Jogja sudahlah tidak seperti dulu. Ya…hampir segala
sesuatunya tergerus oleh alur jaman, namun diantara kerasnya gerusan ombak satu
hal yang patut di acungi jempol, pelestarian budaya dan ketetapan memegang adat
leluhur masih dipertahankan.
Ada yang berbeda dari Jogja saat ini, saya tidak
berbicara tentang perubahan jaman, namun perubahan iklim. Apa yang berbeda,
kini dengan semakin banyaknya kendaraan hilir mudik mengisi setiap titik jalan
membuat jogja menjadi lebih panas dari apa yang saya ingat waktu dulu, saat
saya masih kecil hingga remaja. Namun, jika hari telah senja dan berganti
malam, udara akan berubah 180 derajat, udara dingin ditambah angin yang
menggoyang ranting dedaunan menjadi penawar terik matahari kala siang. Bahkan
terkadang rasa dingin seperti menyusup didalam pori-pori kulit yang secara
cepat menggerayangi tulang dan sumsum. Agak berlebihan mungkin, tapi memang itu
yang terjadi. Karenanya, akan sedikit orang yang menyisakan malam mereka duduk
dan bercengkerama di depan rumah melainkan menutupnya dengan tertidur lebih
awal. Seorang teman mengatakan, “ Malam di Jogja berasa malam di Bandung”.
Mungkin memang benar pikir saya.
Ingatan saya kembali ke puncak di Jawa barat, yang
menyajikan malam dingin nan sejuk bagi para pelancong yang ingin menikmati
segarnya udara seusai beraktivitas. Saya tersenyum, karena saya tidak perlu
kepuncak untuk mendapatkan segarnya udara dimalam hari dan hangatnya sinar pagi
dengan berbaris menyisi kemacetan kala weekend. Disini, saya mendapatkannya.
Pagi ini, ibu membangunkanku, jam masih menunjuk
angka 5.30 pagi. Rasanya mata masih susah untuk terbuka, dan saya masih ingin
kembali menarik selimut karena udara masih cukup dingin. Namun, mata saya
langsung terbuka setelah mendengar ajakan ibu. Ibu mengajakku menuju sebuah
kawasan pegunungan dan perbukitan di Utara Jogja, pikiran saya langsung tertuju
pada sebuah area objek wisata Kaliurang yang terletak di kaki gunung Merapi,
jaraknya sekitar 28 km dari pusat kota Jogja. Tentu saya sangat senang dengan
ajakan itu, lebih dari 9 tahun saya tidak berkunjung kesana, terakhir saat
perpisahan dengan teman-teman SMA seusai pesta perpisahan di Sekolah. Ibu pergi
bersama teman-teman PKKnya, sedangkan saya mengajak paksa teman untuk menemani
saya kesana.
Perjalanan menuju objek wisata kaliurang mengingatkan
saya pada gambaran pemandangan saat duduk dibangku TK maupun Sekolah Dasar.
Sebuah gunung menjulang ke angkasa, dengan jalanan berkelok ditengahnya serta
hamparan hijau pepohonan disekitarnya, serta petakan-petakan sawah dan
rumah-rumah kecil diantara jalan yang berliku.
Udara sejuk dengan angin semilir menyapa perjalanan
saya, bau dedauan, tanah basah, kabut putih menjadi obat yang mampu merecharge
kepenatan menjadi kesuka citaan. Saya jadi teringat dengan asal muasal objek
wisata tersebut, sekitar abad 19 sekelompok ahli geologi Belanda yang bertugas
dan tinggal di Jogja bermaksud mencari sebuah area peristirahatan bagi
keluarganya, keluarga para meneer. Sesampainya mereka di area dataran tinggi
kaliurang, sekitar 200 meter diatas permukaan laut para ahli ini terpesona
dengan keindahan alam, kesejukan tempat tersebut. Akhirnya mereka membangun
bungalow atau penginapan sebagai tempat peristirahatan mereka disana.
Akhirnya saya sampai di area wisata Kaliurang butuh
waktu kurang dari satu jam cukup cepat saya rasa. Kaliurang menjadi salah satu
area wisata yang sangat banyak diminati, terlihat beragam huruf pada plat
kendaraan yang singgah untuk menikmati keindahan alam, ada T, B, H, DD, F dan
masih banyak lagi yang saya tidak tahu dari kota mana kode plat tersebut.
