam bedah buku malam ini.

Sapardi Joko Damono juga menggaris bawahi dari buku yang ditulis Lily Yulianti ini adalah dalam buku ini tidak ada kalimat, kata, maupun keseluruhan kata yang tersirat maupun tersurat bermaknakan menggurui seperti banyak buku-buku cerita lain, tidak bermanis-manis, dan dengan menggunakan kalimat-kalimat pendek – langsung.
Ayahmu Bulan, Engkau Matahari (ABEM) menjadi buku keempatnya yang diterbitkan, setelah sebelumnya Makkunrai, Maiasaura, dan Family Room (English Edition). Dalam sambutannya Ly panggilan akrabnya, yang tengah menyelesaikan studi DoktoralGender dan Media di Melbourne, Australia, mengungkapkan harapannya bahwa walaupun secara fisik dirinya tidak berada di Indonesia namun karya-karyanya akan mampu menambah khasanah pembendaharaan perbukuan di Indonesia.

Bagi Ly, bedah buku kali ini memberinya refleksi, value, spirit dalam kepenulisannya mendatang hal ini diungkapnya dalam tanggapannya, “Saya sangat senang dan bahagia, karena biasanya komentar yang muncul dari teman atau pembaca terhadap buku yang diterbitkan oleh para penulis hanyalah kalimat-kalimat pendek ‘wah hebat’, ‘bukunya bagus’, namun tidak tahu dimana bagusnya. Namun disini saya jadi tahu apa dan dimana bagusnya, apa kekuatan dari cerita yang saya buat”. “Kalau begini saya ingin bisa men-traktir pak Sapardi tiket Jakarta-New York Pulang-pergi”, tambahnya disela-sela canda.

Dalam sesi kedua bedah buku EBEM ini, Sapardi menambahkan, “Buku ini menjadi buku yang mengharuskan pembacanya membaca berulang-ulang untuk mengerti maksud-maksud dari cerita yang disuguhkan, karena melalui buku ini pembaca seperti diwajibkan untuk ikut menjadi penulis dari babak-babak yang diceritakan”, “Hal ini bagus, karena pembaca tidak hanya disuguhkan cerita yang manis, getir, dan diakhiri dengan cerita indah, namun harus mampu mengerti dan memahami serta menambahkan babak-babak baru dari setiap ceritanya”, tambahnya.

Dari malam yang membanggakan ini, sahabat Lily, Fadly lead vocal grup band Padi yang saat ini tengah menggarap proyek album terbarunya juga hadir dan menyumbangkan suaranya melalui lagu tanpa alat musik untuk pertama kali dalam sejarah hidupnya. Fadly dalam tanggapannya mengungkapkan belum sempat membaca, dan hadir untuk mendapatkan preview sekilas tentang buku EBEM tersebut, untuk kemudian akan membacanya secara serius, ungkapan jujur tersebut dibarengi dengan riuh tawa rendah undangan yang hadir.

Acara peluncuran ini, diisi pula pembacaan cerita dari Buku Ayahmu Bulan, Engkau Matahari oleh Khrisna Pabichara, dan pembacaan Puisi karangan Oka Rusmini “What Scale” dan “Work of Writers?” yang didedikasikan untuk Lily Yulianti Farid setelah membaca sedikit inti-inti dari cerita yang ditulis Lily.

9/27/2012

Life is Hibrid


God gave us the gift of life; it is up to us to give ourselves the gift of living well. -Voltaire 

Senin, 27 September, tepatnya empat puluh tujuh tahun yang lalu. Suara adzan dhuhur menjadi pembuka kehidupan baru bagi seorang bayi mungil dari sepasang suami istri dari sebuah pulau seluas sepuluh ribu kilometer, berpasir putih diujung selatan pulau sulawesi diantara seratus tiga puluh gugusan pulau kecil. Mata kecil itu masih belum bisa terbuka, namun bagi sang guru pencinta laut dan sang ibu pencinta buku adalah sebuah kebahagiaan tak terkira dengan kelahiran putra keduanya ini yang sekaligus menjadi putra tertua setelah putri pertama harus menghadap ilahi.

Terbayangkan bagaimana rasa bahagia menyeruak, membumbung dan berpendar setelah suara tangis bayi kecil ini tersentak dengan hirupan pertama aroma dunia diantara karbon dan oksigen. Air mata sang ibunda menetes seketika melihat bayi merah itu akan menuliskan prasasti hidupnya kelak, dengan beragam sudut pandang hidup dan sejarah.

Kini, bayi kecil itu telah tumbuh dewasa, tinggi, gagah dan berwibawa. Usianya hampir setengah abad. Banyak pelajaran hidup yang telah ditorahkannya melalui tulisannya, pemikirannya, permasalahan dan kebahagiaannya. Dan semua orang pasti mengenalinya. Ia adalah pecinta sastra seperti sang Bunda (Amma’), seorang pendidik seperti sang Ayah (Bapak), dan seorang pejuang seperti kombinasi kedua orang tua. Berdiri tegak diantara deru kendaraan ibukota, tenggelam dalam lautan karbon dan timbal. Menyusuri setiap jengkal detak jantung kota untuk bertahan hidup dan menghidupi.

