11/29/2009

Fly Me To The Moon


Ini awal aku masuk kampus yang baru, suasana baru, teman baru, segalanya serba baru. Kampus ini menurutku sangat menyenangkan dengan arsitektur yang bergaya Eropa dan Jepang sangat menarik. Tinggal di asrama kampus dengan lebih dari 100 mahasiswa dan mahasiswi dengan beragam karakter, tapi semua merasa berbeda dengan ku, aku bukan sosok yang sama dengan mereka yang selalu tertawa bercanda, sedang aku selalu habis dengan buku dan buku juga race dan kelahi. Semua orang menilaiku orang yang cepat marah, dan sangat mengerikan saat marah, menyebalkan dan badung.

Ada Seorang gadis yang menarik perhatianku yang entah aku tidak tahu namanya, dia sosok yang pendiam dan pemalu tapi sangat menarik buatku. Aku selalu memperhatikannya setiap istirahat di kantin, selalu berdua dengan temannya yang jauh berbeda dengannya bahkan mungkin kebalikannya.

“ Merhatiin sapa sih serius banget?”
“ Gadis di ujung itu” tunjukku.
“ O… itu, emang kenapa lu suka? Mending Farah aja, dah cantik tajir lagi, dari pada dia selalu jadi omongan dan sering di kerjain anak-anak”
“ Lu nyindir gue” tanyaku menyelidiki.
“ Jangan salah sangka dulu gue ngga maksud gitu”
“ Sapa sih dia?” tanyaku lagi.
“ Namanya Ciara, dia ngga tinggal di asrama kampus ini, bisa dibilang dia anak kurang mampu dia disini karena beasiswa, dia anak tunggal dan papanya dah lama meninggal jadi dia Cuma tinggal sama nyokapnya” jelasnya.

“ Lu tahu banyak tentang dia, jangan-jangan….”
“ Semua anak kampus sini juga tahu, karenanya dia selalu jadi bahan olok-olokan di kampus ini” tambahnya.
“ Mau bantu gue ngga?”
“ Apa an?” balasnya.
“ Cariin segala informasi tentang dia” jelasku.
“ Lu gila ya semua kan udah gue ceritain apa lagi? Masih kurang….”
“ Pokoknya cariin ok?”
Aku pergi meninggalkan Philip kembali ke kelas, iseng aku lewat depannya saat makan, dan dia tetap diam hanya temannya yang senyum-senyum melihatku saat itu.

“ Ra’, lu liat cowok barusan ngga? Ganteng ya, katanya dia anak baru di kampus ini, baru pindah dari Broklin, pasti pintar deh bahasa inggrisnya”
“ Ra’ lu denger ngga sih?”
“ Iya gue denger, emang kenapa apa peduli, mau baru lama cowok kampus ini sama saja menyebalkan dan suka menyakiti yang tidak selevel” jawabnya cuek.
Selesai kelas aku ingin sekali jalan keluar kampus menikmati udara bebas kota besar diluar sana pasti menyenangkan. Tapi saat aku terlena dengan angan itu Philip datang terengah-engah.

“ Rio, gawat bener-bener gawat, cepet ikut gue” ajaknya
“ Apaan sih lu kenapa? Bingung kaya ada gempa aja” tanyaku bingung.
“ Ciara”

Aku tersentak mendengar nama itu.
“ Kenapa dia?” tanyaku bingung.
“ Dia dihajar kelompok Hitam di parkiran”
“ Apa?”
Tanpa mempedulikan reaksi Philip aku langsung lari ke tempat tersebut. Sungguh tidak dapat aku percaya dengan apa yang aku lihat.

“ Beraninya sama cewek, dasar banci” terik ciara menahan rasa sakit.
“ Bug..buG.. Bug…”
“ Salah apa gue sama kalian semua?”
“ Banyak omong anak miskin kaya lu ngga pantes ada di kampus elit ini…..” jawab salah satu dari mereka.
Aku melihat Ciara semakin tidak berdaya dengan baju yang kotor dan sobek, aku lari menghampiri dan ….

“ Hei…..” perkelahian pun tidak terelakkan lagi. Sekali- dua kali berkali-kali wajah ini terkena pukulan mereka, tapi tidak seperti yang mereka dapatkan.