Pandangan saya langsung tertuju pada gunung Merapi, kabut menutup sebagian
badan gunung, seperti selendang putih yang menutupi badan seorang gadis yang malu
apabila ada yang mengunjungi. Merapi juga membawa memory saya pada kejadian 26
Oktober tahun lalu, sebuah kejadian luar biasa, dimana Merapi menunjukkan
keperkasaannya, kemarahannya, keagresifannya, dan meluluh lantahkan area
disekitarnya, dan menewaskan puluhan warga yang tidak sempat atau enggan
meninggalkan rumah mereka, termasuk seorang juru kunci, Mbah Maridjan. Tidak
hanya warga yang menjadi korban, ratusan ternak, padi siap panen menjadi korban
kemarahan gunung paling aktif tersebut.
Saya berpisah dengan Ibu, saya berjalan menyusuri
sisi barat Kaliurang, tepatnya di bukit Plawangan sekitar 1100 meter sisi
barat. Menempuh jalan terjal berliku, menjadi sensasi tersendiri layaknya para
pecinta alam yang ingin menakhlukan gunung. Disini saya melihat sekitar 22 buah
gua peninggalan Jepang. Hmm..Belanda dan Jepang pernah menginjakkan kaki mereka
disini pikir saya. Sejuk udara tidak membuat saya merasakan teriknya siang
hari, rerimbunan pohon menjadi tameng alami bagi saya dan para pengunjung
lainnya.
Seusai cukup puas saya menikmati sisi barat, saya
kembali ketimur, tepatnya timur laut kaliurang. Sebuah air terjun alami yang
disebut dengan telaga Putri yang terletak di taman Plawangan Turgo menjadi area
yang menarik bagi pengunjung dan saya tentunya karena saya bisa merasakan
derasnya pukulan air terjun yang berasal langsung dari mata air dilereng bukit
Plawangan. “Segaaarrr” pekik saya. Mengabadikan moment dengan foto diair terjun
atau didepannya menjadi keharusan bagi pengunjung. Sekarang saya sudah basah
kuyup. Teman saya hanya tersenyum melihat tingkah saya, bak wisatawan yang baru
menikmati kaliurang dan mandi di Telaga Putri.
Sambil mengeringkan baju dan celana yang masih saya
kenakan, saya berjalan ke arah timur. Di Puncak Pronojiwo. Perjalanan melewati
tangga dari susunan batu kali membentuk tangga berundak sejauh 900 meter cukup
melelahkan, namun terobati dengan pemadangan yang hijau disisi tangga, dihiasi
suara kicau burung dan monyet-monyet yang bergelantungan dari dahan ke dahan
menyaksikan pengunjung kelelahan menikmati perjalanan mereka. Seorang wanita
penjaja minuman menawarkan saya minuman ada hangat ada pula yang dingin,
sebagai pelepas dahaga saya membelinya, cukup mengisi energi saya kembali.
Akhirnya saya sampai di puncak. Ahh…ada teropong. Saya ingin sekali melihat
Merapi lebih dekat, dengan membayar 3000 rupiah saya menyewa teropong untuk 30
menit. Dan wow…indah sekali, namun dibalik keindahannya tersimpan sesuatu yang
luar biasa berbahaya.
Menutup pejalanan saya, saya menyusuri lembah nan
menawan yang menyuguhi saya sebuah jalur sungai “Kali Kuning” dan sisi barat
disebut “Kali Boyong”. Dikali kuning ini biasa dijadikan area perkemahan oleh
masyarakat khususnya para siswa sekolah menengah. Dikedua kali ini yang
membelah dua sisi Merapi juga menjadi jalur utama lahar gunung Merapi yang
menuju ke selatan, saya dapat menyaksikan batu-batu besar, kerikil sisa
keganasan Merapi tahun lalu.
Hari semakin senja, ibu mengajak saya dan teman saya
menyudahi perjalanan kami, namun rasanya saya masih enggan beranjak
meninggalkan kemolekan alam Kaliurang. Saya memutuskan untuk menginap satu
malam disini, dan Ibu kembali ke Jogja bersama teman-teman PKKnya.