15 tahun lalu, kesegaran pemikiran, pengetahuan politik, dan kapabilitas memimpin membawanya kepada kota penuh intrik, Jakarta. Lima belas tahun lalu pula menjadi tonggak berdirinya kesuksesan dan kerja keras yang Ia pancang dari masa kanak-kanaknya, seperti yang pernah Ia ucapkan “Suatu saat nanti, saya akan berada disini, mengelilingi Bundaran Hotel Indonesia mengendarai mobil saya sendiri”, dan itulah yang terjadi.

131400 jam adalah saksi bisu sejarah yang  Ia torehkan. Sejarah pergumulan hidupnya, permasalahannya, canda dan airmatanya, saat banyak orang datang dan pergi dalam hidupnya.
Ia pernah berkata, “Akhirnya nanti sendiri ma’ saya ini, sampai tua”, namun aku berkata kepadanya,”Papa tidak akan sendiri, Ada Dato’, Ada kami anak-anakmu”.

5475 hari merupakan kunci emas dalam setiap detak hidup yang dijalaninya. Bersama keluarga kecilnya, anak-anak yang dewasa dan lulus kuliah, Ibunda yang selalu mengasihi dan mendoakannya, dan sahabat-sahabat yang selalu membuatnya melupakan sejenak masa-masa sulit yang dilaluinya.

kini Ia menjadi mata sang malam, dalam kesayuan matanya diantara guratan garis wajah dan lingkaran hitam matanya, masih tersimpan sejuta harap, impian dan semangat yang kadang tak mampu Ia ungkapkan, tak seperti kantung matanya yang begitu pandai menyiasati kata waktu. Tak ada lagi tidur cukup, tak banyak lagi masa bersantai. Namun ia selalu tersenyum, saat anak-anaknya berkumpul, berbagi cerita dan bercanda. Mungkin inilah kebahagiaan yang sebenarnya baginya, namun juga kesedihan baginya saat salah satu anaknya harus sakit, terkulai lemas. Namun layaknya kantung mata yang mampu menyiasati hidup, kehalusan kata, kehangatan cinta kasihnya menjadikannya tetap tegar, kuat walau kadang sayap-sayap hidup itu harus patah, dan menunggu untuk kembali dapat dikepakkan.

Dan hari ini, bersama hujan yang mengguyur pergantian jam, aroma tanah basah yang mengisi kelamnya malam, menjadikan pengharapan baru, perubahan baru, untuk segala hal yang lebih baik dan jauh lebih baik.

-Every Years on Your Birthday, you get a chance to start new, Sammy Hagar -

Selamat Ulang tahun Ayahanda tercinta....much love and care.
God gave us the gift of life; it is up to us to give ourselves the gift of living well. -Voltaire 

Senin, 27 September, tepatnya empat puluh tujuh tahun yang lalu. Suara adzan dhuhur menjadi pembuka kehidupan baru bagi seorang bayi mungil dari sepasang suami istri dari sebuah pulau seluas sepuluh ribu kilometer, berpasir putih diujung selatan pulau sulawesi diantara seratus tiga puluh gugusan pulau kecil. Mata kecil itu masih belum bisa terbuka, namun bagi sang guru pencinta laut dan sang ibu pencinta buku adalah sebuah kebahagiaan tak terkira dengan kelahiran putra keduanya ini yang sekaligus menjadi putra tertua setelah putri pertama harus menghadap ilahi.

Terbayangkan bagaimana rasa bahagia menyeruak, membumbung dan berpendar setelah suara tangis bayi kecil ini tersentak dengan hirupan pertama aroma dunia diantara karbon dan oksigen. Air mata sang ibunda menetes seketika melihat bayi merah itu akan menuliskan prasasti hidupnya kelak, dengan beragam sudut pandang hidup dan sejarah.

Kini, bayi kecil itu telah tumbuh dewasa, tinggi, gagah dan berwibawa. Usianya hampir setengah abad. Banyak pelajaran hidup yang telah ditorahkannya melalui tulisannya, pemikirannya, permasalahan dan kebahagiaannya. Dan semua orang pasti mengenalinya. Ia adalah pecinta sastra seperti sang Bunda (Amma’), seorang pendidik seperti sang Ayah (Bapak), dan seorang pejuang seperti kombinasi kedua orang tua. Berdiri tegak diantara deru kendaraan ibukota, tenggelam dalam lautan karbon dan timbal. Menyusuri setiap jengkal detak jantung kota untuk bertahan hidup dan menghidupi.