Cukup lama kami berkelahi, mereka memilih mengalah dan berlari.
“ Hei!! awas sekali lagi mengganggu dia kalian akan tahu akibatnya” teriakku.
“ Hei lu ngga papa?” tanyaku sambil membantunya berdiri.
“ Kenapa lu bantu gue? Lagi pula kita ngga saling kenal, udah biasa lagi gue, malah sekarang lu yang babak-belur”
“ Udah ngga papa, lu Ciara kan? Anak sastra?”
“ Darimana lu tahu” tanyanya penasaran sambil menahan rasa sakit akibat dikeroyok.
“Udah ngga usah dibahas, sekarang lu pakai jaket gue, gue antar pulang”
“ Tapi….”
Aku melarikan motorku dengan sedikit senang karena dibelakangku ada gadis yang aku suka.
“ Makasih udah nganter dan nolong”
Aku hanya senyum. Tiba-tiba mama Ciara muncul dihadapan kami.
“ Ya ampun Ara? Kamu kenapa? Hei apa yang kamu lakukan terhadap anakku?”
“ Sa..sa..saya…” jawabku gugup.
“ Bu, dia yang telah nolong aku dari perbuatan anak-anak itu, malah dia yang juga minjemin jaketnya” jelasnya. Ibunya hanya bilang “ Oooo….”
“ Ya udah kalo gitu gue balik….”
Aku hanya melihatnya mengangguk tanpa ada reaksi yang lain. Jujur aku merasa sangat senang hari ini walau dengan keadaan yang penuh luka sekalipun.
Seminggu tanpa terasa cepat berlalu, tiada yang istimewa setelah kejadian itu. Aku hanya menyimpan semua dalam hati, walau kadang tersenyum sendiri mengingat semua kejadian waktu itu apalagi setelah itu aku sama sekali tidak bertemu dengannya. Hanya Philip yang selalu memperolok aku saat aku mengenang kejadian itu.
“ Ra, teman kamu itu baik ya, dah nolongin nganter pulang lagi, ibu yakin pasti dia anak baik ngga seperti temen cowok kamu yang lain”
“ Maksud ibu….. Rio?”
“ Kok senyum bu?”
“ Bu, Ara sama sekali ngga kenal siapa dia, tahu orangnya aja juga waktu itu aja. Mungkin aja waktu itu kebetulan aja, jadi ibu jangan berpikir macam-macam ya…..”. Ciara meninggalkan ibunya dengan senyum simpulnya yang sangat manis. Ibu hanya tersenyum. Tiba-tiba Ciara lari keluar kamarnya.
“ Ya ampun bu, ada yang Ara lupa….”, Ibu yang tahu kejadian itu semakin bingung melihat kekonyolan Putrinya itu.
“ Apanya yang lupa?”
“ Jaket… yah jaket milik Rio yang waktu itu, ibu tahu dimana?” tanyanya bingung.
“ Kenapa dengan jaketnya?”
“ Harus segera dikembalikan, kalau ngga…..kalau ngga…”
“ Kalau ngga kenapa?”
Ibu membiarkan Ciara sibuk dengan kebingungannya, melanjutkan menyiapkan makan malam mereka.
“ Ibu bantu dong, kalau ngga segera ditemukan dia pasti akan menghajarku”
“ Kenapa kok dihajar?” tanya Ibu bingung.
“ Udah lupakan, dimana bu?” rengeknya.
“ Ada di lemari kamu ibu gantung” jawab Ibu ringan.
Suasana kampus siang itu sedikit sepi, apalagi hampir semua mahasiswa dihadapkan pada ujian dadakan yang diadakan Dosen mereka. Dapat dibayangkan apa yang terjadi semua tampak lesu, dan boring. Begitu juga Aku sangat bosan.
“ Rio, ganggu ya”, tiba-tiba suara itu mengejutkan, begitu juga dengan apa yang ada dihadapanku sekarang ini.
“ Ah… ngga, ke..kenapa?”, aku sangat gugup waktu itu. Sungguh.
“ Maaf, aku hanya mau ngembaliin ini” disodorkannya sebuah bungkusan yang terbungkus sangat rapi.
“ Apa ini?” tanya ku penasaran.
“ Itu… jaket kamu yang waktu itu, sorry aku telat balikinnya”
“ Ah..ngga papa kok”
“ Thanks ya, aku harus segera balik ke kelas” aku menangkap sikap kurang nyaman dengannya dan kegalauannya terasa begitu dekat denganku. Saat itu juga Ciara meninggalkanku dan Philip.
Tanpa pikir panjang aku mengejarnya, mencari jawaban dari kecemasan yang ada pada dirinya saat itu walau mungkin akan sangat sulit. “ Ara!!!”
Ciara sama sekali mengabaikan panggilanku, dan menghentikan sejenak langkahnya hanya untuk mengatakan hal yang sangat menyakitkan.
“ Kembalilah kedalam jangan ikuti aku, kalau kamu ngajak aku kedalam pun aku ngga mau karena itu bukan tempat orang miskin seperti aku”
Tanpa menengok sedikitpun dia melanjutkan langkahnya yang semakin cepat. Apa boleh buat. Apa lagi yang harus aku lakukan. Aku hanya mengangkat kedua tanganku dan kembali ke dalam.
“ Ada aturan darimana hanya orang berada yang boleh makan dikantin ini? Mana ada. Sangat tidak realistis” gerutuku.
“ Itu sudah sejak kapan tahu lagi, apalagi sejak adanya kelompok hitam yang memecah jadi seperti ini, dulu sih katanya ngga seperti ini” jelas Philip.
Entah apa yang sedang aku pikir, saat ini aku hanya tertuju pada apa yang Ciara katakan waktu itu. Sangat tidak masuk akal. Apalagi dikampus elit seperti ini, kelompok Hitam siapa lagi? Apa ada hubungan dengan yang selalu menghajar Ciara?. Entahlah.
Seusai kelas, aku berusaha mengajak Ciara ngobrol di pojok taman kampus, saat aku menemuinya sangat sulit tapi setelah sedikit memohon diapun mau tapi, hanya 15 menit.
“ Ada apa?”
“ Gue Cuma mau tanya…..” pertanyaan ku terpotong dengan pertanyaan yang sama ingin aku tanyakan.
” Kenapa aku dibedakan, selalu diolok-olok, apalgi istirahat dikantin pun tidak boleh?….”
” Jawabannya Cuma satu KARENA AKU MISKIN DAN HANYA BEASISWA yang membawaku sampai disini. Puas?!” jelasnya.
“ Cukupkan” tambahnya.
Aku hanya diam sangat sulit menerima hal itu.
“ Tapi kenapa?” tanyaku datar.
“ Karena dorongan sekolah dan keluarga yang telah membuat aku memilih ini walau aku tahu akan seperti ini, semua pakai mobil mewah hanya aku yang naik bus, jadi siapa aku pantaskah berbangga diri?”
“ Apa kabar dengan pengetahuan yang tanpa membedakan kaya miskin?”
“ Di kampus ini hal itu tidak berlaku sama sekali, yang penting gaya dan pamer itu dah cukup, nilai tinggal bayar pengawas selesai. Lulus”
Itu memang kebenaran yang aku tangkap disana tapi, apa sampai begitu parahnya. Cukup lama kami berbincang, ada kekaguman yang mendalam pada diri Ciara, selain kekaguman yang selalu aku rasakan sejak saat itu.
“ Lu yakin, dengan keputusan lu ini? Jadi orang susah?” tanya Philip gusar.
“ Yang penting lu dukung gue ok?!”
“ Phil, kaya’nya gue jatuh cinta deh sama Ciara”
“ Karena itu lu mutusin hal ini, lu masih waraskan? Apa kata anak-anak, orang tua lu?”
“ Masa bodoh, buat apa mikirin hal yang ngga penting. Mikir orang lain lagi, ngga ada untungnya buat gue.”
Mungkin aku terlalu yakin dengan apa yang aku lakukan, meninggalkan Asrama dan mengontrak rumah petak, meninggalkan kehidupan yang selam ini ada padaku.
“ Hei…ketemu lagi kita ya..” sapaku saat tanpa sengaja aku bertemu dengan Ciara, dia sangat terkejut dengan adanya aku di bus itu.
“ Hai kok naik bus? Mana mobilnya?”
“ Enak juga ya naik bus? Ada Ac-nya. Angin Cendela…hahahah”
Sungguh manis saat dia tersenyum. Entah apa yang membawa kami kedalam obrolan yang sangat menarik dari soal kehidupan dan pacar. Ternyata Ciara sosok yang sangat bersahabat dan enak diajak ngobrol segala hal. Walau masih dengan sikap menunduknya.
“ Kenapa kamu mau tinggal ditempat kamu sekarang? Padahal apa enaknya?”
Pertanyaan itu terucap saat kami berjalan ditaman sesaat setelah melihat hasil ujian semester ini, aku akui dia pintar tidak salah kalau dapat beasiswa.
“ Kok ngga dijawab?” tanyanya lagi.
“ Eh…aku….”, “kok lama?”
“ Enak aja lagi, emang kenapa?”jawabku spontan.
“ Kalau dirumah atau di asrama kan ada pembantu jadi lebih enak tinggal bilang datang dan selesai”
“ Kalau bisa sendiri kenapa perlu pembantu?” tanyaku.
Untuk sekian kalinya kami tertawa dan melupakan semua hal yang menyesakkan. Dan Ciara memperlihatkan keenerjikannya diluar kebisuannya selama ini.
“ Yo’, kamu itu lucu ya kalau gini”
“ Maksudnya?”
“ Iya, biasanya Lu-gue, selalu pasang muka garang, cuek ngga mau kenal orang, sekarang….”
“ Itu kamu, biasanya jalan nunduk, pendiam, sok tegar padahal rapuh, sekarang…”
“ Jadi berubah semua bocor abis” kami mengatakannya bersamaan.

**
“ Ra’. Gila kali lu ya, malam minggu ini jalan sama Rio? Gue ngga mimpikan denger berita ini?” tanya Windy girang.
“ Kamu itu ngomong apa? Ngga ada yang istimewa? Dimana-mana malam minggu sama saja”
“ Tapikan, dua bulan ini lu deket banget sama dia, lu sering ke rumahnya begitu juga dia, masa lu ngga ngerasa apa-apa sih?”
“ Udah deh cukup berfantasinya. Aku kesana juga Cuma karena lewat dan searah karena rumahnya hanya beberapa Blok dari sini. Windy sayang Aku dah bilang ngga akan ada apa-apa”.
“ Lagian ini bukan yang pertama kalinya jalan malam minggu sama dia so, ngga akan ada peristiwa yang istimewa atau bahkan spektakuler, ok?” tambah Ara.
“ Apa kabar dengan masalah perasaan?”
Ciara sempat terdiam sejenak membuat seisi kamar hening.
“ Aku ngga ada feelling apapun, he jus friends no more”
“but if you have felling with him and you hide from the truth? What will you do?”
“ Win, please…..”
“ Inget ra’ , if you love him lets tell, before to late”
Apa yang dikatakan Windy sangat beralasan apalagi menyangkut perasaan tapi gengsilah bila Ciara harus mengatakan terlebih dahulu. Dia hanya bisa berharap dan berdoa.
Entah apa yang akan terjadi bila saat ini aku mengatakan yang sebenarnya bahwa aku menyukainya sejak saat pertama melihatnya. Semua persiapan sudah selesai, Philip yang mengerjakan semuanya. Memasak, dekorasi merubah loteng rumahnya menjadi suasana yang teramat romantis dan macam lainnya termasuk jemput Ciara.
Jam menunjuk angka 7 malam dengan cuaca yang sangat indah di tambah dengan sinar bulan yang menyinari seisi bumi.
Fly me to the moon dear, do together with our love


Untukmu Kawan


*Kian Savero Adityansyah**

Langit jakarta malam ini sama dengan hari-hari yang lalu, gelap tak berbintang, hanya dihiasi sinar jutaan watt lampu dijalan yang aku tangkap tiap harinya yang berusaha menembus kegelapan langit selama aku menginjakkan kakiku di kota yang penuh dengan kebisingan ini. Dan ternyata semuanya hanya sia-sia langit tetap sama seperti yang kemarin bahkan hari ini. Bising, membosankan, panas, segala yang menbingungan ada di ibu kota ini.

