Malam mulai menggelayuti senja awal minggu, usai hujan
membanjiri hampir seluruh kawasan Jakarta. Suasana meriah Pusat Perfilman
Haji Usmar Ismail (PPHUI) mengudara beriring nyanyian klakson sepanjang jalan
Rasuna Said malam ini (5/11). Perhelatan sederhana siap digelar, tamu undangan
berdatangan, disambut penerima tamu dengan kostum serba hitam ditambah kain
tenun asli Timor menghias leher. Pin bertuliskan judul perhelatan dibagikan
sebagai tanda masuk dalam perhelatan yang disebut sebagai Premier (penayangan
perdana) film karya sutradara Riri Riza dan Produser Mira Lesmana, setelah
sebelumnya untuk pertama kalinya di tayangkan dalam 25th Tokyo
International Film Festival, pada 20-28 Oktober 2012 lalu.
Perhelatan kali ini terasa berbeda dibandingkan dengan
kebanyakan acara premier film-film lainnya, yang membedakan adalah sebagian
besar tamu undangan yang hadir adalah masyarakat film, yang ikut memberikan
kontribusi berupa sumbangan dana produksi dan pasca produksi film yang dikelola
oleh wujudkan.com yang mencapai angka 300 juta rupiah, selain dari media dan
publik figur.
Atambua 390 Celsius, merupakan film ke sembilan karya
Riri Riza yang kali ini merangkap sebagai penulis skenario. Atambua 390 Celsius mengambil
objek kehidupan masyarakat Atambua, sebuah kota perbatasan Indonesia dengan
Timor Leste, 13 tahun setelah penandatanganan referendum pisahnya Timor Timur
(Timor Leste) dari pangkuan Ibu Pertiwi.
Atambua 390 Celsius menyuguhkan nuansa berbeda dari
film-film indonesia lainnya, yaitu penggunaan bahasa Tetum dan Porto yang
merupakan bahasa asli masyarakat Timor. Selain itu, aktor yang memerankan
tokoh-tokoh dari film ini pun masyarakat asli Timor, Gudino Soares, Petrus
Beyleto, Putri Moruk.
“Cinta” menjadi tema dari film berdurasi 80 menit ini. Namun,
Cinta yang bukan hanya cinta sebatas pada pasangan kekasih, melainkan disajikan
lebih kompleks, keluarga dan Tanah Air.
Lampu dipadamkan, penonton terdiam, aba-aba mundur 3-2-1
terdengar dari kabin kontrol dibarisan paling belakang. Pita seluliot berputar.
Pemandangan sore dilaut, langit berwarna oranye, kelelawar satu persatu hingga
ribuan berterbangan menghiasi senja, pulau-pulau kecil terlihat mulai
menghitam, penanda malam. Penanda film tengah mulai.
Kerusuhan di Timor-Timor hingga jajak pendapat yang berakhir
pada penandatanganan referendum lepasnya Timor dari Indonesia tahun 1999,
menyisakan kondisi yang cukup memprihatinkan, perpisahan keluarga, Ibu
kehilangan Anak, Anak kehilangan keluarga, adalah potret yang ingin diangkat
dari film produksi Miles Film kali ini. Hal itu yang dirasakan Joao (Gudino
Soares) yang harus berpisah dengan Ibu dan 2 sodara perempuannya yang lebih
memilih hidup di Timor Leste, sejak usia tujuh tahun. Ia kemudian tinggal
bersama sang Ayah, Ronaldo (Petrus Beyleto) bekerja sebagai buruh supir, yang
setiap pulang selalu mabuk dan Muntah. Sedangkan Joao hanya sebagai buruh ojek
menggunakan motor sahabatnya.
Sebagai pengobat kerinduannya akan Ibunya, Joao hanya selalu
mendengarkan suara rekaman Ibunya yang selalu mengajak Joao untuk pergi ke
Timor Leste dan meminggalkan Ayahnya tetap di Indonesia. Hingga muncullah Nikia
(Putri Moruk), seorang gadis yang pernah meninggalkan kamp pengungsian dan
tinggal di kesusteran di Kupang. Kembalinya Nikia ke Atambua, adalah untuk
melihat dan mengurus makam kakeknya yang telah meninggal.
Cinta dan konflik muncul pada Nikia dan Joao, begitu pula
dengan Ronaldo, yang masing-masing memiliki kisah pahit. Nikia dengan masa
lalunya yang pernah diperkosa, dan Ronaldo dengan ketetapan mencintai Indonesia
sebagai tanah airnya.
“Happy Ending Story” menjadi klimaks dari film garapan
Riri Riza ini. Nikia menetap di Kupang, Joao dan Ronaldo pergi ke Timor Leste
bertemu keluarganya. Sebuah inti menarik diungkapkan Ronaldo diakhir cerita,
“bahwa asal usul tetaplah timor, walaupun telah menjadi negera lain, ini adalah
tetap tanah Timor, dan tetap menjadi orang Timor”. Kurang lebih demikian.
Sebuah catatan kecil, pengambilan gambar wide, dengan
nuansa sore, pagi, siang, malam, disajikan indah dalam film ini. Saat cahaya
menyusup diatara dedaunan dan kabut, gemericik air, cakrawala yang kuning
keemasan, semarak siang-malam jalanan, pasar, raungan anjing, adalah nilai
lebih dari film Atambua 390 Celsius. Alunan tata musik
tradisional sebagai pemakna adegan yang belum pernah digunakan dalam film
Indonesia lainnya menjadi nilai tambah dari film yang akan ditayangkan serentak
di 20 bioskop di Indonesia, yaitu Jakarta, Jogjakarta, Bandung, Solo, Surabaya,
dan Makassar pada 8 November 2012 ini wajib untuk ditonton.
Dalam acara malam ini, digelar pula pameran foto hasil
jepretan designer yang tengah mendalami dunia fotografi, Edward Hutabarat. The
Documents: Atambua 390 Celsius menjadi judul utama dalam pamerannya kali ini. Foto-foto yang
dipamerkan merupakan potret kehidupan masyarakat asli Atambua serta beberapa
kegiatan kru Miles Film selama proses produksi di Atambua. Pameran ini
rencananya akan diteruskan di Anomali Cafe, Kemang – Jakarta Selatan.
No comments:
Post a Comment