11/21/2011

Merengkuh Malam di Ujung Utara Jogja


Jogja sudahlah tidak seperti dulu. Ya…hampir segala sesuatunya tergerus oleh alur jaman, namun diantara kerasnya gerusan ombak satu hal yang patut di acungi jempol, pelestarian budaya dan ketetapan memegang adat leluhur masih dipertahankan.

Ada yang berbeda dari Jogja saat ini, saya tidak berbicara tentang perubahan jaman, namun perubahan iklim. Apa yang berbeda, kini dengan semakin banyaknya kendaraan hilir mudik mengisi setiap titik jalan membuat jogja menjadi lebih panas dari apa yang saya ingat waktu dulu, saat saya masih kecil hingga remaja. Namun, jika hari telah senja dan berganti malam, udara akan berubah 180 derajat, udara dingin ditambah angin yang menggoyang ranting dedaunan menjadi penawar terik matahari kala siang. Bahkan terkadang rasa dingin seperti menyusup didalam pori-pori kulit yang secara cepat menggerayangi tulang dan sumsum. Agak berlebihan mungkin, tapi memang itu yang terjadi. Karenanya, akan sedikit orang yang menyisakan malam mereka duduk dan bercengkerama di depan rumah melainkan menutupnya dengan tertidur lebih awal. Seorang teman mengatakan, “ Malam di Jogja berasa malam di Bandung”. Mungkin memang benar pikir saya.

Ingatan saya kembali ke puncak di Jawa barat, yang menyajikan malam dingin nan sejuk bagi para pelancong yang ingin menikmati segarnya udara seusai beraktivitas. Saya tersenyum, karena saya tidak perlu kepuncak untuk mendapatkan segarnya udara dimalam hari dan hangatnya sinar pagi dengan berbaris menyisi kemacetan kala weekend. Disini, saya mendapatkannya.

Pagi ini, ibu membangunkanku, jam masih menunjuk angka 5.30 pagi. Rasanya mata masih susah untuk terbuka, dan saya masih ingin kembali menarik selimut karena udara masih cukup dingin. Namun, mata saya langsung terbuka setelah mendengar ajakan ibu. Ibu mengajakku menuju sebuah kawasan pegunungan dan perbukitan di Utara Jogja, pikiran saya langsung tertuju pada sebuah area objek wisata Kaliurang yang terletak di kaki gunung Merapi, jaraknya sekitar 28 km dari pusat kota Jogja. Tentu saya sangat senang dengan ajakan itu, lebih dari 9 tahun saya tidak berkunjung kesana, terakhir saat perpisahan dengan teman-teman SMA seusai pesta perpisahan di Sekolah. Ibu pergi bersama teman-teman PKKnya, sedangkan saya mengajak paksa teman untuk menemani saya kesana.

Perjalanan menuju objek wisata kaliurang mengingatkan saya pada gambaran pemandangan saat duduk dibangku TK maupun Sekolah Dasar. Sebuah gunung menjulang ke angkasa, dengan jalanan berkelok ditengahnya serta hamparan hijau pepohonan disekitarnya, serta petakan-petakan sawah dan rumah-rumah kecil diantara jalan yang berliku.

Udara sejuk dengan angin semilir menyapa perjalanan saya, bau dedauan, tanah basah, kabut putih menjadi obat yang mampu merecharge kepenatan menjadi kesuka citaan. Saya jadi teringat dengan asal muasal objek wisata tersebut, sekitar abad 19 sekelompok ahli geologi Belanda yang bertugas dan tinggal di Jogja bermaksud mencari sebuah area peristirahatan bagi keluarganya, keluarga para meneer. Sesampainya mereka di area dataran tinggi kaliurang, sekitar 200 meter diatas permukaan laut para ahli ini terpesona dengan keindahan alam, kesejukan tempat tersebut. Akhirnya mereka membangun bungalow atau penginapan sebagai tempat peristirahatan mereka disana.