Kalimat itu yang menghiasi catatan cerita pada dokumen word yang jadi tempat curhatku tiap harinya. Tidak tahu kenapa belakangan perasaaan gundah dan cemas selalu mengangguku apalagi sejak mimpi-mimpi yang selalu hadir dalam tidurku setiap malam. Mimpi tentang bertemu kembalinya aku dengan Yoppy seorang sahabat masa kecilku yang telah meninggal 2 tahun lalu akibat Over dosis dan HIV/AIDS yang menggrogotinya hingga dia mengakhiri hidupnya dengan mengkonsumsi Inex (bahasa gaul dari Narkotika, red-) secara berlebih. Entah apa maksud dari mimpi yang selalu menghantui itu, hanya beberapa teman mengatakan bahwa Yoppy butuh bantuan doa dariku. Tapi bukannya itu selalu aku panjatkan dalam setiap doaku. Entahlah aku bingung….

Kuhempaskan saja tubuh ini di lantai kamar mencari jawaban dari semua teka-teki itu.
Yoppy adalah seorang sahabatku sejak kami sama-sama sekolah di Jogja dari mulai SD sampai dengan kelas 2 SMU kami bersama hingga banyak yang mengatakan kalau kami ini seolah seperti kakak-adik. Walau sebenarnya kami bertolak belakang. Yoppy harus pindah ke Jakarta karena ayahnya yang bekerja di Deperindag harus dipindahtugaskan disana. Pada saat itu juga kami pisah, bukan hanya aku yang merasa sedih tapi juga teman segeng kami, Jo, Aldi, dan Sony….

Kami hanya bisa mengetahui kabarnya lewat surat pendek dan hubungan telpon singkat.
“ hei kalian pakabar, kangen nih pengen ngumpul lagi dan berenang bareng di sungai desa seberang. Aku baek aja kok hanya belakangan ibu sering sakit-sakitan dan ayah jarang pulang. Ok jaga diri kalian ya…..”
Mungkin itu lah salah satu ini surat pertama dan terakhir darinya. Sejak hari itu surat yang kami tunggu ngga pernah datang lagi. Hanya secarik alamat yang tertinggal, sedang no telpon yang ditinggalkan selalu tidak dapat dihubungi.

“ al, gimana ni dah setahun Yoppy ngga ada kabar sama sekali, mba Selly juga ngga tahu kabarnya padahalkan dia kan kakaknya” bukaku.,Aldi dan yang lain hanya diam. Sedang Sony hanya mondar-mandir, tiba-tiba dia nyeletuk.
“ kita susulin aja dia ke jakarta, lagipula kan Dinda ada keluarga disana, gimana?”
“kalau perlu pindah kesana aja, tahun ini kan kita lulus” tambahnya.
“lu ini gila apa sinting sih, jakarta itu bukan kaya di jogja” jawab Aldi seolah tahu segalanya.
Aku dan Jo terbengong dengan percakapan mereka. Tapi benar juga pikirku, kenapa aku tidak berpikir sampai disitu. Bukannya di sana ada Om Harry kakak mama dan istrinya Tante Marni. Aku hanya senyum-senyum dengan pikiranku itu. Sementara yang lain masih bersitegang dengan pikiran mereka.
“aku akan ke jakarta!” kataku tiba-tiba mantap.
Sementara Aldi Cs terbengong kaget dengan keputusanku yang mendadak.
“ka..kamu serius?” tanya Jo memastikan.
“ya aku akan ke sana!!” aku semakun mantap dengan keputusan itu.
Kutemukan sebuah amplop putih tanpa alamat dan pengirim berada dalam kotak suratku. Terburu aku buka surat itu. Ternyata dari Yoppy.
“ Din, pakabar… sory lama ngga kasih kabar. Aku baik kok, gimana kabar anak-anak yang lain?. Oh ya ibu sudah 2 bulan ini meninggal dunia akibat serangan kanker rahim. Sekarang ayah punya istri baru Wulan namanya. Sejak saat itu aku tinggal sendiri. Jaga diri kalian ya……”.
Aku sama sekali tidak mengerti maksud dari surat Yoppy kali ini tanpa alamat tanpa pengirim begitu juga yang lain.
**
UAN telah selesai dilaksanakan, kami sudah sepakat setelah kelulusan segera ke Jakarta melanjutkan kuliah disana sekalian mencari Yoppy sobat kecil kami yang entah dimana keberadaannya. Apalagi masing-masing dari kami telah dapat ijin dari keluarga, hal ini semakin memantapkan langkah kami.
Usai wisuda kelulusan kami segera bergegas berpamitan dengan teman, keluarga dan kerabat untuk segera ke Jakarta.


“ JAKARTA kami datang……” teriak kami girang.
Kereta Taksaka yang membawa kami mulai berjalan malam itu, semakin cepat, dan cepat. Memang cukup jauh jarak yang harus kami tempuh ya…. 8 jam lamanya kami harus didalam kereta. Cukup membosankan berada di dalam kotak panjang yang berjalan diatas rel baja sebagai lintasan pacunya, ditambah suara gemuruh dan goyang saat kereta berjalan. Sangat membosankan. Waktu menunjuk tengah malam tapi masih saja mata ini sulit terpejam, pikiran ku masih melayang hingga tiba-tiba terbesit dalam pikirku sosok gadis lugu yang sudah terlalu lama terlupa, Seruni, gadis kecil yang aku kenal sewaktu aku liburan ke jakarta 5 tahun lalu di belakang komplek perumahan Om Harry. Mungkin sekarang sudah sama aku lulus SMU dan siap ke jenjang kuliah. Kutepisnya bayangan itu tiba-tiba sambil ku lempar pandangan ke luar….
**
“perhatian para penumpang sekalian kereta dalam 5 menit kedepan segera memasuki pemberhentian terakhir Stasiun Gambir, harap penumpang mempersiapkan barang bawaan dan periksa barang anda jangan sanpai ada yang tertinggal, terima kasih telah menggunakan kereta ini”.
Suara salah seorang pramugara kereta mendadak membangunkan kami, tanpa sadar kereta sudah memasuki Jakarta.

“ Jo.. bangun dah nyampai..” bentakku.
“Al, periksa barang bawaan kita ya.. aku telpon tante Marni diluar” perintahku. Sementara aku keluar, jo yang terkaget masih bingung sedang Aldy dan Sony sibuk dengan barang bawaan mereka.
“bantuin dong Jo…berat nih jangan ling-lung gitu dong” kata Aldy sewot.
“iya…ini juga baru mau bantu” jawab Jo tidak kalah sewot.
‘udah ngga usah berantem cepetan udah ditunggu Dinda di luar” sergah Sony sambil menunjuk Dinda yang telah berada diluar asyik dengan percakapan dengan tante dan om nya mengenai kedatangannya ke jakarta.
“oh… gini toh jakarta panas banget…” seru Jo yang emang kejawen banget.
“udah ngga usah Ndeso gitu, memang di Jogja ngga panas apa?” timpal Aldy.
“ yee cuma bilang gitu aja sewot” gerutu Jo.
“udah yuk cari taksi” ajakku mengakhiri petengkaran mereka.
Sebuah taksi membawa kami membelah jakarta pagi itu yang masih sepi kendaraan dan orang lalu lalang menuju salah satu perumahan di daerah Kelapa Gading. Membutuhkan sejam untuk sampai di daerah itu disana keluarga Om Harry sudah menunggu dengan penuh bahagia menyambut kami.