15 tahun lalu, kesegaran pemikiran, pengetahuan politik, dan kapabilitas memimpin membawanya kepada kota penuh intrik, Jakarta. Lima belas tahun lalu pula menjadi tonggak berdirinya kesuksesan dan kerja keras yang Ia pancang dari masa kanak-kanaknya, seperti yang pernah Ia ucapkan “Suatu saat nanti, saya akan berada disini, mengelilingi Bundaran Hotel Indonesia mengendarai mobil saya sendiri”, dan itulah yang terjadi.

131400 jam adalah saksi bisu sejarah yang  Ia torehkan. Sejarah pergumulan hidupnya, permasalahannya, canda dan airmatanya, saat banyak orang datang dan pergi dalam hidupnya.
Ia pernah berkata, “Akhirnya nanti sendiri ma’ saya ini, sampai tua”, namun aku berkata kepadanya,”Papa tidak akan sendiri, Ada Dato’, Ada kami anak-anakmu”.

5475 hari merupakan kunci emas dalam setiap detak hidup yang dijalaninya. Bersama keluarga kecilnya, anak-anak yang dewasa dan lulus kuliah, Ibunda yang selalu mengasihi dan mendoakannya, dan sahabat-sahabat yang selalu membuatnya melupakan sejenak masa-masa sulit yang dilaluinya.

kini Ia menjadi mata sang malam, dalam kesayuan matanya diantara guratan garis wajah dan lingkaran hitam matanya, masih tersimpan sejuta harap, impian dan semangat yang kadang tak mampu Ia ungkapkan, tak seperti kantung matanya yang begitu pandai menyiasati kata waktu. Tak ada lagi tidur cukup, tak banyak lagi masa bersantai. Namun ia selalu tersenyum, saat anak-anaknya berkumpul, berbagi cerita dan bercanda. Mungkin inilah kebahagiaan yang sebenarnya baginya, namun juga kesedihan baginya saat salah satu anaknya harus sakit, terkulai lemas. Namun layaknya kantung mata yang mampu menyiasati hidup, kehalusan kata, kehangatan cinta kasihnya menjadikannya tetap tegar, kuat walau kadang sayap-sayap hidup itu harus patah, dan menunggu untuk kembali dapat dikepakkan.

Dan hari ini, bersama hujan yang mengguyur pergantian jam, aroma tanah basah yang mengisi kelamnya malam, menjadikan pengharapan baru, perubahan baru, untuk segala hal yang lebih baik dan jauh lebih baik.

-Every Years on Your Birthday, you get a chance to start new, Sammy Hagar -

Selamat Ulang tahun Ayahanda tercinta....much love and care.

6/30/2012

Titipan Untuk Bunda


Tak pernah terbayangkan olehku diantara tubuh mungilmu tersimpan kekuatan luar biasa. Diantara ceriamu tersimpan perjuangan maha dasyat. Itulah engkau ibu. Bolehku panggil kau Bunda. Dalam 9 bulan masa penantianmu, dalam 36 minggu beban berat menyinggahi, dan 270 hari detik demi detik kau lalui membawaku kemana kau pergi.

Namun bagiku, cukuplah 7 bulan, 24 minggu, dan 210 hari aku berada dalam rahimmu, dan sebuah perjuangan membawaku menghirup aroma dunia. Bayi mungil 26 ons, masih segar, dan masih enggan membuka mata, hanya sekedar untuk menyapamu. Bukan ku tak ingin, tapi aku belum mampu untuk melihat keindahanmu, air matamu, dan kesukacitaanmu. Namun aku merasakan itu. Kau dekap aku erat, tersenyum dan membisikkan syahadat ditelingaku. Dan disampingmu, papa tersenyum diantara air mata kebahagiaannya. Dan suara adzan ashar menjadi penanda kehadiranku.

Hari, jam, detik kau habiskan masamu bersamaku. Menggendongku, menidurkanku, menggantikan baju dan membenarkan letak bantal pengalas kepalaku yang masih rapuh. Engkau begitu sabar, diantara keruwetan yang menghampirimu, sesekali kau tersenyum melihat polah tingkahku yang membuang segala hal didekatku. Atau mengompol dipangkuanmu, sehingga kau tidak bisa sembahyang. Tapi itulah engkau bunda, senyum dan kasihmu tak pernah habis untuk membuatku nyaman bersamamu. Bahkan saat engkau tak lagi bisa memberikanku air susu dan harus digantikan dengan air susu pabrik. "maaf, nak. Bunda tidak lagi bisa memberikanmu ASI".

Walau tanpa ASI darimu namun kasih sayang dan kebahagiaanmu tak pernah pupus untukku. Bhkan saat engkau harus dirumah sakit, senyum bahagiamu melihatku masihlah nampak jelas terlihat dan terasa olehku. Engkau sungguh luar biasa bunda.