Akhirnya saya sampai di area wisata Kaliurang butuh waktu kurang dari satu jam cukup cepat saya rasa. Kaliurang menjadi salah satu area wisata yang sangat banyak diminati, terlihat beragam huruf pada plat kendaraan yang singgah untuk menikmati keindahan alam, ada T, B, H, DD, F dan masih banyak lagi yang saya tidak tahu dari kota mana kode plat tersebut. Pandangan saya langsung tertuju pada gunung Merapi, kabut menutup sebagian badan gunung, seperti selendang putih yang menutupi badan seorang gadis yang malu apabila ada yang mengunjungi. Merapi juga membawa memory saya pada kejadian 26 Oktober tahun lalu, sebuah kejadian luar biasa, dimana Merapi menunjukkan keperkasaannya, kemarahannya, keagresifannya, dan meluluh lantahkan area disekitarnya, dan menewaskan puluhan warga yang tidak sempat atau enggan meninggalkan rumah mereka, termasuk seorang juru kunci, Mbah Maridjan. Tidak hanya warga yang menjadi korban, ratusan ternak, padi siap panen menjadi korban kemarahan gunung paling aktif tersebut.

Saya berpisah dengan Ibu, saya berjalan menyusuri sisi barat Kaliurang, tepatnya di bukit Plawangan sekitar 1100 meter sisi barat. Menempuh jalan terjal berliku, menjadi sensasi tersendiri layaknya para pecinta alam yang ingin menakhlukan gunung. Disini saya melihat sekitar 22 buah gua peninggalan Jepang. Hmm..Belanda dan Jepang pernah menginjakkan kaki mereka disini pikir saya. Sejuk udara tidak membuat saya merasakan teriknya siang hari, rerimbunan pohon menjadi tameng alami bagi saya dan para pengunjung lainnya.

Seusai cukup puas saya menikmati sisi barat, saya kembali ketimur, tepatnya timur laut kaliurang. Sebuah air terjun alami yang disebut dengan telaga Putri yang terletak di taman Plawangan Turgo menjadi area yang menarik bagi pengunjung dan saya tentunya karena saya bisa merasakan derasnya pukulan air terjun yang berasal langsung dari mata air dilereng bukit Plawangan. “Segaaarrr” pekik saya. Mengabadikan moment dengan foto diair terjun atau didepannya menjadi keharusan bagi pengunjung.  Sekarang saya sudah basah kuyup. Teman saya hanya tersenyum melihat tingkah saya, bak wisatawan yang baru menikmati kaliurang dan mandi di Telaga Putri.

Sambil mengeringkan baju dan celana yang masih saya kenakan, saya berjalan ke arah timur. Di Puncak Pronojiwo. Perjalanan melewati tangga dari susunan batu kali membentuk tangga berundak sejauh 900 meter cukup melelahkan, namun terobati dengan pemadangan yang hijau disisi tangga, dihiasi suara kicau burung dan monyet-monyet yang bergelantungan dari dahan ke dahan menyaksikan pengunjung kelelahan menikmati perjalanan mereka. Seorang wanita penjaja minuman menawarkan saya minuman ada hangat ada pula yang dingin, sebagai pelepas dahaga saya membelinya, cukup mengisi energi saya kembali. Akhirnya saya sampai di puncak. Ahh…ada teropong. Saya ingin sekali melihat Merapi lebih dekat, dengan membayar 3000 rupiah saya menyewa teropong untuk 30 menit. Dan wow…indah sekali, namun dibalik keindahannya tersimpan sesuatu yang luar biasa berbahaya.

Menutup pejalanan saya, saya menyusuri lembah nan menawan yang menyuguhi saya sebuah jalur sungai “Kali Kuning” dan sisi barat disebut “Kali Boyong”. Dikali kuning ini biasa dijadikan area perkemahan oleh masyarakat khususnya para siswa sekolah menengah. Dikedua kali ini yang membelah dua sisi Merapi juga menjadi jalur utama lahar gunung Merapi yang menuju ke selatan, saya dapat menyaksikan batu-batu besar, kerikil sisa keganasan Merapi tahun lalu.

Hari semakin senja, ibu mengajak saya dan teman saya menyudahi perjalanan kami, namun rasanya saya masih enggan beranjak meninggalkan kemolekan alam Kaliurang. Saya memutuskan untuk menginap satu malam disini, dan Ibu kembali ke Jogja bersama teman-teman PKKnya.