”ini dia tamu kita dah dateng…calon anak-kost” sapanya ramah sambil memelukku dan menyalami yang lain. “ ayo masuk” ajaknya.
Selama disana kami disambut sangat ramah, Om Harry banyak bercerita keadaan selama tinggal disini dari kejadian Trisakti, kerusuhan sampai keadaan yang sekarang ini Krisis ekonomi. “Sungguh mengasyikkan pikirku tinggal di Jakarta selain kami ingin melanjutkan ke jenjang Universitas tujuan kami yang lain adalah mencari kawan kami yang hilang, Yoppy Pratama”. Kalimat itu tiba-tiba membisukan seluruh ruangan paman yang sedari tadi sibuk bercerita terkaget dengan ucapanku begitu juga Tante Marni dan Cantik putrinya.
“ kenapa, ada yang salah ya? Kok pada bingung begini?” tanya ku kebingungan melihat reaksi semua yang ada di ruangan itu.
“ah… ngga ada apa-apa, paman cuma kaget aja tiba-tiba kamu mengatakan hal itu, ya kan bu?” katanya kemudian diikuti anggukan Tante Leny, mengiyakan.
Kami pun lalu tertawa setelah melihat kejadian yang membekukan itu. Tapi satu hal ada yang mengganjal rasanya ada yang paman sembunyikan dari kami. Tapi sudahlah aku tidak mau lagi menambah pikiran ku dengan apa yang paman ucapkan dan tafsiran bodohku. Lebih baik aku kembali kekamar dan merebahkan badan dan mengendorkanototku yang masih tegang sejak dikereta.
“ paman kayanya Dinda merasa ada yang paman sembunyikan dari pembicaraan terakhir mengenai Yoppy….?”

“ ah.. kamu ngga pernah berubah selalu dengan penafsiran, oh ya bagaimana kabar orang tua mu?” seolah paman menghindari dari pertanyaan itu.
“ sudahlah paman jangan suka mengalihkan pembicaraan, tinggal jawab aja apa susahnya sih? Dari pada bohong begitu.”

Sesaat ruang depan jadi sepi malam ini,
“ngga ada apa-apa kok” elaknya lagi.
“sudahlah paman biar Dinda dan teman-teman yang cari jawabnya sendiri”. Akupun meninggalkan paman yang masih terpaku. Sedang kau merasa ada tantangan untuk mengetahui jawaban teka-teki itu.

**
Hari ketiga di jakarta tidak banyak yang dapat kami lakukan selain selalu jalan sekitar komplek dan senda gurau serta menunggu tes UMPTN disalah satu universitas di Jakarta.
“ om kemarin nyariin Kak Yoppy ya?” tiba-tiba Cantik menanyakan pertanyaan yang aku utarakan ke paman beberapa hari lalu.
“ iya emang kenapa? Dia itu kawan om waktu kecil, anaknya baik banget….” kalimatku terpotong dengan jawaban tak terduga.
“…..suka ketawa dan suka ngasih permen sama Cantik”, Cantik tampak tersenyum bahagia ambil menerawang jauh kelangit yang mendung hari itu.
“ dia sering datang lagi Om, ke rumah Cantik. Beberapa kali juga sempat menginap. Om tahu ngga sih kalo kak Yoppy itu orangnya ganteng banget, trus suka main ke tempat kak Seruni nyeritain Om Dinda lho….dia selalu bangga setiap nyeritain Om” gadis cilik ini begitu lincah bertutur, sehingga aku terlena dibuatnya apalagi mengenai Seruni.
“ tapi…..” tiba-tiba gadis kecil itu tertunduk dan tidak melanjukan ceritanya.
“ tapi kenapa Cantik?” aku jadi penasaran dibuatnya. Sementara Cantik masih terdiam air mata gadis cilik itu menetes.
“ lho kok malah nangis? Ada apa boleh Om Dinda Tahu?”
“ tapi sejak mamanya meninggal kak Yoppy jarang kerumah, apalagi setiap kerumah selalu bertengkar sama mama-papa, dan selalu kakak dipukul hingga berdarah….cantik jadi sedih” ceritanya.
Aku tidak percaya gadis umur 7 tahun dapat membuka semua kebohongan paman selama ini dengan kepolosannya. Tangan ku mengepal dan bergetar dasyat tubuh ini mendengar semua ini.
“ oh ya om kata kakak kalo nanti om kesini Cantik disuruh kasih ini ke Om, katanya ini sangat berarti buat om” dikeluarkanya sebuah kalung liontin merah yang aku ingat itu adalah kenang-kengan waktu dibali dulu dibelakanya tertulis nama kami.
“ kakak juga bilang: atas nama persahabatan selalu selamanya bersama walau maut memisahkan” kami mengucapkan kalimat itu bersama. Kami pun terdiam.
“ Paman, besok Dinda dan kawan-kawan pindah di kost yang baru, jadi paman tidak perlu repot lagi ngurusin aku dengan kebohongan ini” ucapanku spontan membuyarkan keseriusan paman yang sibuk dengan lemburannya yang menumpuk.
“ maksud kamu apa, paman ngga ngerti. Sudahlah paman sibuk”
“mengenai Yoppy, Seruni, dan ibunya” emosiku semakin tidak terkendali, sedang paman masih dengan kesibukannya.
“ pemukulan dan sandiwara kebaikan paman sebelum mama Yoppy meninggal, tepi setelah itu paman membuang Yoppy memukulnya dan…..” suaraku meninggi sehingga membangunkan seluruh isi rumah menuju keruang kerja tempat kami bertengkar.
“ cukup!!!” paman menghentikan kata-kataku yang semakin tidak karuan.
“ kamu tahu apa tentang dia? Teman, sahabat, kalung?? Dia Anakku!” kalimat terakhir membuat ku terasa mati langkah, antara pecaya tidak percaya.
“ kamu tahu dia anakku yang kutitipkan ke mbak Ross yang sekarang dia akui sebagai ibu dan mengganggapku sampah padahal aku yang biayai semua hidupnya”
“sejak dia dijakarta dia berubah menjadi orang lain penuh bau alkohol,wanita dan narkotik. Selalu minta uang. Hingga saat terahir mbak Ross meninggal dia tidak pernah berubah!” paman semakin gila dengan cerita dan emosinya yang tidak mampu dibendung lagi.
“ cukup papa, jangan diteruskan….” cegah tante Leny. Tapi paman tidak menggubris larangan.
“hingga akhirnya aku mengusirnya dan….” kalimat itu terhenti.
“ dan membuangnya menbiarkan dia kedinginan dan merasa terbuang?” tambahku.
Keadaan malam itu adalah penuh dengan emosi dan panas. Sedang yang lain mendengar dan tidak mampu berbuat apa untuk menghentikan pertikaian kami.
“ kamu salah anak muda…. dia tetap disini dengan keadaan yang sama hingga minggu lalu…..”
“ kakak meninggal over dosis dan positif HIV AIDs” cantik menambah kalimat yang terputus itu lalu menghambur lari kekamarnya. Semua beralih menatap gadis kecil itu.
Spontan kami semua terkejut tidak terkecuali paman dengan pernyataan sikap Cantik yang mengatakannya secara gamblang tidak ditutupi malah terkesan polos.
Mendengar pernyataan itu paman tersungkur simpuh tidak berdaya, dan aku mengejar Cantik dikamarnya diikuti tante Leny, sedang yang lain masih tidak percaya dengan tragedi yang menimpa sahabat semasa kecil mereka.
“Cantik maafkan om ya…” ucapku lirih.
“om ngga salah kok, memang seharusnya ini diceritakan bukan disembunyikan, kakak pernah bilang kalau terus bohong lama ketahuan juga iya kan om?” tangan kecil itu menarikku dan memelukku erat dan membisikkan kalimat “kakak tenang sekarang melihat sahabat kakak tidak pernah berubah”, aku mengernyitkan dahiku dan melepas pelukan itu memandang lekat Cantik menunggu kalimat selanjutnya.
” itu pesan terakhirnya” rasanya itu menjadi kalimat terakhir cantik malam itu apalagi saat aku tanya surat terakhir yang aku terima cantik hanya diam dan tante yang menjawab bahwa dialah yang menulis surat itu tanpa maksud apapun.
Sejak kejadian semalam kami masih terdiam kaku seolah badai salju baru saja menghantam dan membekukan suasana di antara kami. Suasana kembali mencair setelah ada ajakan dari Aldi untuk berziarah ke makam Yoppy. Walau pun sebelumnya paman menolak ajakan itu setelah mengingat kata Cantik “ saatnya untuk meminta maaf mama-papa” mereka pun mengiyakan rencana itu,dan kami akan pergi esok pagi.
**
Matahari masih malas menampakkan sinarnya gara-gara hujan semalam, sementara aku masih tertidur bersama Cantik disampingku yang sudah terbangun duluan. Yang lain juga demikian.
Alarm beker dikamar menunjukkan jam 7 pagi saat aku bangun, kulihat dengan samar Cantik sudah rapi dengan baju untuk ziarahnya disusul yang lain.
“kerbo bangun dah siang jam berapa mau perginya?” suara Aldi membuka mataku lebar-lebar.
“ iya ini juga udah jalan” kataku malas.
Setelah beberapa lama kami semua sudah siap tanpa kecuali paman Harry. Kami pun segera menuju pemakaman yang ditempuh selama 30 menit dari rumah. Selama perjalanan aku terpaku padaingatan masa lalu ku juga sebuah sajak yang aku tulis bersama Yoppy semasa SD.
Persahabatan yang indah tanpa tikai,
Bersama duka lara
Saling mengangkat saat jatuh
Berpeluk saat bahagia
Untukmu sahabat sejati
Bersama selamanya
Tanpa terasa kami sudah sampai di lokasi pemakaman yang tertata rapi. Sesaat semua membisu setelah berhadapan pada sebuah nisan yng masih basah dengan air hujan semalam tertulis “YOPPY PRATAMA , LAHIR 15 NOVEMBER 1984, WAFAT 16 NOVEMBER 2001”. Tiada yang dapat kami panjatkan selain doa dan doa keselamatannya.
“ sobat maafkan aku segala salah ku kini semua telah lengkap perjalananmu walau hanya sesaat tapi aku tahu itu bahagia untukmu, aku janji persahabatan kita tidak akan hanya sampai di sini semua cita-cita itu akan terwujud. Semoga damai selalu menyertai mu. Amin”.
**
Sebulan sudah kami berada di Jakarta selama itupula semua kenangan itu terukir. Tapi ternyata waktu berkehendak lain. Setelah teman-teman tahu keadaan ini mereka memutuskan kembali ke Jogja apalagi setelah mereka dinyatakan tidak lulus tes. Apa yang dapat aku perbuat sungguh tidak bisa aku melarang mereka, tapi satu hal yang melegakan kami akan tetap bersama walau jarak memisahkan dalam ikatan PERSAHABATAN.
Sedangkan aku tetep dikota yang penuh polusi ini melanjutkan belajar serta mewujudkan semua mimpiku dan harapan Yoppy menjadi model dan seorang bintang masa depan.
“untukmu sahabat ku persembahkan kesuksesan ini” ucapku dalam hati.
Sejak hari itu kami hanya mampu berkomunikasi lewat telepon dan e-mail karena salah satu suantara kami, Sony melanjutkan sekolah di Melbourn University.
Kini aku tahu apa maksud mimpi itu, aku harus tetap berjuang untuk mewujudkan semua ambisi, angan dan impian kami bahwa aku tidak boleh berhenti sampai disini.
“aku akan terus berjuang teman tetaplah dibelakangku mendampingi dan menuntunku. Satu untuk semua semua untuk satu. Bersama selamanya”