Saat usiaku beranjak, saat aku telah merangkak, mengenal benda dan bisa meminta, sedapat mungkin kau memberikannya untukku. Sebuah mainan berbentuk bulat beroda, yang entah apa aku menyebutnya, kau selalu dudukkan aku disana. Dan kau melakukan aktivitasmu. Tapi, engkau selalu berlari kearahku saat terdengar tangisanku terjatuh dari bulatan beroda itu, atau bahkan saat ku jatuh dari tempat tidur yang tingginya lebih dari tinggiku. Diantara tangisku yang menjadi,engkau elus kepalaku, menelisik setiap inci tubuhku memastikan tak ada luka padaku. Dan aku memelukmu erat. Aku ketakutan.

Usiaku semakin bertambah, menginjak 2 tahun engkau memberiku seorang adik laki-laki. Seorang bayi kecil yang beratnya belih dariku saat lahir. Dan dia memang lebih gemuk dariku. Namun, tak ada yang membuatmu membedakan kami. Segalanya sama. Baju tidur, baju pergi, kaos, segalanya sama. Bahkan papa selalu menjahitkan aku dan adikku kemeja yang selalu sama. Rasanya seperti kembar. Namun berbeda. Aku bermata belok dan adikku bermata sipit. Apa yang dimiliki adikku, apu pun pasti memilikinya. Segala hal yang sama itu selalu kami (aku dan adikku) dapatkan hingga menginjak sekolah dasar. Bahkan hingga setelah adik keduaku lahir saat aku berusia 8 tahun dan adikku 6 tahun.

Bunda, aku ingat sebuah kejadian dimana entah berapa usiaku, aku melihatmu dikejauhan, engkau berada disebuah rumah sakit paru-paru sering memeriksakan sakit yang kau derita entah sejak kapan. engkau enggan kami berada didekatmu, kau pun berkata "kalian disana saja sama papa" kau menunjuk jauh diseberang jalan tepat dimana papa terduduk diatas sedel sepedanya dibawah pohon yang cukup rindang, memayungi papa dari terik. Kamipun disana bersama papa menunggumu hingga usai pemeriksaan.

Aku ingat tentang sepeda, sebuah sepeda phoenix berwarna hijau, dengan keranjang berwarna merah tergantung distang, dan boncengan besi dibelakang membawa ku sekeluarga kemanapun. Adikku yang petama duduk di keranjang, aku berdiri dibelakang papa yang siap mengayuh dengan kakiku terikat di leher sedel, dan mamaku dibelakangku menggendong adikku yang baru beusia beberapa bulan. Papa membawa kami ke sebuah studio foto. Mengabadikan kebersamaan kami, masa kanak-kanak kami yang suatu saat nanti dapat menjadi album kenangan kalian. dan sepeda itulah yang membawaku kemanapun pergi hingga aku menginjak SMP kelas 1.

Bunda, sesekali aku melihat tabir lelah dan kerutan diwajahmu, kesusahanmu. Namun engkau selalu mengusap dan tersenyum, menandakan akan banyak harapan didepan untuk kita semua. Sholat malam yang tak henti kau kerjakan. Berjamaah dengan papa, dan menanamkan kesederhanaan dalam diri kami. Adalah hal yang selalu ku ingat. Menyadari diri kita siapa, menerima segala keadaan, tetap berusaha mencukupi segalanya.

Kadang kau pun tersiksa saat kami meminta sesuatu yang belum dapat engkau berikan, atau bahkan engkau merelakan benda berharga milikmu untuk kau jual demi mencukupi kami semua. Siang-malam engkau temani dan bantu papa bekerja lembur menyelesaikan jahitan yang ramai saat musim tahun ajaran baru. Namun kadang aku tak tahu keletihanmu, ku pinta ini dan itu hingga kaupun naik pitam, dan aku menangis.

Selalu segar diingatanku betapa besar kasih sayang yang telah engkau curahkan dalam keadaan apapun. Teringat olehku sebuah kejadian saat aku beranjak remaja. Sebuah perbuatan yang sangat dibenci oleh papa, diketahuinya. Pukulan penggaris kayu bertubi-tubi bersarang dipunggungku, tendangan keras berakhir di kedua kakiku, hingga membuatku lunglai, susah berjalan, ditambah tamparan dan pukulan tangan mengoyak wajahku, dan akhirnya papa menyuruhku pergi dari rumah. Di kemasinya bajuku dan disuruhnya ku pergi. Aku hanya diam, terduduk dikursi kayu, memeluk sarung berisikan bajuku, dan menangis menahan sakit. Namun bunda berlari menghampiriku, memelukku erat sangat erat, ia menangis sambil diusapnya bahu dan kepalaku. "Sudah, ayo masuk, dan janji jangan diulangi lagi perbuatan itu". "jangan suruh masuk anak kurang ajar itu" teriak papa. "pa, sudah. Dia sudah kapok" kata bunda.

Bunda membawaku ke kamar, dibukanya bajuku, dioleskan minyak gosok untuk mengurangi nyeri ditubuhku. Saat seperti ini, saat aku dalam sebuah kesalahan, bunda masih dengan tulus menyayangiku, menghilangkan rasa sakitku, mengusap lembut rambutku dan meminumkan air hangat. Bunda, begitu mudahnya kau memaafkan kesalahanku dan menggantikannya dengan sayang yang berlipat. Itu yang selalu kau lakukan saat papa naik pitam dan menghadapi kejadian yang sama. Pelukanmu dan kesabaranmu yang menjadi obat dari segala sakit yang kurasa.