Sayapun menyusuri area kaliurang mencari tempat penginapan atau bungalow, saya menyewa sebuah penginapan “Bukit Surya” dengan harga yang sangat murah. Disini setahu saya, ada beragam penginapan dengan beragam harga mulai 25 ribu hingga 200 ribu rupiah. Disebuah kamar yang langsung menghadap ke Merapi dengan sedikit teras dan sepasang kursi menjadi tempat saya menghabiskan malam.

Hari mulai gelap, malam menyambut, dan angin malam mulai merengkuh setiap inci tubuh, segelas sekoteng atau air jahe ditambah sebungkus rokok menjadi teman yang paling pas untuk melewati malam. Terdengan alunan gitar dan nyanyian para anak muda dari kejauhan membuat saya teringat akan pesta perpisahan dengan teman sekelas saya. Sebuah penginapan dengan 6 kamar tidur dan 3 kamar mandi dihuni oleh lebih dari 30 orang siswa, sebuah halaman luas dengan taman kecil, dimalam harinya kami membuat api unggun, bernyanyi disekitarnya, mengalunkan lagu dengan beberapa gitar, bercanda, tertawa, mengenang 3 tahun kebersamaan bersama segelas kopi ataupun sekoteng. Sebuah permainan yang saya ingat waktu itu, tebak gerak, dimana kami terbagi dalam 2 grup salah satu dari masing-masing grup mempraktekkan sebuah gerak dan anggota grup lain menebaknya jika salah grup yang menebak harus menari bersama-sama. Kebersamaan itu diakhiri dengan lagu yang selalu dinyanyikan saat sebuah perpisahan hadir “kemesraan” semua bernyanyi semua bersedih, bahkan menangis. Mengingat esok masing-masing kami sudah tidak bertemu kembali. Ada kenangan bahagia, saat yang berpacaran membagi malam mereka bersama, ada pula yang bersedih karena cintanya ditolak, termasuk saya, hehehe…sebuah kenangan yang enggan untuk dilewatkan. Namun, kesedihan utama adalah ketika pagi ini menjadi pagi terakhir kamu bersama-sama duduk didalam kelas, tertawa, berantem, menangis, merokok disamping kelas, adu panco, lomba antar kelas dan lainnya. Yah…siapa yang ingin melewatkan kenangan indah itu?.

Saatnya kembali. Hari telah pagi, saya meninggalkan penginapan untuk segera kembali ke Jogja dan rumah. Kembali menyusuri jalan yang berliku berhiaskan pepohonan dan angin segar nan dingin yang menyusup ke pori-pori bersama kabut pagi yang enggan beranjak menutup malam menjadi hangat sinar mentari pagi. Oh iya, ada yang saya lupa untuk membagi cerita, di Area kaliurang terdapat banyak sekali bangunan bersejarah antara lain, wisma Kaliurang dan Pesanggrahan Dalem Ngeksigondo milik Keraton Jogjakarta yang pernah menjadi tempat berlangsungnya Komisi Tiga Negara, ada pula Museum Ullen Sentalu dimana sebagian bangunannya berada didalam tanah.di museum ini menguak sebuah sejarah besar tentang misteri kebudayaan dan nilai-nilai sejarah Jawa terkhusus berhubungan dengan Puteri Kraton Jogjakarta dan Surakarta pada abad 19. Satu lagi, mengapa disebut kaliurang?  Dalam bahasa Jawa Kali berarti Sungai, dan Urang berarti Udang jadi secara harfiah disebut “Sungai udang”.
Kini saya kembali ke Rumah, perasaan bahagia dengan pemandangan optikal yang telah saya rekam dan flash back dari kenangan masa lalu memberikan kembali pelajaran berharga bagi saya. Sedih, suka cita, tawa bahagia, tangis pernah saya tinggalkan disana bersama teman dan sahabat saya. Ingin kembali kesana nantinya untuk kembali mereview rekam optik saya dan menambahkan dengan rekaman yang baru.


Kaliurang.
Satu Malam sebelum kembali Ke Jakarta