Indahnya persahabatan jikalau kita bersama
Saling mengangkat dan mensejajarkan
Tertawa membawa damai
Walau pertikaian selalu ada, suka cita kita bawa
Semua selesai dengan sendiri
Bila kau sakit dan jatuh
Kami kan mengangkat
Jika kau diatas kau kan menunduk
Ingat kami kawan, ingat janji kita
Bersama selamanya
Dalam seru cinta suka cita “ persahabatan”
Dan persahabatan itu selalu indah….

oo0oo
untuk yang telah mendahului kami Ivan Ardi Pratama, kau selalu untuk dikenang.Kawan.

8/17/2009

Menyimak Bahagia dan Kebahagiaan


Mencoba mengartikan antara bahagia dan kebahagiaan
Langit malam Jakarta temaram tanpa bulan dan gemerlap bintang. Udara panas nan lembab berbaur dengan dingin malam. Disebuah hotel di kawasan Gatot Subroto dengan iringan nada-nada indah nan syahdu dari denting-denting piano membawaku pada sebuah pemikiran yang menurutku aneh. Mempertanyakan dua hal yang mirip tapi tidak sama. Ingin rasanya mengerti dan memaknai dua kata itu, karena bagiku hal itu tidaklah sama dan serupa. Kata dasar dan kata berimbuhan ke-an. Aku teringat pada masa-masa kanak-kanak dimana banyak hal ingin dimengeti dan selalu dipertanyakan. Semisal mengapa mama bahagia? Apa itu bahagia? Bagaimana mama bisa bahagia?. Sungguh pertanyaan polos yang susah untuk dapat dijelaskan.
Bahagia,
Apa arti kata itu, senang. mungkin. Orang merasa bahagia saat menyatakan, memperoleh, menemukan sesuatu. Tapi, bagaimana dan asal bahagia itu? Indera manakah yang bisa menyatakan rasa bahagia itu?. Bingung dan membingungkan saat harus menerangkan arti bahagia. Aku merasakan bahagia dengan apa yang ada, namun mengapa rasa itu tumbuh. Sungguh sulit dimengerti mengapa rasa itu tumbuh?. Luapan kegembiraankah? Atau hanya perasaan sekilas yang lambat laun akan hilang dan pupus hingga sebuah stimulus memunculkan kembali rasa itu. Rasa? Rasa muncul karena adanya hal menyentuh dalam salah satu atau lebih indera manusia. Apakah rasa bisa menjadikan salah satu acuan menyatakan bahagia atau rasa hanyalah sebuah ekspresi?. Pernahkah seorang filsuf-filsuf seperti aristoteles, Socrates, plato berpikir dan mampu memecahkan sebuah bingkai tabir bahagia?. Tidak, belum tentu. Susah. Pasti.
Malam semakin larut, Akupun masih larut dalam kedangkalan pikiranku terhadap keinginan untuk mengetahui apa yang para filsuf selalu ingin ketahui, walau Aku bukan seorang filsuf. Hanya anak seperempat abad yang berusaha mencari makna-makna kata yang tak terdefinisikan bersama waktu menungguku. Aku mulai menanyakan dua kata itu kepada ayahku, entahlah beliau yang biasanya adalah kamus, library, bagiku yang mengerti dan mengetahui apa yang aku Tanya juga bingung dalam mendeskripsikannya.
Kebahagiaan,
Kebahagiaan kata berimbuhan ke-an terbentuk dari kata dasar “bahagia”. Aku dan banyak orang pasti mengatakan itu adalah ekspersi yang tercermin saat kita merasa bahagia. Orang yang melihat dan menyimpulkan apakah kebahagiaan muncul dan Nampak dari aneka ragam wajah. Seperti banyak kalimat terucap dari orangtua, kebahagiaan orang tua adalah saat melihat anak-anaknya sukses. Ekspersi? ya. Mungkinkah kebahagiaan itu dapat disembunyikan? Bisa. Apakah kebahagiaan itu tulus? Belum tentu. Mungkin hanya ingin memperlihatkan image atau kesan untuk orang lain.
Malam semakin sunyi, deru kendaraan di Gatot Subroto semakin lirih terdengar. Satu per satu kendaraan melintas kembali ke gubuk pemberhentian terakhir. Dan aku masih memikirkan hal sepele untuk mencari makna dua kata itu. Mengapa begitu penting dua kata itu dalam kehidupan manusia? Mungkinkah dua kata itu akan didapatkan utuh setiap orang? Seberapa jauhkah hal itu akan bertahan?. Mungkin hanya kita yang tahu…
KSA – Jakarta, 17 Agustus 2009