Hingga akhirnya pun ku putuskan untuk menjalani hidupku sendiri. usai SMA aku meminta ijin dan restu bunda, "bunda, aku tidak mau kuliah. Aku mau kerja dan dijakarta saja aku mau mencoba menjadi model". Itulah keputusanku. "tak banyak bekalmu nak, cuma ini yang baru bisa bunda dan papamu berikan". Bunda memelukku erat, meneteskan air mata rasanya tak ingin melepas anaknya pergi seorang diri. Namun, ini keputusanku, restu bunda dan papa lah tumpuanku. Tak banyak kata malam itu. Selain air mata, doa dan harapan. Lalu bundapun melambaikan tangannya. Sebuah kereta membawaku meninggalkan kota yang selama 18 tahun saksi perjalanan hidupku, membawaku kepada lembaran hidup yang baru.

Akupun dijakarta. Tak banyak masa kebersamaan ku habiskan untuk berkirim kabar. Hanya sesekali SMS dan 5 menit pembicaraan yang akhirnya terputus karena pulsa yang telah habis. Saat itu, biaya komunikasi sangatlah mahal. Aku disibukkan dengan beragam kegiatan yang sering membuatku lupa segalanya, sholat, makan, dan berkabar ke bunda. Hingga lebaran pertama tiba, aku kembali untuk waktu yang sangat cepat. 3 hari saja, dan kemudian aku kembali kejakarta.

Tahun demi tahun ku habiskan waktuku dijakarta. Bunda selalu berkirim kabar untukku. Sesekali ia menangis, rindu katanya, sepi dirumah tanpa adanya aku yang hiper aktif. Aku hanya bosa menjanjikan "nanti" aku pulang. Dan bundapun hanya mengiyakan. Itu yang selalu terjadi, setahun sekali dan singkat. Namun bunda selalu berusahan untuk mengerti keadaanku.

Hingga suatu malam, sebuah pembicaraan terpanjang selama kami berjauhan. Bunda menceritakan yang yang terjadi sebenarnya keadaan dijogja kepadaku. Bunda menceritakan karena aku memaksa. Perselisihan antara bunda dan saudara-saudara perempuannya, dan permasalahan papa dengan saudara-saudaranya. Aku hanya bisa marah, menangis dan menahan emosiku. Saat aku jauh begitu banyak hal telah ku lewatkan, begitu banyak persoalan telah ku sisihkan. Kini mereka seperti mendapatkan musuh dalam selimut, dan aku disini sendiri merasakan getir tanpa mampu melakukan apapun. Namun, bunda selalu berkata "Kamu fokus saja dengan yang ingin kau raih, kami baik-baik saja. Jangan terlalu dipikirkan. Insyaallah ada jalan". Itu menjadi satu-satunya penghibur bagi bunda dan diriku. Hingga saat ini.

Saat aku jatuh, sakit, dan tak berdaya bunda selalu ingin ada disisiku, merawatku. Namun bagiku doa bunda adalah obat dan penguat masa kritisku, itu lebih dari cukup bagiku tanpa harus membuatmu tergopoh dan kelelalah disini. Seperti saat ini, saat aku selalu berjuang dengan keadaanku, kesehatanku, pertarungan antara kesadaran dan menahan sakit, doa bunda yang selalu dipanjatkan adalah pintu kekuatanku untuk bangkit dan kuat berdiri lagi. Senyum dan tawa bunda yang selalu membuatku bertahan dalam segala kondisi yang menimpaku.

Bunda, tiada terukur kasih sayang yang kau berikan kepadaku. Tiada tertampung banyaknya doa dan harapan yang kau panjatkan untukku. tapi begitu sedikit yang mampu kuberikan padamu. Hanya potret dan kenangan bersamamu menjadi kekuatan ku untuk bangkit. Senyummu yang membuatku sadar akan luasnya harapan yang dapat kuraih. Keikhlasanmu yang menjadikan lapang jalanku.

Bunda, aku ingin disana, bersamamu, mendekapmu lebih lama, lebih erat, sehinggaku tak lagi takut melewati setiap detik dalam hidupku. Bunda, keluasan kasih sayangmu, ketulusan cintamu, keikhlasan doamu, ingin kuraih semua. Ingin ku bisa membahagiakanmu, memberikan apa keinginanmu, apapun itu, memberikan kebanggaan-kebanggan padamu.

Bunda, Doakan aku, dan teruslah bimbing aku. Aku sangat menyayangi dan merindukanmu.

