God gave us the gift of life; it is up to us to give ourselves the
gift of living well. -Voltaire
Senin, 27 September, tepatnya empat puluh tujuh tahun yang lalu.
Suara adzan dhuhur menjadi pembuka kehidupan baru bagi seorang bayi mungil dari
sepasang suami istri dari sebuah pulau seluas sepuluh ribu kilometer, berpasir
putih diujung selatan pulau sulawesi diantara seratus tiga puluh gugusan pulau
kecil. Mata kecil itu masih belum bisa terbuka, namun bagi sang guru pencinta
laut dan sang ibu pencinta buku adalah sebuah kebahagiaan tak terkira dengan
kelahiran putra keduanya ini yang sekaligus menjadi putra tertua setelah putri
pertama harus menghadap ilahi.
Terbayangkan bagaimana rasa bahagia menyeruak, membumbung dan
berpendar setelah suara tangis bayi kecil ini tersentak dengan hirupan pertama
aroma dunia diantara karbon dan oksigen. Air mata sang ibunda menetes seketika
melihat bayi merah itu akan menuliskan prasasti hidupnya kelak, dengan beragam
sudut pandang hidup dan sejarah.
Kini, bayi kecil itu telah tumbuh dewasa, tinggi, gagah dan
berwibawa. Usianya hampir setengah abad. Banyak pelajaran hidup yang telah
ditorahkannya melalui tulisannya, pemikirannya, permasalahan dan
kebahagiaannya. Dan semua orang pasti mengenalinya. Ia adalah pecinta sastra
seperti sang Bunda (Amma’), seorang pendidik seperti sang Ayah (Bapak), dan
seorang pejuang seperti kombinasi kedua orang tua. Berdiri tegak diantara deru
kendaraan ibukota, tenggelam dalam lautan karbon dan timbal. Menyusuri setiap
jengkal detak jantung kota untuk bertahan hidup dan menghidupi.
15 tahun lalu, kesegaran pemikiran, pengetahuan politik, dan
kapabilitas memimpin membawanya kepada kota penuh intrik, Jakarta. Lima belas
tahun lalu pula menjadi tonggak berdirinya kesuksesan dan kerja keras yang Ia
pancang dari masa kanak-kanaknya, seperti yang pernah Ia ucapkan “Suatu saat
nanti, saya akan berada disini, mengelilingi Bundaran Hotel Indonesia
mengendarai mobil saya sendiri”, dan itulah yang terjadi.
131400 jam adalah saksi bisu sejarah yang Ia torehkan. Sejarah
pergumulan hidupnya, permasalahannya, canda dan airmatanya, saat banyak orang
datang dan pergi dalam hidupnya.
Ia pernah berkata, “Akhirnya nanti sendiri ma’ saya ini, sampai tua”,
namun aku berkata kepadanya,”Papa tidak akan sendiri, Ada Dato’, Ada kami
anak-anakmu”.
5475 hari merupakan kunci emas dalam setiap detak hidup yang dijalaninya.
Bersama keluarga kecilnya, anak-anak yang dewasa dan lulus kuliah, Ibunda yang
selalu mengasihi dan mendoakannya, dan sahabat-sahabat yang selalu membuatnya
melupakan sejenak masa-masa sulit yang dilaluinya.
kini Ia menjadi mata sang malam, dalam kesayuan matanya diantara
guratan garis wajah dan lingkaran hitam matanya, masih tersimpan sejuta harap,
impian dan semangat yang kadang tak mampu Ia ungkapkan, tak seperti kantung
matanya yang begitu pandai menyiasati kata waktu. Tak ada lagi tidur cukup, tak
banyak lagi masa bersantai. Namun ia selalu tersenyum, saat anak-anaknya
berkumpul, berbagi cerita dan bercanda. Mungkin inilah kebahagiaan yang
sebenarnya baginya, namun juga kesedihan baginya saat salah satu anaknya harus
sakit, terkulai lemas. Namun layaknya kantung mata yang mampu menyiasati hidup,
kehalusan kata, kehangatan cinta kasihnya menjadikannya tetap tegar, kuat walau
kadang sayap-sayap hidup itu harus patah, dan menunggu untuk kembali dapat
dikepakkan.
Dan hari ini, bersama hujan yang mengguyur pergantian jam, aroma
tanah basah yang mengisi kelamnya malam, menjadikan pengharapan baru, perubahan
baru, untuk segala hal yang lebih baik dan jauh lebih baik.
-Every Years on Your Birthday, you get a chance to start new, Sammy
Hagar -
Selamat Ulang tahun Ayahanda tercinta....much love and care.