2/15/2009

Yang Tak Ter...


** Kian Savero Adityansyah**
“ Angga…..tunggu sebentar, ada yang mau mama dan papa omongin sama kamu”
“Apaan ma? Penting banget ya?sampai perlu berpendapat Angga segala?”
Sesaat ruang tamu sepi, serasa ada yang tersembunyi dari permintaan itu, karena ini kali pertama papa dan mama ngajak ngobrol yang bisa dibilang penting, tapi, apa Angga sama sekali tidak tahu.
“ini mengenai apa ma?” tanya Angga penasaran.
“Ini tentang kamu” jawab Papa lugas.
Mendengar hal itu Angga semakin bingung dibuatnya apalagi ini mengenai dirinya yang sama sekali tidak tahu masalah yang telah terjadi.
“Angga?”
“kalo mengenai nilai kuliah semester ini yang turun memang itu kesalahan Angga tapi kan Angga sudah janji memperbaikinya semester ini”
“bukan masalah nilai kuliah kamu tapi mengenai pertunangan kamu” jelas papa.
“tunangan?”
Angga tidak menyangka dengan apa yang baru saja didengarnya, secepatnya dia berusaha mengalihkan pembicaraan itu.
“ma, Angga kamar dulu nanti Angga mau antar Adam ke toko buku ada yang mau dibeli katanya untuk tugas besok” kilahnya.
“ Jangan suka alihkan pembicaraan Angga. Kamu akan papa ketemukan dengan Pak Syamsul dengan putrinya. Calon kamu. Makan malam disini”
“tapi pa….besok Angga ada…”
“pokoknya Ngga ada tapi-tapian. Titik”
Dengan perasaan bingung dan emosi Angga meninggalkan mama-papanya ke kamar. Angga sungguh tidak menyangka dengan keputusan yang telah dibuat papanya itu dan dengan tujuan apa? Lagipula umurnya baru 21 tahun masih panjang jalan yang harus ditempuh belum tepat sungguh dengan pertunangan dan pernikahan. Dikamar Angga hanya menghela nafas panjang dan seakan apa yang baru didengarnya hanyalah mimpi. Semoga.
“ kak nanti jadi kan antar Adam ke toko buku?” tanyaku saat masuk kamar Angga.
Melihat kakak diam aku jadi bertanya-tanya apa yang barusan terjadi/ setahuku saat pulang tadi kakak baik-baik saja, atau jangan jangan ada yang salah kata jadinya gini.
“Kak…. kakak ngga papa kan?” tanyaku lagi.
“Aku Cuma mimpi. Ngga akan tunangan” jawabnya gelagapan setelah aku mendorong tubuhnya yang roboh seketika.
“ Kak kenapa sih? Hari gini masih mimpi, ini jam berapa? Kenapa sih tumben kaya orang bingung gitu?mbahas tunangan ya?” jujur aku sangat penasaran dengan apa yang barusan terjadi.
‘ah..ngga papa…Cuma…”
Tiba-tiba perasaan yang tadinya tenang berubah jadi lumayan memanas.
“Dam, kamu tahu apa yang barusan aku denger dari papa?”
Aku hanya diam karena bagiku pasti yang akan dikatakan adalah masalah pertunangan itu. Dari pada salah mending diam. Apalagi melihat tingkah kakakku yang terus saja mondar-mandir kaya orang bingung. Atau memang bingung aku ngga tahu, yang kutahu kakak ngga pernah sebingung ini sebelumnya.
“masa tadi papa bilang aku akan segera tunangan, gila kali ya…”
“enak dong kak, ada pesta… tunangan lagi pasti rame banget” celotehku asal.
“ya ampun Adam kamu ni bloon apa Oon sih… seneng ya liat kakak menderita tunangan dengan orang yang sama sekali ngga dikenal”
“maap…memang sama siapa? Bukan sama Bunga? Adam pikir sama Bunga”
“kalo sama dia aku ngga akan sebingung ini… kata papa sama anaknya Om Syamsul”
Aku sangat kaget dengan apa yang aku dengar, yang aku tahu hubungan papa sama Om Syamsul adalah hubungan bisnis jangan-jangan….
“ Kak bukannya Om Syamsul tu rekan bisnis papa sejak awal merintis perusahaan, apa ini ngga ada hubungannya dengan sesuatu gitu” jelasku.
“Maksud kamu? Untuk mempererat kekerabatan dan kerjasama bisnis?” tebaknya.
“Yup” jawabku mantap.
“Kak jadikan anter ke Book Store?” tambahku mengalihkan pembicaraan agar tidak terlalu berlarut membahas masalah tersebut.
“Iya”
Pagi ini suasana sarapan kami berbeda 180 derajat dari biasanya yang penuh gelak tawa, sekarang serasa ada perang dingin antara papa dan kak Angga. Diam. Mama dan aku hanya cengar-cengir.
“Pa, kan Adam hari ini libur boleh ngga ntar Adam ke rumah Aida?”
“Ngga”
“ kenapa sih memang penting ya liburan bengong dirumah?”
Ternyata sia-sia tadinya akan mencairkan kebekuan pagi ini, malah aku ngga boleh kemana-mana. But it’s ok aku bisa cari tahu alasan kenapa kak Angga harus sesegera mungkin ditunangkan dengn orang yang sama sekali tidak dikenalnya.
“Ma, kenapa sih kok tiba-tiba kak Angga mau tunangan? Adam pikir sama Bunga ternyata sama orang lain. Bukannya mau ikut campur tapi kan umur kakak baru 21 memang pantes? Sama anak yang ngga dikenal lagi”
“udah diam, mau bantu mama masak apa mau ceramah sih?” sela mama.
“Mending orangnya dikenal, kasihan juga kakak baru nikmati masa muda dah harus berhadapan dengan pertunangan yang sangat menyakitkan dan perkawinan yang menyiksanya. Asal jangan karena bisnis aja ngorbanin kakak….”
“Plak…..” sebuah tamparan menghentikan celotehanku sesaat tapi itu sama sekali tidak membantu menghentikan celotehanku.
‘Diam…. sebelum kesabaran mama habis” kata mama geram.
“Kenapa ma? Kena ya? Kok mama tega-teganya anaknya dikorbankan demi bisnis dengan gadis yang tidak di kenal baik-buruknya. Biar teman papa sekalipun mana tahu…..Adam salah ternyata nilai mama selalu baik tapi sekarang….” “Plak…” tamparan kedua ini mampu menghentikan celotehanku, seketika aku meninggalkan mama yang saat itu mulai menitihkan air matanya yang semakin lama pasti akan membanjir.
Ternyata benar dugaan ku semua demi bisnis. Sungguh kejam pikirku mengorbankan anak demi bisnis yang belum tentu menguntungkan buat kak Angga malah bahkan akan membuatnya menderita.
“Adam boleh mama masuk?”tanya mama dari ujung pintu.
“Masuk aja..”
Aku tahu saat itu mama berusaha memelukku, tapi aku menghindarinya bukan kenapa, hanya saja aku masih tidak terima bukan dengan tamparan itu melainkan dengan apa yang mama lakukan ke kakak ku satu-satunya, Angga.
“Maafin mama…..Bukan maksud mama menampar kamu tadi hanya saja….”
“Sudahlah ma, kalau masalah tadi udah biasa kali, ngga usah dibahas lagi” potong ku.
“Sejujurnya mama juga sama bingungnya dengan kamu dan kakakmu mengenai hal ini. Tentu mama sedih dengan apa yang terjadi, tapi, semua keputusan ada di tangan papa”