6/21/2012

RUMATA Artspace Present: Makassar International Writers Festival 2012


Berlokasi di jantung kota Makassar- Sulawesi Selatan, tepatnya Benteng Fort Rotterdam akan diselenggarakan kegiatan festival kepenulisan dibawah Rumah Budaya RUMATA’ Artspace, telah berlangsung selama 5 hari yaitu mulai tanggal 13 – 17 Juni 2012. Kegiatan bertajuk Makassar International Writers Festival 2012 (MIWF) menjadi salah satu kegiatan seni dikota Makassar dan diakui sebagai perayaan kegiataan kepenulisan bagi penulis-penulis lokal maupun international bahkan bagi para pecinta sastra.

Dalam pembukaan Makassar International Writers Festival (MIWF) ini dihadiri oleh Walikota Makassar Ilham Arief Sirajuddin yang dengan bangga membuka rangkaian acara tersebut, yang dalam pembukaan MIWF 2012 mengatakan “Saya bangga dengan adanya kegiatan semacam ini di Makassar, menjadikannya sebagai salah satu kegiatan yang menebarkan sastra di kota angin mamiri ini. Mari kita isi udara Makassar dengan indahnya Sastra”. Dalam pembukaan dihadiri pula Founder Rumata’ dan Sekaligus Direktur Makassar International Writers Festival (MIWF), Lily Yulianti Farid, serta Direktur RUMATA’ Artspace Riri Riza.

Makassar International Writers Festival (MIWF) 2012 bagi Riri Riza dan Lily Yulianti Farid dianggap menjadi sebuah event penting karena melalui kegiatan ini dapat dijadikan sebagai barometer perkembangan kesusastraan dan kepenulisan di Makassar, serta menjadi ajang saing belajar antar penulis maupun penulis dengan masyarakat sekitar. Menjadi sebuah kebanggaan dapat menjadi bagian dalam menyisir, memupuk, serta menumbuhkan dan melestarikan kegiatan literasi di Makassar dalam skala lebih luas dan umum.

Tamu undangan dari penulis International dan lokal juga memeriahkan rangkaian acara MIWF 2012 selama 5 hari tersebut, diantaranya: Ahmad Tohari (Penulis Makassar), Ahmad Fuadi (penulis Tetralogi Negeri 5 Menara), Akmal N Basran (penulis SangPencerah), Anwar Jimpe Rachman (penulis Puisi dari Makassar), Bernice Chauly (Aktris, penulis, Dosen, Sosialita dari Malaysia), Butet Manurung (Pengajar, Penulis), Elizabeth Pisani (Jurnalis, Penulis, penggagas tata cara sampling HIV/AIDS di PBB, dari London, Inggris), Emil Amir (Makassar), Fauzan Mukrim (Makassar), Jamil Massa (Gorontalo), Jenifer Mackenzie (penulis Puisi dari Melbourne), John H.Mcglynn (USA), Kent MaCCarter (penulis puisi dari Minnesoto-New Mexico menetap di Melbourne), Khrisna pabichara (Penulis buku Sepatu Dahlan), Mochtar pabotingi (Sejarawan), Novi Dwi Djenar (Penulis dan Dosen di Melbourne), Ng Yi Sheng (Novelis dan pemenang penulis termuda dalam The Singapore Literature prize), Nurul Nisa (Makassar), Omar Musa (Penyanyi dan Penulis Puisi dari Melbourne), Fadly “Padi” (Vocalis band Padi), Rini Irmayasa (Novelis, Manokwari), Uthaya Sankar SB (Novelis Malaysia), Wendy Miller (Penulis dan Fotografer dari Melbourne), dan Xu Xi (Penulis Novel Fiksi dari Hongkong).

Rangkaian kegiatan Makassar International Writers Festival 2012 (MIWF) ini merupakan kegiatan tahunan yang dilaksanakan RUMATA’ Artspace dan merupakan kegiatan kali kedua sejak berdirinya RUMATA’ Artspace tahun 2010 lalu. Kegiatan ini menjadi penting selain ragam kegiatan yang akan dan telah dilakukan sepanjang tahun. Penting karena festival ini menjadi sebuah perayaan dan penghargaan terhadap keindahan karya sastra dan literature lokal, nasional maupun internasional. Dengan tema “Tribute to Mattulada” menjadi landasan rangkaian tematik MIWF tahun ini, Mattulada yang seorang penulis buku LATOA yang menjadi grand works, menuliskan tentang analisis antropologi kehidupan politik masyarakat bugis, serta buku penelitian tentang bugis di Asia Tenggara.

Kegiatan yang bersifat gratis untuk umum ini berlangsung selama lima hari berturut-turut dengan beragam kegiatan di berbagai tempat di Makassar. Rangkaian kegiatan tersebut antar lain: Literature in the air yang bekerjasama dengan radio Madama, Puisi dan fotografi berlokasi di Main Hall Fort Rotterdam; Diskusi Makassar Hari ini dan Warisan Intelektual Mattulada; Public lecture tentang HIV AIDS; Diskusi Tales of Two City; launching buku “Sepatu Dahlan”, “Borobudur and Other Poems”, “River’s Notes’;Workshop Sing your Poetry bersama Omar Musa, Yana Millane, Nina Lim dan Fadly “Padi”; Panel Diskusi Don’t Judge The Book by its Movie bersama Ahmad Fuadi;Writing Workshop bersama penulis internasional; The Jungle School; Writters Forum; Kid Corner, Master Class: Write Your Novel Right Now; Community event(pemutaran Film); Writters Tour ke Pulau Lae-lae; Master Class: Poetry Reading Performance bersama Omar Musa dan Ng Yi Sheng; serta banyak kegiatan lainnya.

