Pagi
menggeliat, udara dingin masih menggerayangi setiap pori-pori. Menggigil. Tanah
basah…begitu juga aspal akibat hujan sesorean kemarin. Mata masih saja enggan
untuk membuka menerawang langit-langit putih 3 meter diatas ku. Perlahan sang
penguasa siang menampakkan keangkuhannya menggiring kelembaban menjauhi sisi
cerah pagi.
Alarm
meraung-raung meminta pemiliknya bangun lalu membunuhnya. Membuatnya diam.
Tanpa membuat pemiliknya kembali terlelap. Beruntung alarmku sangat keras,
sehingga aku susah untuk kembali terlelap, walau rasa kantuk masih saja
hinggap.
“Selamat
pagi…” gumamku dalam hati. “Sudahkah kamu memeluk dirimu pagi ini?” sebuah
kicauan mengisi lembar timeline pada account twitterku, dari seorang penulis,
penyair favoritku. Aku jadi berpikir bagaimana memeluk diriku sendiri. Yahh,
mungkin saja memeluk diri sendiri dengan semangat pagi. Vitamin pagi. Jus atau
semacamnya. Ahh belum…mungkin nanti.
Sebatang
rokok terapit diantara jari tengah dan telunjuk, mengepulkan asap putih usai
menenggak setengah liter air bening sembari menunggu semangat beranjak
keruangan sempit penuh air. Beruntung air panas tersedia. Setidaknya membuat
badan hangat dan menghindarkan diri dari kebekuan. Walau alhasil sama saja,
usai mandi lalu bertabrakan dengan transformasi udara akan berasa sama. Tetap
dingin.
Matahari masih
saja malu menunjukkan keperkasaannya, mengalah terdiam menunggu mendung usai
menghiasi pagi dengan redup tanpa usai. Sama halnya dijalanan, mobil menunggu
sang penguasa jalan berlarian mengambil separuh badan jalan atau satu lajur
penuh jalan. Memang, sang penguasa jalan ini semakin bertambah 100 perharinya
separuh dari si roda empat berbadan besi.
Umumlah intinya,
pagi dan sore Jakarta. Sesak, sempit, dan berhimpit. Setara dengan jumlah
manusianya, mungkin saja lebih. Ah sudah lah Aku bukan pejabat atau pekerja
kependudukan yang harus tahu detail semuanya. Intinya, serumit Jakarta mulai
tenggelam bukan saja oleh banjir tapi juga manusia dan raungan kepulan asap
kendaraan.
Aku kembali
teringat dengan kalimat “sudahkah kamu memeluk dirimu pagi ini”, kini aku bisa
menjawab, ya tentu sudah, pagi ini aku memeluk diriku dengan asap polusi, timbal,
dan karbon pagi. Hmmm bagaimana dengan kamu? “SUDAHKAH KAMU MEMELUK DIRIMU PAGI
INI?”