“Maksud mama apa? Mana bisa keputusan tentang masa depan diputuskan secara sepihak gitu. Ngga masuk akal” penasaran.
Mendengar penjelasan itu menyurutkan amarahku yang sudah siap meledak untuk kesekian kalinya, aku berusaha tenang mendengar apa yang mama ceritakan.
“ Keputusan itu sudah dibuat sejak Angga bayi, mengetahui putri pak Syamsul perempuan papamu memiliki ide menjodohkan mereka demi kelangsungan kerjasama bisnis keduanya, apalagi setelah tahu Angga begitu penurut papamu semakin mantap dalam mengambil tindakan itu. Memang sangat menyakitkan saat mama tahu keputusan itu, mama sempat menolak hal itu karena mama tahu keadaan nanti tidak sama dengan waktu itu”
“ Bukannya sekarang jaman Siti Nurbaya sudah lewat sejak kapan tahu, yang rela menjual anaknya demi hutang keluarganya? Sekarang tu sudah jaman global dimana si anak bebas memilih pasangan hidupnya sesuai hati nurani, bukan yang kaya gini. Memang susah bila harus berhadapan dengan orang tua yang kuno.” Sela ku.
“Mama tahu, setelah itu masalah itu terasa hilang begitu saja dan mama pikir papa telah merubah keputusan itu dengan membatalkannya, hingga beberapa hari lalu…..”
Mama menerawang jauh kedepan menbayangkan kejadian beberapa hari lalu.
“Ma, setelah lama menunggu akhirnya Pak Syamsul menyetujui rencana itu” kata papa gembira tapi sebaliknya dengan mama.
“maksudnya apa rencana waktu itu?”
“ Pertunangan dan rencana Pernikahan Angga”
mama sangat terkejut dengan apa rencana yang tadinya dipikir telah digagalkan kini kembali disaat umur Angga genap 21 tahun.
“Tapi pa, bukannya itu sudah dibatalkan? Tanya mama gemetar.
“Siapa bilang, hanya ditunda.”
‘Apa Angga bisa menerima keputusan itu? Dia masih terlalu muda untuk hidup seperti itu, dia belum siap dalam segala hal”
“Pasti bisa, dia disini tugasnya untuk mematuhi segala perintah papa bukan menolak bahkan melanggarnya karena dia hanya anak pungut dari janda yangmembuang anaknya di luar rumah kita……”
Bagi mama ucapan papa itu bagaikan Petit disiang bolong, hal yang seharusnya terlupakan dan luka yang sudah sembuh kini kembali terbuka menganga lagi bahkan lebih lebar.
Begitupun aku sangat terkejut dengan pernyataan itu bahwa kakak hanya seorang anak pungut yang dibuang, begitu menyesakkan terasa.
“Sekarang mama bisa apa? Hanya mampu diam”
‘tapi ma, bagaimana dengan Bunga?”
“Entahlah, mama sangat sayang pada gadis itu dan berharap dia bakal jadi menantu mama…”
“ ya sudah sekarang kamu bebenah siap-siap untuk makan malam sama keluarga Om Syamsul mama kedapur dulu siap-siap, lagi pula papamu dah hampir sampai rumah, ya…Adam jangan ceritakan ke siapapun ya…”.
Entah mengapa senyum mama begitu cerah dan manis setelah menceritakan semuanya kepadaku. Aku tahu ada sesal disana karena harus menceritakan kejadian yang sebenarnya pada anak SMU kaya aku, tapi mungkin itu ada hikmah dari semua itu. Don’t know.
Sesaat setelah papa pulang aku langsung menghampirinya. Dan saat itu terjadi sesuatu yang sangat dahsyat. Yah pertengkaran.
“ Pa, kenapa harus kak Angga yang dikorbankan demi bisnis papa?”
“Tahu apa kamu anak kecil?”
“Apa karena kakak selalu mematuhi apa yang papa suruh, atau hanya karena……”
“Karena apa?” suara papa terdengar meninggi.
“Karena kak Angga hanya seorang anak pungut dari seorang janda yang di buang dibepan rumah kita dan hanya bertuliskan tolong rawat anak saya, saya tidak mampu merawat anak ini karena penyakit kangker yang ada pada diri saya, dan tolong beri nama dia ANGGA SURYA PUTRA. Terimakasih. Iya kan?”
“Dasar anak tidak tahu diri.” Tamparan kembali mendarat di pipiku setelah tamparan dari mama sebelumnya. Aku pun tersungkur, melihat mama dikejauhan yang menangis tersedu aku hanya bisa bilang. Maaf.
Dan aku pergi entah kemana.
Kak Angga adalah seorang yang terbaik yang pernah aku miliki kebaikan, kerajinan, kecakapan dan segala yang ada padanya adalah panutan buatku, saat ulangtahun dia selalu yang paling capek, saat aku sakit dia yang selalu hadir menemaniku, saat putus sama Tiara dia yang membuatku tegar, saat sabuk papa menyakitiku kakak yang menggantikan rasa sakit itu semuanya dia selalu jadi yang terbaik. Tapi apa yang bisa aku perbuat untuk membalas semua itu apalagi setelah aku tahu kakak bukanlah kakak kandungku, tapi bagiku dia tetap kakak kandungku. Apa yang sekarang bisa aku perbuat? Malam ini perkenalan dan pertunangan mereka, memang bukan sesuatu yang istimewa acara itu hanya mengundang teman kantor papa dan kerabat tapi ini akhir dari semuanya.
“Lho..kok belum juga siap? Tamu sudah menunggu. Cepat nanti papamu marah lagi” canda mama.
“Iya ma, tapi mana Adam? Sejak siang Angga ngga lihat dia”
“udah ngga usah cari anak itu” tukas papa.
Angga semakin bingung kini apalagi sebelumnya papa hanya bilang akan makan malam saja bukan pertunangan, ditambah dengan keberadaan Adam yang entah kemana, ponselnya selalu mailbox dan berakhirnya hubungannya dengan Bunga gadis yang telah mengisi harinya selama 2 tahun ini.
Selain itu entah apa yang terjadi setiap Angga menanyakan tentang Adam papa selalu menjawab dengan sinis. Angga tahu Adam sangat tidak setuju dengan keputusan itu, tapi yang terjadi sekarang sangat diluar dugaannya.
Sementara Aku sekarang masih saja keliling entah kemana, semua nampak sangat membingungkan. Hidup ini. Keputusan. Tentunya Aku tidak ingin menghadiri acara itu walau dirumahku sendiri, ada hal yang membuat hatiku menolak yaitu kepalsuan dan pengkhianatan yang sangat kentara dan mudah terbaca bagi setiap orang yang mengerti termasuk Bunga. Apalagi Kau dengar Bunga hadir dalam acara itu, bukannya itu semakin menyakitkan setelah putus dengan Kakak?. Ada apa dengan semua ini?.
Acara telah berlangsung dengan mulus dan kini jari manis Angga telah berhiaskan silver Ring bertahtakandiamond 0,5 karat. Dan aku tidak menyaksikannya.
“ Adam…..kemana aja kamu? Kenapa ngga datang diacara ini?” tanya Angga sesaat setelah aku sampai rumah karena tahu acara pasti telah selesai.
“ Oh…ngga papa, males aja lagi pula ngga penting”
“ Dam, kakak tahu kamu sangat tidak setuju dengan hal ini tapi dengan kamu ngga dateng gimana perasaan mama-papa?”