Dalam setiap akhir hari kegiatan Makassar International Writers Festival (MIWF) 2012 akan selalu diakhir di halaman Benteng Fort Rotterdam dengan melalui kegiatanCommunity Event: Makassar litweeterature, yaitu penampilan para penulis-penulis dan undangan untuk tampil di panggung menyanyi, membaca puisi, singing the poets, membaca cerita pendek, bernyanyi bahkan menari. Tidak hanya bagi penulis dan tamu saja, penonton yang hadirpun dapat membacakan puisinya dipanggung atau mengirimkan puisi pendeknya melalui twitter yang kemudian bagi para pengirim puisi yang terpilih akan mendapatkan bingkisan menarik berupa kaos Makassar International Writers Festival 2012, Buku para penulis, serta CD dari Omar Musa.

Dimalam penutupan dari seluruh rangkaian kegiatan Makassar International Writers Festival (MIWF) 2012, Lily Yulianti Farid dalam sambutan penutupnya mengatakan “Sebuah kebanggaan dapat memulai, mengikuti dan menyelesaikan seluruh rangkaian kegiatan ini, karena disinilah tempat kita (Para penulis) merayakan hasil kepenulisaannya. Kebanggaan atas kerja keras tim dalam kegiatan, serta kebahagiaan atas terselesaikannya segala kegiatan tanpa kurang apapun. Karena disini (MIWF- red) adalah tempat bagi orang-orang yang jujur, tulus, dan ikhlas. Namun, tidak hanya berhenti disini, karena akan hadir kembali kegiatan seperti ini ditahun-tahun mendatang sesuai dengan event program tahunan RUMATA’ Artspace, dengan penulis-penulis lain yang lebih beragam”.

Mimpi, Festival, dan Kepenulisan


Istri dari Farid Maruf Ibrahim dan ibu dari fawwaz Naufal Farid ini, merupakan satu sosok perempuan yang tidak pernah ingin berhenti dalam berkarya dan mewujudkan setiap impian-impiannya. Melanglang buana ke berbagai Negara untuk mengikuti ajang festival penulis di dari Paris hingga Ubud, dari Amerika Serikat hingga Sydney telah dilaluinya. Dari menjadi sekedar penulis tamu hingga curator. Kegemarannnya membaca dan menulis telah membawanya pada penerbitan tiga buah seri buku cerita karangannya yang berlatar belakang perempuan di Makassar, Makkunrai (2008), Maisaura (2008), dan Family Room (2010) yang telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris dan menjadi salah satu cerita dalam kumpulan Modern Library of Indonesia Series oleh Lontar Foundations. Di tahun 2012 ini buku keempatnya “Your Father Is the Moon, You are the Sun” akan segera diterbitkan.

Perempuan yang lahir di Makassar, 40 tahun silam ini merupakan sosok perempuan yang kuat dalam menjalani kehidupan pribadinya maupun karir kepenulisannya. Meninggalkan Indonesia setelah menikah untuk melanjutkan pendidikan di Australia menjadi langkah awal baginya untuk memulai perkembangan dunia kepenulisannya. Pernah menjadi wartawan pada surat kabar Kompas tahun 1996-2000, bekerja di Radio Australia serta tinggal dan bekerja di Radio Jepang – NHK World di Tokyo, columnist pada “Nytid News Magazine” Norwegia 2006 hingga sekarang. Tentu bukan perkara mudah berpindah tempat tinggal setiap 4 tahun bagi seorang Ly dan keluarga. Demi karir dan pendidikan hal tersebut bukanlah halangan baginya yang kini menetap di Melbourne, Australia untuk menyelesaikan studi ke doktorannya (PhD) tentang Gender dan media di University of Melbourne.

Karir jurnalis tidak berhenti hanya di surat kabar dan radio, 1 juli 1996 Ly menerbitkan website berita feature dengan nama panyingkul.com yang merupakan website citizen journalist pertama di Indonesia, dimana penulis berita bukanlah seorang wartawan melainkan masyarakat biasa. Januari 2009 cerita pendek “The Kitchen” mengisi jurnal di Chicago “Words without Border” dan tampil sebagai pembicara dalam “Global Journalism and Organizing” pada konferensi “Women, Action & The Media” tahun 2009 di Cambridge.