God gave us the gift of life; it is up to us to give ourselves the
gift of living well. -Voltaire
Senin, 27 September, tepatnya empat puluh tujuh tahun yang lalu.
Suara adzan dhuhur menjadi pembuka kehidupan baru bagi seorang bayi mungil dari
sepasang suami istri dari sebuah pulau seluas sepuluh ribu kilometer, berpasir
putih diujung selatan pulau sulawesi diantara seratus tiga puluh gugusan pulau
kecil. Mata kecil itu masih belum bisa terbuka, namun bagi sang guru pencinta
laut dan sang ibu pencinta buku adalah sebuah kebahagiaan tak terkira dengan
kelahiran putra keduanya ini yang sekaligus menjadi putra tertua setelah putri
pertama harus menghadap ilahi.
Terbayangkan bagaimana rasa bahagia menyeruak, membumbung dan
berpendar setelah suara tangis bayi kecil ini tersentak dengan hirupan pertama
aroma dunia diantara karbon dan oksigen. Air mata sang ibunda menetes seketika
melihat bayi merah itu akan menuliskan prasasti hidupnya kelak, dengan beragam
sudut pandang hidup dan sejarah.
Kini, bayi kecil itu telah tumbuh dewasa, tinggi, gagah dan
berwibawa. Usianya hampir setengah abad. Banyak pelajaran hidup yang telah
ditorahkannya melalui tulisannya, pemikirannya, permasalahan dan kebahagiaannya.
Dan semua orang pasti mengenalinya. Ia adalah pecinta sastra seperti sang Bunda
(Amma’), seorang pendidik seperti sang Ayah (Bapak), dan seorang pejuang
seperti kombinasi kedua orang tua. Berdiri tegak diantara deru kendaraan
ibukota, tenggelam dalam lautan karbon dan timbal. Menyusuri setiap jengkal
detak jantung kota untuk bertahan hidup dan menghidupi.
15 tahun lalu, kesegaran pemikiran, pengetahuan politik, dan
kapabilitas memimpin membawanya kepada kota penuh intrik, Jakarta. Lima belas
tahun lalu pula menjadi tonggak berdirinya kesuksesan dan kerja keras yang Ia
pancang dari masa kanak-kanaknya, seperti yang pernah Ia ucapkan “Suatu saat
nanti, saya akan berada disini, mengelilingi Bundaran Hotel Indonesia
mengendarai mobil saya sendiri”, dan itulah yang terjadi.
131400 jam adalah saksi bisu sejarah yang Ia torehkan. Sejarah
pergumulan hidupnya, permasalahannya, canda dan airmatanya, saat banyak orang
datang dan pergi dalam hidupnya.
Ia pernah berkata, “Akhirnya nanti sendiri ma’ saya ini, sampai tua”,
namun aku berkata kepadanya,”Papa tidak akan sendiri, Ada Dato’, Ada kami
anak-anakmu”.
5475 hari merupakan kunci emas dalam setiap detak hidup yang
dijalaninya. Bersama keluarga kecilnya, anak-anak yang dewasa dan lulus kuliah,
Ibunda yang selalu mengasihi dan mendoakannya, dan sahabat-sahabat yang selalu
membuatnya melupakan sejenak masa-masa sulit yang dilaluinya.
kini Ia menjadi mata sang malam, dalam kesayuan matanya diantara
guratan garis wajah dan lingkaran hitam matanya, masih tersimpan sejuta harap,
impian dan semangat yang kadang tak mampu Ia ungkapkan, tak seperti kantung
matanya yang begitu pandai menyiasati kata waktu. Tak ada lagi tidur cukup, tak
banyak lagi masa bersantai. Namun ia selalu tersenyum, saat anak-anaknya
berkumpul, berbagi cerita dan bercanda. Mungkin inilah kebahagiaan yang
sebenarnya baginya, namun juga kesedihan baginya saat salah satu anaknya harus
sakit, terkulai lemas. Namun layaknya kantung mata yang mampu menyiasati hidup,
kehalusan kata, kehangatan cinta kasihnya menjadikannya tetap tegar, kuat walau
kadang sayap-sayap hidup itu harus patah, dan menunggu untuk kembali dapat
dikepakkan.
Dan hari ini, bersama hujan yang mengguyur pergantian jam, aroma
tanah basah yang mengisi kelamnya malam, menjadikan pengharapan baru, perubahan
baru, untuk segala hal yang lebih baik dan jauh lebih baik.
-Every Years on Your Birthday, you get a chance to start new, Sammy
Hagar -
Selamat Ulang tahun Ayahanda tercinta....much love and care.
No comments:
Post a Comment