“Memang mereka kenapa? Cemas? Pastinya ngga. Masa bodoh”
“ Aku mau ada atau ngga kan berasa ngga penting, yang penting kan bisnis tetap lancar” tambahku semakin kacau. Memang Aku kacau hari itu hingga omongan pun ikutan kacau.
“Adam kamu jangan asal gitu” sergahnya.
“udah..ah Adam tidur dulu capek. Tunangan kakak dah tinggal disini?”
“Udah, kamu ngga ngucapin selamat?” tanyanya ragu.
“Apa? Selamat? Kata itu hanya berlaku bagi yang bahagian dengan pertunangannya. Bukan hal yang terpaksa atau dipaksakan” Aku meninggalkan kakak daripada akan semakin panjang persoalan, baiknya aku menghindarinya. Dan yang aku tahu saat itu kakak nampak bingung dengan yang terjadi padaku.
“Pagi Dam, mau sarapan bareng?” tanya Tunangan kakak yang aku tahu namanya Sylvia.
“Ngga usah sok manis deh, layani aja calon mertua. Gue ngga perlu, bisa sendiri” jawabku seenaknya.
Papa yang tahu sikap aku jelas ingin sekali marah tapi mama menarik tangannya. Mencegah. Sementara kak Angga kaget dengan sikapku pagi itu. Dan aku ngga sarapan.
“Dam, aku ngga suka dengan sikapmu barusan, apa kamu ngga bisa sekali saja nghargai orang?” cegah Angga saat aku berangkat sekolah.
“Kenapa keberatan? Penting ya nghargai orang yang hanya sandiwara nenyayangi dengan penuh kepalsuan?”
“Tapi dia calon Iparmu, yang akan menikah dengan kakak…”
“Jangan harap aku mau terima, Karena ini hanya demi kelangsungan bisnis kedua belah pihak tanpa mempedulikan perasaan masing-masing yang ditunangkan, siapa tahu Sylvia juga punya pacar kaya kakak, bisa kan bayangin gimana rasanya?”
Bagiku ini adalah hal yang pertama kali hubungan kakak-adik tidak harmonis, tapi itulah kenyataan. Walau aku tahu Sylvia selalu berusaha baik terhadapku dengan harapan Aku dapat menerima keberadaannya dirumah itu.
Dua bulan sudah sejak pertunangan itu aku masih dengan sikap yang sama tapi, tidak sama dengan keadaan dalam diriku, aku semakin tidak tahan dengan semua ini. Aku ingat seminggu yang lalu Sylvia mencoba mengajakku ngobrol, dia yang mulai, dia ceritakan hal tentang dirinya dan hubungan dengan pacarnya saat itu memang sama dengan apa yang dirasa kak Angga tapi, sama sekali dia tidak dapat berbuat apa-apa. Dan itu sangat menyakitkan. Pasti. Dan entah kenapa ada sedikit rasa iba dalam hati padahal aku sangat membencinya, apa karena nasib yang sama dirasakan kakak? Walau dia bukan anak pungut seperti kak Angga. Atau karena kegigihanny mencairkan kebekuanku terhadapnya selama ini? Yang selalu menolaknya hadir dalam keluargaku.
“Adam maafkan aku”
Saat ini memang keadaanku sangat buruk, entah penyakit apa yang telah lama ada dalam tubuh ini yang belakangan telah membuatku semakin merasa lemah dan kini di lima bulan pertunangan itu aku terbaring lemah di Rumah Sakit dengan sakit yang aku sendiri tidak tahu hanya saja selalu terasa sangat menyiksaku, saat aku merasa tidak tenang selalu saja ada darah keluar dari hidung aku pikir mimisan tapi,….setelah cukup lama, aku tahu bahwa aku terkena kanker sumsum tulang belakang. Tapi aku cukup tenang menerima keadaan itu yang ada dalam pikiranku hidup-mati, kaya-miskin semua ditangan Tuhan. Sementara itu, hubunganku dengan kakak membaik bahkan sudah kembali semula. Aku tidak memiliki pikiran buruk apapun, karena keadaanku dia jadi baik atau sebaliknya, hanya aku merasa kehangatan saat kak Angga dan Sylvia hadir memberiku semangat dan keyakinan.
Entah kenapa pagi ini begitu terasa berbeda, lebih hangat dari biasanya dan semua berkumpul bercanda menghiburku, dan serasa kematian begitu dekat menghampiri dan tanda kebahagian memudar bahkan hilang, aku tahu mereka tertawa bukan senang tapi sedih. Berusaha menutupi apa yang ada dan terasa. Dan tatapan kakak yang sangat syahdu membuatku merasa sangat hangat dan mencair. Sampai detik ini Aku tidak menemukan sosok keras kepala dan si Pematok keputusan, Papa, hanya ada mama yang selalu menemaniku.
“Pagi ini cerah ya kak mataharinya, baru kali ini Adam menyaksikan indahnya pagi yang bener-bener indah” Aku sengaja ingin menyaksikan matahari terbit sedini mungkin karena aku ingin merasakan perubahan hawa dari kebekuan malam menjadi kehangatan pagi. Sangat indah.
“I…iya… Adam sangat indah” jawaban itu seakan ganjil bagiku.
“kakak ingat ngga saat kita jalan kepuncak? Waktu itu cuaca cerah seperti pagi ini, disana kita berenang dengan air yang sangat dingin Adam lompat dari papan luncur dan tiba-tiba Adam jatuh terbentur bibir kolam membuat kepala ini luka dan bocor. Eh..kakak malah tertawa karena air kolam hampir berubah warna, dan kakak nungguin aku kaya sekarang>hehehe” kenangku.
Aku mendengar isakan kakak dan tawa yang sangat terpaksa.
“kakak kenapa nangis sih? Ngga papa lagi Adam akan sembuh kok dan nyaksiin kakak menikah 2 bulan lagi, disana aku akan pakai baju serba putih dan rambut yang selalu mohawk
“kak Syilvia” panggilku. Sesaat Sylvia yang ada di sampingku sontak kaget.
“iya, kenapa?”
”kakak harus janji mulai sekarang, nanti kalau sudah nikah harus menyayangi kakakku sepenuhnya, bukan karena perjodohan dan bisnis ya… Janji?”
Sedikit serak dia mengiyakan apa yang aku ingin dia janjikan kelak.
“oh..ya sebenarnya Adam sudah restu sejak kak Sylvia cerita waktu itu jadi sekarang ngga ada yang ngga restukan? Kak Angga jangan bilang yang dulu itu ya……” sedikit kerlingan mata kak Angga dapat menangkap maksudku, tawapun pecah pagi itu. Dan itu hari terakhirku melihat dan merasakan kehangatan mereka untuk selama-lamanya. Dan itu akan menjadikan kenangan indah untuk semuanya dan untuk pertama dan terakhir aku melihat papa menangis dan memelukku erat-sangat erat. Aku hanya berharap kakakku bahagia dengan pernikahannya kelak, walau aku tidak hadir disana tapi aku ada dihati mereka, sosok anak nakal dan seenaknya, ceplas-ceplos tanpa mikir kalau ngomong dan yang selalu dirindukan tawa dan plesetannya walau kadang garing.
Satu hal terakhir yang tak akan pernah dan yang tak akan terucapkan sampai kapan pun dari mulut ini tentang siapa kakakku Angga yang sebenarnya…… dan itu yang tak ter……..