Sebagai sosok yang selalu mewujudkan impian-impiannya, Ly yang pandai memainkan piano ini, bersama Riri Riza membangun sebuah rumah budaya di Makassar “RUMATA’ Artspace”. Alasannya adalah karena keduanya merupakan generasi yang sama-sama lahir dan besar di kota angin mamiri tersebut. Keduanya adalah founder (pendiri) yang membuat beragam kegiatan setiap tahunnya seperti Makassar International Writers Festival, SEASCREEN Academy (South East Asia Screen Academy), Sahabat dari jauh, Festival Arena, Lokakarya, Pameran Lukisan dan Fotografi dan lain sebagainya.

Baginya, mimpi adalah sesuatu yang harus dapat diwujudkan bagaimanapun caranya. Dan bagi Ly, mimpi adalah kekuatan yang terus mampu membuatnya berkarya sampai kapanpun.

2/25/2012

1 Tahun Rumata: Fundraising dan Temu Sahabat Rumata’


1 Tahun Rumata’, Fundraising dan Temu Sahabat Rumata’

Bertempat di kantor Daya Desain Indonesia (DDI), kawasan Mega Kuningan Jakarta, kegiatan awal tahun digelar Rumah Budaya Rumata’ pada Jumat, 24 Februari 2012. Kegiatan bertajuk “Ngopi Sore Sahabat Rumata’ bersama Riri Riza dan DDI” ini dihadiri oleh lebih dari 30 tamu udangan, seperti John Mcglynn (Yayasan Lontar), Kasuhiza Matsui (warga Jepang yang peduli pembangunan kebudayaan Indonesia Timur), serta beberapa tokoh dan tamu lain yang memiliki perhatian serius terhadap pengembangan kebudayaan nasional khususnya Makassar ini berjalan meriah dan exclusive, kegiatan ini sekaligus dijadikan moment memperingati satu tahun berdirinya sebuah pusat kebudayaan yang berlokasi di Makassar, Sulawesi Selatan ini. Acara ini dihadiri juga salah satu pendiri pusat kebudayaan Rumata’, Riri Riza sebagai pembicara utama.

Melalui kegiatan ini pula, Rumata’ menggalang dana sosial dan kerjasama tamu undangan demi terselesaikannya pembangunan pusat budaya Makassar tahap II dan III, serta terlaksananya berbagai kegiatan yang akan dilaksanakan pada tahun 2012 seperti, Beasiswa Seni Budaya Indonesia pada April hingga Juni 2012, dengan memberikan beasiswa kepada 10 orang mahasiswa asing untuk belajar kebudayaan Indonesia di Makasar, yang dilanjutkan dengan Makassar International Writers Festival (MIWF) pada Juni 2012, Makassar-Southeast Asia Screen Academy, akademi film selama 5 hari bagi pekerja film se-Indonesia Timur pada bulan September 2012 yang akan menghadirkan pengajar dari Asia Tenggara, serta ragam kegiatan lainnya.

Dalam pembukaan “Ngopi Sore Sahabat Rumata’ bersama Riri Riza dan DDI” Riri Riza menjelaskan, “Pada dasarnya saya adalah seorang seniman atau sutradara yang gelisah, karena saya tidak mau hanya membuat film saja melainkan melakukan sesuatu yang lain khususnya untuk Makassar, dan saya bertemu dengan seorang Lily Yulianti yang aktif dengan gagasan-gagasan untuk memajukan Makassar dari sisi seni dan budaya khususnya, akhirnya visi misi kami sama, Jadilah Rumata’”.
Rumata’ merupakan hasil gagasan dan inisiatif Riri Riza (sutradara) dan Lily Yulianti Farid (penulis novel dan cerpen) yang diluncurkan pada 18 Februari 2011 di Makassar melalui kegiatan perdana Makassar adalah Rumata’ yang dilaksanakan selama 4 hari. Sebagai langkah berikutnya menggelar Makassar International Writers Festival 2011pada 13-17 Juni 2011 dengan mengundang penulis-penulis luar seperti Maaza Mengiste (Amerika), Abeer Soliman (Mesir), Gunduz Vassaf (Turki) dan Janer deNeefe (Australia) serta penulis-penulis Makassar.

Dalam mereview perkembangan Rumata’ dari sisi fisik bangunan, Riri Riza menjelaskan “tahap pertama pembangunan Rumata’ yang telah rampung 90 persen yang terdiri dari kantor managemen dan galeri akan dapat digunakan pada bulan maret ini, kemudian disusul dengan pembangunan tahap II berupa area pertunjukan seluas 600 meter persegi “Teater Arena”, Kedai, disusul tahap III pembangunan Wisma”.

Harapan yang ingin dicapai dengan dibangunnya Rumah Budaya ini, akan mampu menjadikan Rumata’ sebagai barometer perkembangan seni dan kebudayaan khususnya di Makassar, dan melalui kegiatan-kegiatan bertaraf internasional tersebut diyakini menjadibenchmark bagi pelaksanaan kegiatan seni dan kebudayaan bertaraf Internasional di Indonesia Timur, Ungkap