Sayapun menyusuri area kaliurang mencari tempat
penginapan atau bungalow, saya menyewa sebuah penginapan “Bukit Surya” dengan
harga yang sangat murah. Disini setahu saya, ada beragam penginapan dengan
beragam harga mulai 25 ribu hingga 200 ribu rupiah. Disebuah kamar yang
langsung menghadap ke Merapi dengan sedikit teras dan sepasang kursi menjadi
tempat saya menghabiskan malam.
Hari mulai gelap, malam menyambut, dan angin malam
mulai merengkuh setiap inci tubuh, segelas sekoteng atau air jahe ditambah
sebungkus rokok menjadi teman yang paling pas untuk melewati malam. Terdengan
alunan gitar dan nyanyian para anak muda dari kejauhan membuat saya teringat
akan pesta perpisahan dengan teman sekelas saya. Sebuah penginapan dengan 6
kamar tidur dan 3 kamar mandi dihuni oleh lebih dari 30 orang siswa, sebuah
halaman luas dengan taman kecil, dimalam harinya kami membuat api unggun,
bernyanyi disekitarnya, mengalunkan lagu dengan beberapa gitar, bercanda,
tertawa, mengenang 3 tahun kebersamaan bersama segelas kopi ataupun sekoteng.
Sebuah permainan yang saya ingat waktu itu, tebak gerak, dimana kami terbagi
dalam 2 grup salah satu dari masing-masing grup mempraktekkan sebuah gerak dan
anggota grup lain menebaknya jika salah grup yang menebak harus menari
bersama-sama. Kebersamaan itu diakhiri dengan lagu yang selalu dinyanyikan saat
sebuah perpisahan hadir “kemesraan” semua bernyanyi semua bersedih, bahkan
menangis. Mengingat esok masing-masing kami sudah tidak bertemu kembali. Ada
kenangan bahagia, saat yang berpacaran membagi malam mereka bersama, ada pula
yang bersedih karena cintanya ditolak, termasuk saya, hehehe…sebuah kenangan
yang enggan untuk dilewatkan. Namun, kesedihan utama adalah ketika pagi ini
menjadi pagi terakhir kamu bersama-sama duduk didalam kelas, tertawa, berantem,
menangis, merokok disamping kelas, adu panco, lomba antar kelas dan lainnya.
Yah…siapa yang ingin melewatkan kenangan indah itu?.
Saatnya kembali. Hari telah pagi, saya meninggalkan
penginapan untuk segera kembali ke Jogja dan rumah. Kembali menyusuri jalan
yang berliku berhiaskan pepohonan dan angin segar nan dingin yang menyusup ke
pori-pori bersama kabut pagi yang enggan beranjak menutup malam menjadi hangat
sinar mentari pagi. Oh iya, ada yang saya lupa untuk membagi cerita, di Area
kaliurang terdapat banyak sekali bangunan bersejarah antara lain, wisma
Kaliurang dan Pesanggrahan Dalem Ngeksigondo milik Keraton Jogjakarta yang
pernah menjadi tempat berlangsungnya Komisi Tiga Negara, ada pula Museum Ullen
Sentalu dimana sebagian bangunannya berada didalam tanah.di museum ini menguak
sebuah sejarah besar tentang misteri kebudayaan dan nilai-nilai sejarah Jawa
terkhusus berhubungan dengan Puteri Kraton Jogjakarta dan Surakarta pada abad
19. Satu lagi, mengapa disebut kaliurang? Dalam bahasa Jawa Kali berarti
Sungai, dan Urang berarti Udang jadi secara harfiah disebut “Sungai udang”.
Kini saya kembali ke Rumah, perasaan bahagia dengan
pemandangan optikal yang telah saya rekam dan flash back dari kenangan masa
lalu memberikan kembali pelajaran berharga bagi saya. Sedih, suka cita, tawa
bahagia, tangis pernah saya tinggalkan disana bersama teman dan sahabat saya.
Ingin kembali kesana nantinya untuk kembali mereview rekam optik saya dan
menambahkan dengan rekaman yang baru.
Kaliurang.
Satu Malam sebelum kembali Ke Jakarta