11/06/2012

Premier Atambua 36'C : Cerita Dari Perbatasan


Malam mulai menggelayuti senja awal minggu, usai hujan membanjiri hampir seluruh kawasan Jakarta. Suasana meriah Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (PPHUI) mengudara beriring nyanyian klakson sepanjang jalan Rasuna Said malam ini (5/11). Perhelatan sederhana siap digelar, tamu undangan berdatangan, disambut penerima tamu dengan kostum serba hitam ditambah kain tenun asli Timor menghias leher. Pin bertuliskan judul perhelatan dibagikan sebagai tanda masuk dalam perhelatan yang disebut sebagai Premier (penayangan perdana) film karya sutradara Riri Riza dan Produser Mira Lesmana, setelah sebelumnya untuk pertama kalinya di tayangkan dalam 25th Tokyo International Film Festival, pada 20-28 Oktober 2012 lalu.

Perhelatan kali ini terasa berbeda dibandingkan dengan kebanyakan acara premier film-film lainnya, yang membedakan adalah sebagian besar tamu undangan yang hadir adalah masyarakat film, yang ikut memberikan kontribusi berupa sumbangan dana produksi dan pasca produksi film yang dikelola oleh wujudkan.com yang mencapai angka 300 juta rupiah, selain dari media dan publik figur.

Atambua 390 Celsius, merupakan film ke sembilan karya Riri Riza yang kali ini merangkap sebagai penulis skenario. Atambua 390 Celsius mengambil objek kehidupan masyarakat Atambua, sebuah kota perbatasan Indonesia dengan Timor Leste, 13 tahun setelah penandatanganan referendum pisahnya Timor Timur (Timor Leste) dari pangkuan Ibu Pertiwi.

Atambua 390 Celsius menyuguhkan nuansa berbeda dari film-film indonesia lainnya, yaitu penggunaan bahasa Tetum dan Porto yang merupakan bahasa asli masyarakat Timor. Selain itu, aktor yang memerankan tokoh-tokoh dari film ini pun masyarakat asli Timor, Gudino Soares, Petrus Beyleto, Putri Moruk.

“Cinta” menjadi tema dari film berdurasi 80 menit ini. Namun, Cinta yang bukan hanya cinta sebatas pada pasangan kekasih, melainkan disajikan lebih kompleks, keluarga dan Tanah Air.

Lampu dipadamkan, penonton terdiam, aba-aba mundur 3-2-1 terdengar dari kabin kontrol dibarisan paling belakang. Pita seluliot berputar. Pemandangan sore dilaut, langit berwarna oranye, kelelawar satu persatu hingga ribuan berterbangan menghiasi senja, pulau-pulau kecil terlihat mulai menghitam, penanda malam. Penanda film tengah mulai.

Kerusuhan di Timor-Timor hingga jajak pendapat yang berakhir pada penandatanganan referendum lepasnya Timor dari Indonesia tahun 1999, menyisakan kondisi yang cukup memprihatinkan,  perpisahan keluarga, Ibu kehilangan Anak, Anak kehilangan keluarga, adalah potret yang ingin diangkat dari film produksi Miles Film kali ini. Hal itu yang dirasakan Joao (Gudino Soares) yang harus berpisah dengan Ibu dan 2 sodara perempuannya yang lebih memilih hidup di Timor Leste, sejak usia tujuh tahun. Ia kemudian tinggal bersama sang Ayah, Ronaldo (Petrus Beyleto) bekerja sebagai buruh supir, yang setiap pulang selalu mabuk dan Muntah. Sedangkan Joao hanya sebagai buruh ojek menggunakan motor sahabatnya.

Sebagai pengobat kerinduannya akan Ibunya, Joao hanya selalu mendengarkan suara rekaman Ibunya yang selalu mengajak Joao untuk pergi ke Timor Leste dan meminggalkan Ayahnya tetap di Indonesia. Hingga muncullah Nikia (Putri Moruk), seorang gadis yang pernah meninggalkan kamp pengungsian dan tinggal di kesusteran di Kupang. Kembalinya Nikia ke Atambua, adalah untuk melihat dan mengurus makam kakeknya yang telah meninggal.

Cinta dan konflik muncul pada Nikia dan Joao, begitu pula dengan Ronaldo, yang masing-masing memiliki kisah pahit. Nikia dengan masa lalunya yang pernah diperkosa, dan Ronaldo dengan ketetapan mencintai Indonesia sebagai tanah airnya.

“Happy Ending Story” menjadi klimaks dari film garapan Riri Riza ini. Nikia menetap di Kupang, Joao dan Ronaldo pergi ke Timor Leste bertemu keluarganya. Sebuah inti menarik diungkapkan Ronaldo diakhir cerita, “bahwa asal usul tetaplah timor, walaupun telah menjadi negera lain, ini adalah tetap tanah Timor, dan tetap menjadi orang Timor”. Kurang lebih demikian.

Sebuah catatan kecil, pengambilan gambar wide, dengan nuansa sore, pagi, siang, malam, disajikan indah dalam film ini. Saat cahaya menyusup diatara dedaunan dan kabut, gemericik air, cakrawala yang kuning keemasan, semarak siang-malam jalanan, pasar, raungan anjing, adalah nilai lebih dari film Atambua 390 Celsius. Alunan tata musik tradisional sebagai pemakna adegan yang belum pernah digunakan dalam film Indonesia lainnya menjadi nilai tambah dari film yang akan ditayangkan serentak di 20 bioskop di Indonesia, yaitu Jakarta, Jogjakarta, Bandung, Solo, Surabaya, dan Makassar pada 8 November 2012 ini wajib untuk ditonton.

Dalam acara malam ini, digelar pula pameran foto hasil jepretan designer yang tengah mendalami dunia fotografi, Edward Hutabarat. The Documents: Atambua 390 Celsius menjadi judul utama dalam pamerannya kali ini. Foto-foto yang dipamerkan merupakan potret kehidupan masyarakat asli Atambua serta beberapa kegiatan kru Miles Film selama proses produksi di Atambua. Pameran ini rencananya akan diteruskan di Anomali Cafe, Kemang – Jakarta Selatan.

No comments:

Post a Comment